Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2025

Tentang Kehilangan dan Sepi yang Tak Bisa Dijelaskan

Kehilangan itu tidak pernah datang dengan cara yang bisa kita siapkan. Ia masuk pelan-pelan seperti asap rokok di ruang tamu, lalu tiba-tiba memenuhi dada. Kadang datang dari kabar kematian orang tua, kadang dari pelukan terakhir seorang kekasih yang bilang, “Maaf, aku harus pergi.” Atau lewat telepon dari rumah sakit yang hanya mengucap satu kalimat pendek, “Ia sudah tiada.” Sisanya adalah hening yang tak bisa kau lawan dengan doa atau air mata. Dulu, saya kira yang paling menyakitkan adalah kematian. Ternyata yang lebih menyakitkan adalah hari-hari setelahnya—saat tidak ada yang membangunkan kita dengan suara yang familiar, atau ketika meja makan terasa terlalu besar untuk satu orang saja. Najwa Zebian pernah menulis, “Some people arrive and make such a beautiful impact on your life, you can barely remember what life was like without them.” Dan kehilangan membuat kita terjebak di situ: merindukan sesuatu yang tak lagi bisa dipegang. Haemin Sunim lebih lembut berkata, “Hati kita patah...

Sembuhnya Mata Ptosis Kakak Nubhu

Sore itu, ruang tunggu UPK Mata RSCM Kirana tampak seperti biasa, ramai, sesak, tapi penuh harapan. Seorang anak laki-laki duduk di bangku plastik biru, mengenakan jaket tipis dan celana training biru dongker. Namanya Nusantara Bhumi Aguna, biasa dipanggil Nubhu. Usianya tujuh tahun. Dan hari itu, ia akan menjalani operasi keduanya. Mamah Agis duduk di samping, menggenggam tangan kecil Nubhu. Tak ada kata-kata. Hanya napas yang mereka atur agar tidak terlalu terdengar gugup. Ini bukan pertama kalinya mereka ke rumah sakit. Tapi tetap saja, menunggu giliran masuk ruang operasi seperti menunggu nasib ditentukan. Nubhu punya mata yang istimewa sejak lahir. Kelopak mata kirinya lebih kecil dari kanan, istilah medis turunnya kelopak mata yakni Ptosis. Kelihatan seperti mengantuk terus. Kadang ia merasa perih, silau kalau kena cahaya, atau matanya berkedip terlalu sering saat terkena angin. Orang-orang bilang, ini biasa. Tapi lama-lama, kata-kata orang berubah jadi ejekan. Teman-temannya di ...

Punya Teman Pejabat, Bukan Berarti Urusan Hidup Lebih Mudah

Saya punya teman, sebut saja namanya Maman. Dia bangga betul karena punya kenalan pejabat. Di setiap tongkrongan, dia selalu menyelipkan kalimat sakti, “Waktu itu saya ngobrol sama Pak Camat, katanya sih…” atau “Saya sama Wakil Walikota deket, Bro.” Awalnya kami pikir dia bercanda. Tapi makin ke sini, makin sering dia bawa-bawa nama pejabat itu seakan-akan punya efek magis. Lucunya, waktu dia ditilang polisi karena nerobos lampu merah, nggak ada satu pun “kenalan pejabat”-nya yang bisa bantu. Akhirnya dia bayar tilang sendiri sambil misuh-misuh, “Padahal saya tuh kenal Pak Lurah, loh!” Nah, di situlah saya belajar satu hal: punya kenalan pejabat nggak otomatis bikin kita punya kuasa atau keistimewaan. Ibarat punya nomor WA artis, tapi cuma bisa lihat statusnya doang, nggak pernah dibalas juga. Temenan iya, tapi nggak berarti apa-apa. Banyak orang terlalu mengagungkan “relasi”, sampai lupa bahwa pengaruh sejati bukan soal kenalan siapa, tapi kontribusi kita apa. Kadang, kita cuma figura...

