Kehilangan itu tidak pernah datang dengan cara yang bisa kita siapkan. Ia masuk pelan-pelan seperti asap rokok di ruang tamu, lalu tiba-tiba memenuhi dada. Kadang datang dari kabar kematian orang tua, kadang dari pelukan terakhir seorang kekasih yang bilang, “Maaf, aku harus pergi.” Atau lewat telepon dari rumah sakit yang hanya mengucap satu kalimat pendek, “Ia sudah tiada.” Sisanya adalah hening yang tak bisa kau lawan dengan doa atau air mata. Dulu, saya kira yang paling menyakitkan adalah kematian. Ternyata yang lebih menyakitkan adalah hari-hari setelahnya—saat tidak ada yang membangunkan kita dengan suara yang familiar, atau ketika meja makan terasa terlalu besar untuk satu orang saja. Najwa Zebian pernah menulis, “Some people arrive and make such a beautiful impact on your life, you can barely remember what life was like without them.” Dan kehilangan membuat kita terjebak di situ: merindukan sesuatu yang tak lagi bisa dipegang. Haemin Sunim lebih lembut berkata, “Hati kita patah...