Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2025

Konflik Para Sahabat Setelah Wafatnya Nabi

Ketika Nabi Muhammad wafat pada tahun 632 Masehi, bukan hanya rasa duka yang menyelimuti para sahabat dan umat Muslim, tapi juga ketidakpastian. Nabi tidak meninggalkan wasiat politik formal tentang siapa yang akan melanjutkan kepemimpinan umat. Dari sinilah konflik dimulai. Bukan karena para sahabat tidak mencintai Nabi atau tidak taat kepada agama, tapi karena mereka adalah manusia dengan pemikiran, pengalaman, dan kepentingan yang berbeda. Di Saqifah Bani Sa'idah, hanya beberapa jam setelah Nabi dimakamkan, para sahabat dari kaum Muhajirin dan Anshar berdebat tentang siapa yang pantas menjadi pemimpin. Abu Bakar akhirnya terpilih sebagai khalifah pertama. Tapi proses itu tidak berjalan tanpa protes. Beberapa sahabat, termasuk Ali bin Abi Thalib, merasa keputusan itu terlalu tergesa dan tidak melibatkan semua pihak. Perbedaan itu makin dalam setelah Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar bin Khattab, lalu Utsman bin Affan, dan kemudian Ali bin Abi Thalib. Di masa Ali, pecahla...

Uang Nggak Bisa Beli Segalanya, Tapi Tanpa Uang Segalanya Bisa Bikin Pusing

Jujur aja, kita sering ngerasa gaji itu kayak numpang lewat. Masuk tanggal 25, hilang tanggal 27. Belum sempat pegang utuh, udah habis buat bayar cicilan, tagihan listrik, kuota internet, sama jajan kopi yang katanya "self-reward". Masalahnya bukan cuma gaji kecil, tapi lebih ke nggak punya rencana keuangan yang jelas. Perencanaan keuangan itu penting, bukan cuma buat orang kaya. Justru makin terbatas penghasilan, makin penting punya strategi. Dengan nyusun bujet bulanan, kita bisa tahu uang ke mana aja, mana yang prioritas, mana yang bisa ditunda. Mulai dari nabung darurat, bayar utang, sampai nyisihin buat investasi kecil-kecilan. Kenapa harus investasi? Karena nabung doang itu nggak cukup. Uang yang cuma ditaruh di tabungan lama-lama bisa “dimakan” inflasi. Nilainya turun, padahal angka tetap. Lewat investasi, entah itu reksadana, saham, emas, atau properti, kita ngasih kesempatan uang buat bertumbuh. Bukan buat cepet kaya, tapi buat masa depan yang lebih aman. Jadi, ka...

Mengapa Ada Banyak Agama dan Beragam Nama untuk Tuhan

Kalau Tuhan itu satu, kenapa nama-Nya bisa beda-beda di tiap agama? Kenapa ada yang memanggil-Nya Allah, Yahweh, Brahman, Tao, sampai Zat Yang Maha Tinggi? Pertanyaan ini nggak cuma muncul di kelas filsafat, tapi juga di hati banyak orang yang sedang mencari makna spiritualitas. Salah satu sebabnya adalah manusia hidup dalam budaya dan konteks sejarah yang berbeda-beda. Tuhan yang dikenal di Timur Tengah tentu akan punya narasi, simbol, dan bahasa yang beda dengan Tuhan yang dikenal di India atau Tiongkok. Setiap peradaban mencoba menjelaskan yang tak bisa dijelaskan, memberi bentuk pada yang tak berbentuk. Jadilah Tuhan dalam rupa yang bisa mereka pahami—dalam mitos, kitab, puja-puji, dan ritual. Agama muncul bukan hanya sebagai sistem kepercayaan, tapi juga sebagai cara hidup dan tatanan sosial. Setiap agama menjawab kebutuhan zamannya: memberikan harapan, menegaskan moral, dan menciptakan keteraturan. Maka tak heran jika banyak agama lahir dari pengalaman spiritual yang berbeda n...