Tuhan Bukan Ada di Mana-Mana, Tapi Ia Tidak Ada

Tuhan sering disebut ada di mana-mana: di udara, di hati manusia, di balik peristiwa, bahkan di dalam setiap hela napas. Tapi itu hanya pernyataan tanpa bukti. Dalam sains, keberadaan sesuatu harus bisa diverifikasi, diuji, dan diulang hasilnya. Tuhan tidak memenuhi syarat itu. Maka, secara metodologis dan epistemologis: Tuhan tidak ada. Kalimat "Tuhan ada di mana-mana" adalah bentuk pelarian dari ketidaktahuan. Itu jawaban klise dari pertanyaan yang tidak bisa dijawab. Jika Tuhan benar ada di mana-mana, seharusnya keberadaan-Nya bisa dideteksi. Tapi tak ada alat ukur, tak ada observasi, dan tak ada bukti empiris yang bisa memastikan bahwa Tuhan eksis, apalagi "di mana-mana". Neurosains menunjukkan bahwa pengalaman spiritual bisa dijelaskan lewat aktivitas otak. Ilusi kehadiran "entitas ilahi" muncul dari proses neurologis tertentu. Artinya, keberadaan Tuhan adalah produk dari sistem saraf manusia. Tuhan bukan entitas eksternal, tapi proyeksi internal. Den...

Iman Itu Nggak Ilmiah dan Nggak Logis, Tapi Ya Emang Begitu

Kalau kita jujur, iman itu nggak ilmiah dan nggak logis. Iman adalah percaya pada sesuatu yang belum tentu bisa dibuktikan. Dalam sains, sesuatu harus bisa diuji, diamati, dan dibuktikan secara berulang. Tapi dalam iman? Cukup percaya. Nggak perlu bukti, cukup keyakinan. Logika? Bisa iya, bisa enggak. Tapi mayoritas, iman justru menanggalkan logika demi percaya pada sesuatu yang lebih besar dari nalar. Berapa banyak orang percaya surga dan neraka? Padahal nggak ada satupun yang bisa menunjukkan bukti konkret soal tempat itu. Tapi mereka tetap percaya, karena katanya "harus yakin dulu baru paham". Nah, ini jelas beda jalur sama logika. Bertrand Russell, seorang filsuf Inggris, bilang: "Not wanting to die is not evidence for an afterlife." Artinya, keinginan akan sesuatu nggak bisa jadi bukti bahwa itu benar-benar ada. Dalam dunia filsafat, iman digolongkan sebagai bentuk kepercayaan non-rasional. Kierkegaard bahkan menyebut iman sebagai “lompatan ke dalam jurang.” Ma...

Ternyata Manusia Dilahirkan Bukan Diciptakan

Mari kita mulai dengan satu pertanyaan mendasar: adakah bukti empiris bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan? Jawabannya: tidak ada. Sampai detik ini, tidak ada satu pun data ilmiah atau eksperimen yang bisa membuktikan bahwa manusia pertama—entah disebut Adam atau yang lain—muncul karena ciptaan sosok ilahi. Cerita Adam hanyalah narasi mitologis yang tertulis dalam kitab suci, bukan dokumen sejarah atau hasil penelitian ilmiah. Dalam sains, sesuatu dianggap valid jika bisa diamati, diukur, dan direplikasi. Tapi penciptaan manusia versi agama tidak memenuhi tiga kriteria tersebut. Evolusi, sebagai teori ilmiah, memberikan penjelasan lebih masuk akal dan didukung bukti fosil, genetika, hingga kesamaan struktur biologis antar spesies. Charles Darwin tidak pernah menyebut Tuhan dalam proses itu—karena memang tidak ada kebutuhan untuk hipotesis semacam itu. Dr. Ryu Hasan sering menekankan bahwa “keyakinan bukan kebenaran.” Agama menawarkan narasi untuk menjawab rasa penasaran manusia tentang ...

Bayang-Bayang Kaibon Banten

Tahun 1832. Asap masih belum hilang dari reruntuhan Kaibon, istana megah yang dulu jadi kebanggaan Banten. Batu-batunya masih hangat, seperti menyimpan murka. Tak ada denting gamelan, tak ada suara dayang berbisik. Hanya desir angin dan langkah sepatu Belanda yang membelah puing-puing sejarah. Letnan van der Graaf berdiri mematung di depan sisa pilar Kaibon, tangan kirinya memegang sketsa istana yang kini tak berarti. “Tak ada kerajaan yang lebih besar dari pemerintah Hindia-Belanda,” ucapnya dingin, seolah membekukan waktu. Di balik reruntuhan, seorang pemuda Banten, Ra’i, mengintip. Napasnya pendek. Dadanya penuh amarah. Ia menyaksikan sendiri Kaibon dibakar, tempat ibunya dulu bekerja sebagai pelayan sultanah. Matanya menatap jauh ke arah benteng yang porak-poranda—Benteng Speelwijk. Tempat pertahanan terakhir, kini hanya rangka besi tua dan dinding jebol. Dihancurkan bukan oleh musuh asing, tapi oleh tipu daya dagang, manipulasi politik, dan perpecahan bangsawan sendiri. Runtuhnya ...

Tuhan yang Tak Pernah Mengenalkan Diri

Coba deh pikirin pelan-pelan: kita sering banget nyebut nama Tuhan, berdoa, menyembah, bahkan berdebat tentang siapa Tuhan yang paling benar. Tapi pernah nggak sih, kita sadar bahwa Tuhan nggak pernah benar-benar memperkenalkan diri secara langsung? Kita kenal Tuhan lewat apa? Kitab suci, ajaran agama, petuah orang tua, dan ceramah-ceramah yang katanya bersumber dari wahyu. Tapi apakah itu benar-benar Tuhan? Atau cuma tafsir manusia tentang Tuhan? Dalam filsafat, ini mirip kayak kritiknya Feuerbach: “Tuhan adalah proyeksi ideal manusia.” Kita menciptakan gambaran Tuhan sesuai nilai dan kebutuhan kita. Bahkan Nietzsche lebih blak-blakan, katanya Tuhan sudah mati, karena manusia udah menggantikan Tuhan dengan ideologi dan rasionalitas. Tapi jauh sebelum itu, Socrates aja udah nyindir, bahwa pengakuan manusia tentang pengetahuan kadang cuma ilusi. Termasuk pengetahuan kita soal Tuhan. Kita bisa baca ratusan kitab, ikut ribuan ritual, tapi apakah kita sungguh-sungguh mengenal Tuhan? Atau c...

Teman yang Kita Dulu Sama-sama Susah

“Eh, itu Damar, kan?” gumam Tebe sambil memelototi layar ponselnya. Foto seorang pria berdasi, dengan senyum ramah di backdrop bertuliskan “Pelantikan Pejabat Eselon II”. Komentar di bawahnya seperti parade ucapan selamat. Tebe mendesah. Tangannya berhenti menggulir. Di tangannya ada gorengan setengah dingin yang sudah tak menggugah selera. Dulu, Damar itu temannya satu kelas di SMA. Duduk paling belakang, langganan nggak bawa PR, dan kalau ujian selalu nanya, “Lu udah belajar belum, Teb?” Sekarang? Damar jadi Kepala Dinas. Bukan iri, sih. Tapi… ya mungkin iya, dikit. Tebe masih jadi staf administrasi kontrak di perusahaan kecil, gaji pas-pasan, anak dua, cicilan motor belum lunas. Dulu mereka ngeluh bareng soal sepatu bolong dan warteg langganan. Tapi hidup kayak punya GPS masing-masing—dan jelas punya destinasi yang beda. Beberapa hari lalu, Tebe nekat DM Damar di Instagram. Cuma dibaca. Nggak dibalas. Waktu yang dulunya bisa bikin dua anak remaja ngobrol tentang hidup dan cinta mony...

Di Ingatanku, Kamu Masih Anak-Anak Meski Ragamu Semakin Menua

“Woy, Heru! Masih inget nggak, dulu kamu paling takut sama Bu Nurul, sampe ngompol di kelas?” Tawa pecah di teras rumah tua yang dulu jadi basecamp kami. Heru hanya nyengir. Sisa rambutnya mulai memutih, perutnya tak lagi ramping, dan geraknya sudah lambat. Tapi buat kami, Heru masih anak SMA yang suka nyontek PR Matematika dan jago main kelereng. Aku, Roni, dan Iqbal masih manggil dia “Heru kecil” walaupun sekarang dia punya tiga anak dan satu ginjal yang udah nggak berfungsi penuh. Dulu, dia paling cerewet, sekarang lebih banyak diam. Dulu, dia paling ngocol, sekarang sering lupa nama temen sekelas. “Aku tuh kadang ngerasa, kalian semua nggak pernah tua,” kata Heru pelan, matanya menerawang. “Ya karena kita udah tua bareng,” jawabku. “Tapi di kepala ini, kalian semua masih bocah. Masih pakai celana SMP, masih naik sepeda ke sekolah, masih rebutan jajan cilok di warung Mbah Salim.” Semua diam sejenak. Ada jeda yang menggantung antara nostalgia dan kenyataan. Seringkali, waktu nggak te...