Ternyata Tidak Semuanya Harus Dirayakan

Di dunia yang gemar pesta dan gemerlap, kita sering diajari bahwa semua hal butuh dirayakan. Ulang tahun, kenaikan jabatan, kelulusan, bahkan putus cinta pun ada yang bikin pesta. Tapi, seiring waktu dan pengalaman, saya makin yakin: tidak semuanya harus dirayakan. Ada hal-hal yang cukup disimpan dalam hati, disyukuri dalam diam, tanpa kembang api dan undangan. Kadang, pencapaian paling besar datang tanpa sorak-sorai. Seperti bisa bangun pagi setelah semalam bergulat dengan pikiran gelap. Atau keberanian untuk memutuskan sesuatu yang berat. Atau sekadar berhasil bertahan di hari yang rasanya ingin menyerah. Itu semua layak disyukuri, meski tidak harus dirayakan dengan pesta. Ada juga peristiwa yang, justru dengan dirayakan, kehilangan maknanya. Seperti orang yang pamer keberhasilan tapi dalamnya kosong, atau merayakan cinta yang dipaksakan. Kita perlu belajar membedakan: mana yang benar-benar perlu dirayakan, dan mana yang cukup dinikmati dalam tenang. Karena tidak semua kebahagiaan ...

Menamai Emosi, Menenangkan Diri

Terkadang kita marah, tapi bilang ke orang lain: “Enggak apa-apa kok.” Padahal hati panas, kepala penuh omelan dalam hati. Di situlah sering masalah dimulai: kita nggak kenal benar apa yang sedang kita rasakan. Nah, ternyata dalam dunia psikologi, ada satu teknik sederhana tapi berdampak besar: melabelkan emosi. Cukup dengan menyebut perasaan yang muncul dengan jujur — “aku sedang marah,” “aku merasa kesepian,” atau “aku takut gagal.” Teknik ini dipakai di banyak terapi modern, seperti Mindfulness-Based Therapy, ACT, dan DBT. Tujuannya bukan buat menghakimi atau menolak emosi, tapi menyadari dan menerima bahwa emosi itu hadir. Begitu kita menyebut nama emosi dengan sadar, otak bagian amigdala yang biasanya bikin kita reaktif, perlahan jadi tenang. Otak rasional jadi lebih aktif. Kita jadi bisa memilih merespons dengan kepala dingin, bukan meledak atau memendam. Misalnya, saat rasa cemas datang menjelang presentasi, daripada mengabaikannya, coba katakan dalam hati: “Aku sedang cemas sek...

Imajinasi Manusia tentang Tuhan

Tuhan, dalam banyak hal, mungkin adalah makhluk paling misterius sekaligus paling akrab dalam pikiran manusia. Kita membicarakan-Nya, menyembah-Nya, bahkan bertengkar soal-Nya. Tapi siapa Dia, sungguh? Atau lebih tepatnya: apakah Dia benar-benar ada, atau kita hanya menciptakan-Nya karena kita butuh alasan untuk menjelaskan yang tak bisa kita pahami? Osho bilang, “Tuhan bukanlah orang, tapi pengalaman.” Sementara Jiddu Krishnamurti lebih tajam lagi—baginya, Tuhan adalah proyeksi dari pikiran yang ketakutan. Kita takut sendirian, takut mati, takut tak berarti. Maka kita ciptakan Tuhan: sosok maha tahu, maha sayang, sekaligus maha mengawasi. Kita bentuk Dia dalam rupa yang kita pahami—berjanggut, duduk di atas takhta, atau hadir sebagai cahaya. Padahal, seperti kata Ludwig Feuerbach, “Tuhan adalah cermin tempat manusia memproyeksikan kualitas terbaik dirinya.” Jika kita jujur, imajinasi tentang Tuhan lebih banyak dibentuk oleh budaya dan doktrin daripada pengalaman langsung. Seorang anak...

Dia yang Dipanggil sebagai Sang Nabi

Sang nabi. Dia yang katanya ditunjuk langsung oleh langit. Tapi apakah ia benar-benar dipilih? Atau dia hanya manusia biasa yang punya keberanian menyuarakan yang tak mampu diucap orang kebanyakan? Jean-Paul Sartre pernah berkata, “Manusia adalah makhluk bebas yang dikutuk untuk memilih.” Mungkin, nabi adalah mereka yang memilih jalan yang tak nyaman: merobek kenyamanan, menggugat kekuasaan, menertawakan kemapanan. Nabi bukan hanya jubah dan mukjizat. Kadang ia justru datang sebagai pengganggu. Seperti Socrates, yang disebut “lalat pengganggu Athena.” Ia tak membawa wahyu, tapi membawa pertanyaan. Dan itu sudah cukup menggelisahkan. Hannah Arendt menulis bahwa orang-orang yang membawa ide baru akan selalu dianggap mengancam. Maka, para nabi, baik yang religius maupun filosofis, sering kali dibunuh—bukan karena mereka salah, tapi karena mereka terlalu jujur. Dan ketika sebuah sistem telah berhasil menundukkan sang nabi, ia dikultuskan. Dari pengganggu jadi patung. Dari pengacau jadi pan...