Realita yang Nggak Diceritain di Seminar Motivasi

Pernah nggak kamu duduk di seminar motivasi, dengerin pembicara bilang, “Kalau saya bisa sukses, kamu juga pasti bisa!” Terus kamu mikir, “Iya sih, tapi hidup saya nggak semudah itu, Bambang.” Kadang kita lupa, bahwa jadi sukses bukan cuma soal niat dan kerja keras doang, tapi juga soal titik start, kondisi lingkungan, dan privilege yang kita bawa dari lahir. Banyak orang miskin yang dikasih motivasi, disuruh bangkit, disuruh rajin, tapi faktanya nggak semua bisa langsung berubah jadi kaya raya. Kenapa? Karena sistem sosial, akses pendidikan, kesehatan mental, dan tekanan ekonomi itu nyata. Bukan semua orang punya waktu buat “berani ambil risiko”, kalau makan aja masih mikir besok cukup apa nggak. Dalam psikologi sosial, hal ini disebut sebagai situational constraint. Orang nggak selalu gagal karena malas, tapi karena dibatasi oleh lingkungan dan kondisi hidup. Malcolm Gladwell dalam bukunya Outliers juga bilang, orang sukses itu bukan cuma kerja keras, tapi juga dapat kesempatan yang ...

Memori Palsu: Kenangan yang Tertanam, Tapi Tak Pernah Ada

Pernah nggak kamu merasa yakin banget sama sebuah kejadian di masa lalu—kayak teman yang pernah minjem buku, mantan yang katanya pernah bilang sesuatu, atau kejadian pas kecil yang kamu ceritain berkali-kali—tapi setelah ditelusuri, ternyata itu nggak pernah benar-benar terjadi? Kalau iya, selamat datang di dunia false memory alias memori palsu. Dalam psikologi dan neurosains, false memory adalah kenangan yang terasa nyata, tapi sebenarnya hasil konstruksi otak. Elizabeth Loftus, salah satu pakar psikologi kognitif paling berpengaruh, menyebut bahwa memori itu sifatnya rekonstruktif, bukan rekaman kamera. Artinya, setiap kali kita mengingat sesuatu, otak kita bukan memutar ulang, tapi “menyusun ulang” potongan-potongan yang ada—dan di sinilah sering masuknya fragmen yang salah. Kadang memori palsu muncul karena sugesti orang lain, cerita yang diulang-ulang, atau bahkan karena terlalu sering kita membayangkan sesuatu. Neurosains menjelaskan bahwa bagian otak seperti hippocampus dan pref...

Sampah Emosi dalam Konseling

Dalam dunia konseling, mendengarkan itu adalah inti. Seorang konselor, psikolog, atau terapis bekerja bukan untuk sekadar memberi solusi, tapi hadir—menjadi ruang aman bagi klien untuk bercerita, melepaskan beban, mengurai luka. Tapi di balik peran mulia itu, ada kenyataan yang nggak banyak dibahas: apa kabar hati dan pikiran si pendengar? Saat mendengarkan curhat klien yang penuh trauma, kemarahan, dosa, hingga kisah pengkhianatan—mau tak mau, konselor menyerap emosi-emosi itu. Ini yang disebut dengan istilah emotional residue atau compassion fatigue. Dalam jangka panjang, pendengar bisa kelelahan, kebawa suasana, bahkan terpengaruh secara emosional. Sama seperti orang yang kebanyakan nyium bau sampah, lama-lama ikut bau. Sigmund Freud pernah melakukan pendekatan unik: ia duduk membelakangi klien saat sesi konseling. Tujuannya bukan untuk tidak sopan, tapi untuk menjaga jarak dari ekspresi wajah, emosi, dan cerita personal klien agar tidak mengganggu dirinya secara pribadi. Freud sada...

Dika Bukan Lelaki Baik, Katanya

“Aku cuma khawatir, Nis. Mas Dika itu udah nggak pernah ikut pengajian, postingannya soal agama juga makin aneh. Dia ngajarin anak-anakmu pluralisme, feminisme, bahkan nulis status soal ‘Tuhan tak butuh dibela’. Apa kamu yakin rumah tangga kamu aman?” Kalimat itu meletup dari mulut Sinta, mantan ketua halaqoh kampus, saat mampir ke rumah Nisa, hari Sabtu siang yang awalnya tenang. Dari ruang kerja, Dika mendengarnya tanpa sengaja. Laptopnya terbuka, anak bungsunya tidur di pangkuan, dan kertas tagihan sekolah baru saja selesai ia lunasi. Sudah bukan pertama kali. Komentar seperti itu sudah akrab mampir lewat WA, DM, dan mulut-mulut teman lama yang katanya "sayang" padanya. Tapi kali ini agak keterlaluan. Sinta langsung menuding rumah tangga Nisa retak cuma karena ideologi suaminya tak lagi satu arah dengan komunitas lamanya. “Aku tahu kamu dulunya ketua BEM syar’i. Tapi sekarang, aku lihat suamimu... terlalu liar.” Nisa mengangkat alis. “Liar? Maksudmu, karena dia nggak lagi ...