Dia yang Bernama Tuhan

Kita menyebutnya Tuhan. Kadang dengan huruf kapital, kadang dengan penuh rasa takut, kadang dengan cinta yang membingungkan. Tapi apakah kita benar-benar tahu siapa Dia? Atau jangan-jangan, seperti kata Feuerbach, “Tuhan adalah proyeksi ideal manusia.” Apa yang kita bayangkan sebagai sempurna, kita letakkan pada sosok tak terlihat dan menyebutnya sebagai Tuhan. Tuhan dalam kepala kita, seringkali hanya versi besar dari ayah yang bijak atau raja yang adil—konsep yang sangat manusiawi. Nietzsche lebih keras lagi: “Tuhan telah mati,” katanya. Bukan berarti ia benar-benar tewas, tapi karena manusia telah membunuhnya lewat dogma, lewat ritual kosong yang menjauh dari pencarian makna sejati. Simone Weil pernah berkata, “Jarak paling jauh antara manusia dan Tuhan adalah ketika manusia merasa paling dekat.” Aneh, ya? Kita sering merasa mengenal Tuhan hanya karena rajin beribadah, tapi menolak mempertanyakan-Nya. Seolah rasa ingin tahu adalah dosa. Dekonstruksi konsep Tuhan bukan berarti menggu...

Hidup dalam Pertanyaan-Pertanyaan

Kalau hidup itu jalan tol, mungkin semua orang sudah cepat sampai ke tujuan tanpa capek. Sayangnya, hidup lebih mirip jalan kampung: berliku, berlubang, kadang mendaki, kadang terperosok. Kadang kita merasa sedang di atas angin, besoknya malah dihantam kenyataan. Seperti kata Heraclitus, “Satu-satunya yang tetap adalah perubahan.” Saya pernah punya teman semasa sekolah, yang dulu kalau bercita-cita mau jadi Penyanyi terkenal. Sekarang? Ia lebih bahagia jadi barista di kafe kecil. Bukan karena gagal, tapi karena hidup mengajaknya berbelok. Begitulah hidup: siapa pun bisa berubah, bahkan orang yang paling kita kira akan tetap sama. Kehidupan itu misteri. Kita bisa merancang rencana A sampai Z, tapi hidup suka iseng membelokkan arah ke huruf lain yang bahkan tak kita kenal. Banyak yang merasa aneh saat dulu bercita-cita besar, kini cukup puas menikmati hal-hal kecil. Ada juga yang dulunya santai, kini sibuk mengejar sesuatu yang bahkan dirinya pun belum benar-benar paham. Contohnya say...

Ternyata Begini Cara Cepat Naik Jabatan....

“Aku tuh heran, kenapa yang naik jabatan malah si Fadli?” Tebe nyeletuk sambil duduk di bangku kayu dekat garasi pabrik, bekas tempat naruh helm yang sekarang berubah jadi kursi curhat karyawan transportasi. Bowo, sopir paling senior di divisi itu, nyengir sambil ngelap spion truk boks. “Karena dia rajin, Be. Rajin nempel sama bos.” “Ya itu maksudku!” balas Tebe cepat. “Kita yang kerja bener, dateng pagi, pulang sore, ngurus surat jalan, malah nggak keangkat. Dia yang sering ngilang, malah naik gaji. Dunia kerja tuh emang dunia tipu-tipu.” Mesin truk meraung, tapi suara hati Tebe lebih bising. Ia bukan iri, katanya dalam hati. Cuma... kenapa rasanya perut mules tiap lihat Fadli ngopi sambil senyum-senyum di ruang HR? “Be, ridho itu bukan soal rela orang lain senang, tapi paham bahwa rezeki tiap orang udah punya jalurnya masing-masing,” Bowo akhirnya angkat bicara sambil jongkok ngiket tali sepatunya. Tebe diam. Rasa kesal mengendap kayak oli hitam di genangan belakang pabrik. Pas malam...

Apakah Kamu Dapat Ikhlas dengan Kemalangan?

“Aku tuh bukan nggak mau ikhlas, Yahya. Tapi kok ya kemalangan milih-milih ya, giliran aku yang disamperin tiap minggu,” gerutu Tebe sambil mengaduk teh manis yang udah dua kali diangetin ulang di dapur santri. Yahya ngakak. “Berarti kamu santri terpilih, Be. Ujian dulu baru naik kelas. Kayak sinetron.” Ramadhan tahun ini panasnya beda. Di pondok, suasana makin lengket antara puasa, hafalan, dan tugas nyuci piring. Tapi entah kenapa, buat Tebe, yang paling berat justru bukan itu. “Udah seminggu sendal hilang, motor rusak, nilai tafsir jeblok, terus... surat dari rumah isinya: ‘Bapakmu sakit, tapi tetap semangat ya!’ Lha? Aku malah bingung, ini yang sakit siapa yang butuh semangat siapa?” Yahya nyengir, “Jadi kamu marah sama takdir?” “Bukan marah. Cuma... ya kesel aja. Hidup kok kayak lomba apes.” Maghrib nyaris tiba. Di langgar pondok, suara adzan mulai berkumandang. Tebe ngelirik langit. Hatinya gerimis, meski mulutnya bisa nyengir. “Nggak apa-apa kan kalau aku belum ikhlas sepenuhnya...

Negara Ganti Kebijakan, Aku Tetap Makan

“Apa? Pajak naik lagi?!” Suara Pak Joni menggema di warung pecel lele. Aku menyesap teh hangat, malas menanggapi. “Dulu dibilang nggak bakal ada pajak tambahan, eh sekarang malah dinaikkan! Giliran rakyat kecil yang kena lagi,” lanjutnya sambil menyumpah-nyumpah. Aku mengaduk nasi, menghela napas pelan. Sudah biasa. Pemerintah bikin aturan, rakyat marah, lalu tetap hidup seperti biasa. Besok harga cabe bisa naik, orang-orang akan lupa pajak dan mulai ngomel soal tukang sayur. “Mas, menurutmu gimana?” Pak Joni menatapku, menunggu dukungan. Aku mengunyah dulu, lalu berkata, “Mau marah juga nggak bikin perut kenyang, Pak.” Dia mengernyit. “Maksudnya?” Aku menaruh sendok. “Negara ini sudah kayak cuaca. Hari ini panas, besok hujan, lusa entah badai atau kemarau. Mau ngeluh terus juga nggak bakal bikin hidup lebih enak.” Pak Joni mendengus. “Tapi kita rakyat kecil harus bersuara!” Aku mengangguk. “Benar. Tapi setelah suara kita didengar, lalu apa? Kita tetap harus kerja, tetap harus ...

Mungkin Pencarianku Tidak Perlu Diteruskan

“Apa kamu sudah menemukan yang paling benar?” tanya Wawan sambil menyeruput kopinya. Aku terdiam. Sudah seminggu ini aku sibuk membaca, menonton ceramah, dan bertanya ke sana kemari. Tapi semakin banyak yang kudengar, semakin bingung aku dibuatnya. "Ahlussunnah wal Jamaah yang paling benar!" kata seorang ustadz di YouTube. "Tidak! Kembali ke Quran dan Sunnah tanpa bid’ah, itulah yang benar!" sergah yang lain. "Kalian semua sesat! Yang benar cuma kami!" suara seorang dai garis keras memenuhi pikiranku. Aku mengacak rambut. "Kenapa semuanya merasa paling benar, ya?" gumamku. Wawan terkekeh. “Gus Dur pernah bilang, ‘Agama itu bukan untuk saling menyalahkan, tapi untuk saling memahami.’” Aku mendongak. “Jadi?” “Jadi, ya sudah, ibadah saja yang benar. Kalau ujungnya cuma debat tanpa akhlak, buat apa?” Wawan mengangkat bahu. Aku menghela napas panjang. Dalam pencarianku, aku terlalu sibuk bertanya siapa yang paling benar, sampai lupa bertanya:...

Tuhan dan Logika yang Tidak Tuntas

"Kalau Tuhan memang ada, kenapa dia membiarkan penderitaan terjadi?" Suara Damar memenuhi ruangan kecil itu. Tangannya memegang rokok yang sudah hampir habis, asapnya mengepul ke langit-langit kamar kos. Aku menatapnya sebentar, mencoba mencari jawaban yang tidak klise. "Karena mungkin Tuhan bukan tentang menghentikan penderitaan, tapi tentang memberi kita keberanian untuk melewati semuanya," jawabku pelan. Damar tertawa kecil, suara cemooh yang lebih terdengar seperti keputusasaan. "Klise banget. Jadi menurut lo, Tuhan cuma alasan manusia buat nggak ngerasa sendirian? Semacam penghiburan?" Aku terdiam. Apa salahnya jika memang begitu? Damar melanjutkan, "Gue rasa, Tuhan itu kayak jawaban ujian yang kita nggak tahu. Kalau lo nggak ngerti soal, lo tinggal nulis ‘Tuhan’ aja, beres." Pikiranku melayang pada malam-malam panjang yang pernah kulewati. Waktu aku kehilangan pekerjaan, dihantam kenyataan hidup yang kejam, aku memang mencari Tuhan—bukan ka...

Aliran Islam Mana yang Paling Benar?

"Ustaz, aliran Islam mana yang paling benar?" tanya seorang pemuda berkopiah putih di tengah majelis. Suasana pengajian mendadak hening, hanya suara kipas angin tua yang terdengar. Ustaz itu tersenyum tipis, menarik napas panjang sebelum menjawab, "Tentu aliran yang saya ajarkan ini. Karena inilah jalan yang lurus, satu-satunya yang akan menyelamatkan kalian di akhirat nanti." Aku, yang duduk di barisan belakang, mengerutkan kening. Jawaban itu terasa mutlak, seperti menutup ruang bagi pemikiran lain. Aku teringat ceramah Quraish Shihab yang kutonton di televisi seminggu lalu. Ketika mendapat pertanyaan serupa, beliau menjawab dengan tenang, "Semua boleh jadi benar, karena manusia hanya berusaha memahami Tuhan lewat keterbatasan mereka." Setelah pengajian selesai, aku mendekati pemuda tadi. "Apa menurutmu jawaban ustaz tadi masuk akal?" tanyaku. Dia menatapku dengan mata berbinar, penuh keyakinan. "Tentu saja, Mas. Kalau nggak percaya sama u...

Bayangan di Cermin

"Dia cuma beruntung!" seru Reza, mematikan video YouTube yang menampilkan Fikri, teman lamanya, sedang diwawancarai sebagai pengusaha sukses. "Kalau dulu gue dapet peluang kayak dia, gue juga bisa kayak gitu!" Reza bersandar di kursinya, menatap layar laptop yang kosong. Di kepalanya, bayangan masa lalu berputar. Fikri dulu hanya anak biasa di kampus, tidak menonjol, sering pinjam catatan, bahkan sering diejek. Dan sekarang? Dia jadi bintang, dengan mobil mewah dan bisnis yang disebut-sebut inspiratif. Reza membuka media sosial Fikri. Ia memindai foto-foto sukses itu dengan pandangan sinis. "Ah, siapa juga yang nggak bisa kalau modalnya gede!" gumamnya. Dalam pikirannya, ia yakin bahwa Fikri tidak sehebat itu—hanya kebetulan berada di tempat dan waktu yang tepat. Namun, semakin ia mencari celah untuk menjelekkan Fikri, semakin ia merasa kecil. Setiap foto dan video yang dilihatnya menjadi pengingat akan keputusan-keputusan yang ia lewatkan. Malam itu, Reza...

Sadar Realitas

Realitas adalah apa yang kita alami saat ini; detik yang nyata dan terasa di depan mata. Namun, manusia sering kali absen dari momen tersebut. Pikiran kita melayang ke masa lalu yang penuh penyesalan atau ke masa depan yang penuh kekhawatiran. Akibatnya, kita tidak benar-benar hadir dalam hidup yang sedang terjadi. Ketika makan, sering kali kita terjebak memikirkan tugas yang belum selesai. Saat bersama teman, pikiran malah sibuk mengurai masalah yang belum tentu penting. Akhirnya, momen-momen berharga berlalu tanpa kita nikmati. Kita sering terjebak dalam kebiasaan overthinking, menciptakan kesulitan yang sebenarnya tidak ada. Narasi kehidupan yang kita bangun sering kali terlalu rumit. Kita lupa bahwa hidup, pada dasarnya, adalah serangkaian momen sederhana. Ketenangan tidak berasal dari menyelesaikan semua masalah, tetapi dari kemampuan untuk benar-benar hadir di saat ini. Dengan melambat dan fokus pada momen sekarang, kita dapat melihat keindahan yang ada di sekitar: rasa makanan, ...

Bayang-Bayang Ketakutan

Takut adalah bayangan yang seringkali lebih besar dari kenyataan. Ia lahir dari ketidaktahuan, membayangi pikiran kita dengan kemungkinan-kemungkinan yang bahkan belum terjadi. Kita hidup di bawah bayang-bayang rasa takut: takut gagal, takut kehilangan, takut menghadapi hal-hal yang tidak kita mengerti. Namun, sesungguhnya, ketakutan itu sendiri tidak nyata. Ia hanya ilusi yang dipelihara oleh pikiran kita yang terlalu terbiasa dengan ketidakpastian. Bayangkan saat kamu kecil, takut pada kegelapan. Dalam gelap, bayangan menjadi monster, suara kecil menjadi ancaman. Tapi, saat lampu dinyalakan, kamu menyadari bahwa tidak ada apa-apa. Gelap itu netral; ketakutanmu adalah proyeksi dari pikiranmu. Begitu pula hidup. Ketika kamu mulai memahami apa yang membuatmu takut, kamu akan menyadari bahwa ketakutan itu hanyalah refleksi dari ketidaktahuanmu. Namun, memahami tidak mudah. Ini bukan soal menemukan jawaban instan, tapi soal keberanian untuk melihat ketakutanmu dari dekat, mempelajarinya t...

Logika tentang Tuhan

Dalam memahami Tuhan, manusia sering terjebak pada dikotomi antara iman dan logika. Sebagian menerima Tuhan sebagai dogma yang tak perlu dipertanyakan, sementara yang lain menolak keberadaan-Nya karena tak terukur oleh sains. Tuhan, dalam pendekatan rasional, bukanlah entitas yang dapat dijelaskan melalui mistik atau keajaiban semata. Ia adalah konsep yang lahir dari kebutuhan manusia untuk memahami apa yang tak terpahami. Dalam sejarahnya, manusia menciptakan Tuhan sebagai jawaban atas fenomena alam yang dulu sulit dinalar. Petir, hujan, kelahiran, kematian—semua itu dikaitkan dengan kekuatan adikodrati. Namun, seiring berkembangnya sains, penjelasan rasional menggantikan sebagian dari "mukjizat" ini. Namun, apakah berarti Tuhan tidak ada? Tidak sesederhana itu. Tuhan tetap menjadi simbol perjuangan manusia untuk memahami makna hidup. Ia adalah ide yang terus berkembang, mengikuti kemampuan akal manusia. Konsep Tuhan tidak boleh digunakan untuk membatasi pemikiran, melainkan...

Perjalanan Tanpa Nama

“Jadi, kamu nggak percaya Tuhan?” tanya Raka sambil menyeruput kopinya. Pertanyaan itu datang tiba-tiba, tanpa aba-aba, seperti petir di siang bolong. Aku hanya tersenyum kecil, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Di dalam café kecil di pinggir Jakarta, obrolan semacam ini terasa terlalu besar. “Bukan nggak percaya, Rak,” jawabku akhirnya. “Aku cuma nggak tahu agama mana yang benar-benar sesuai untukku.” Raka mengangguk, tapi aku tahu dia tidak benar-benar paham. Aku menatap layar laptopku yang penuh dengan artikel-artikel spiritual, filsafat, dan kisah-kisah pencarian makna. “Kamu agnostik?” desaknya lagi. “Bukan,” jawabku tegas. “Aku nggak sibuk mikir ada Tuhan atau nggak. Aku lebih fokus ke apa yang membuat hidup ini bermakna.” Dia tertawa kecil, mungkin mengejek atau mungkin hanya karena dia tidak tahu harus berkata apa. “Kayaknya kamu bagian dari The Nones, ya? Orang-orang yang nggak ikut agama, dengan tetap nyari makna dan harmoni hidup.” Aku terdiam, merenung sejenak. Mungkin...