Melepas Kelekatan Terhadap Hasil

Tawakal itu bukan soal pasrah tanpa usaha. Tapi lebih ke seni melepas, setelah kita berjuang sekuat tenaga. Dalam hidup, kita sering banget terlalu lekat sama hasil. Kita kerja keras, berharap hasil A. Kita bantu orang, berharap dibalas. Kita berdoa, berharap terkabul. Tapi ketika hasilnya nggak sesuai, hati rasanya remuk. Padahal inti dari tawakal adalah: kita lakukan bagian kita, dan sisanya bukan urusan kita lagi. Terlalu lekat pada hasil itu bikin hidup jadi penuh tekanan. Setiap langkah jadi berat karena kita merasa harus “sukses” dengan cara tertentu. Padahal, kadang semesta punya jalur lain yang lebih baik, tapi kita terlalu sibuk menuntut hasil versi kita sendiri. Tawakal mengajarkan kita untuk fokus pada proses, bukan semata hasil. Kata Kahlil Gibran, “Kerja adalah cinta yang menjadi nyata.” Tapi cinta sejati nggak memaksa untuk dibalas. Begitu juga kerja keras dan harapan. Kita lakukan karena cinta, bukan karena jaminan hasil. Tawakal bukan berarti nggak peduli, tapi justru p...

Doa Antara Keyakinan, Harapan, dan Realitas

Pernah nggak sih kamu ngerasa udah doa tiap malam, minta ini itu, tapi hasilnya nihil? Nggak ada perubahan signifikan, nggak ada jawaban “ajaib” yang datang tiba-tiba? Nah, dari situ muncul pertanyaan: seefektif apa sih doa terhadap terwujudnya keinginan? Secara psikologis, doa bisa dibilang bukan sekadar “permintaan” ke langit, tapi lebih ke bentuk refleksi diri. Doa membantu seseorang merasa lebih tenang, lebih terkoneksi dengan harapan, dan lebih siap menghadapi kenyataan. William James, filsuf sekaligus psikolog, pernah bilang bahwa doa itu bukan soal mengubah Tuhan, tapi mengubah si pendoa itu sendiri. Artinya, doa bikin kita lebih fokus, lebih sabar, dan kadang lebih kuat menghadapi kenyataan—meskipun kenyataannya nggak sesuai keinginan. Sementara itu, dari sisi sains, studi oleh Harvard Medical School menunjukkan bahwa doa atau spiritual practice bisa menurunkan stres dan meningkatkan sistem imun. Tapi kalau ngomongin doa bisa langsung mewujudkan keinginan? Hasilnya mixed. Beber...

Kalau Belum Bisa Let It Go, Cobain Let It Be dulu deh

Kita sering dikejar-kejar kata “let it go.” Disuruh cepat move on, disuruh melepaskan yang bikin sakit, diminta melupakan yang menyakitkan. Tapi kenyataannya, nggak semua hal bisa langsung kita lepas begitu aja. Ada luka yang masih hangat, ada rindu yang masih mengendap, dan ada kenangan yang menolak pergi. Di titik inilah kita bisa memilih satu sikap sederhana: let it be. Membiarkan bukan berarti menyerah. Let it be itu bentuk penerimaan bahwa belum semua hal harus selesai sekarang juga. Kadang kita butuh waktu untuk paham kenapa kita sedih, marah, atau kecewa. Haemin Sunim pernah bilang, “Tidak apa-apa jika kamu belum bisa melepaskan. Duduklah bersama rasa itu. Dengarkan ia.” Karena rasa yang belum selesai, tak bisa dipaksa selesai. Najwa Zebian juga menulis bahwa perasaan itu bukan untuk disapu bersih, tapi untuk dipeluk sampai reda. Jadi kalau belum sanggup let it go, biarkan dulu ia ada. Let it be. Biarkan ia hadir, kita amati, kita pahami. Sampai suatu hari, ketika hati sudah cuk...

Bagian Diri yang Tidak Bisa Dikendalikan

Pernah nggak, kamu tiba-tiba marah banget padahal sebelumnya baik-baik aja? Atau nangis sesenggukan hanya karena komentar kecil dari orang lain? Nah, itu bisa jadi karena salah satu bagian dirimu—yang disebut ego state—muncul ke permukaan dan mengambil alih. Dalam teori Transactional Analysis oleh Eric Berne, ego state adalah kondisi psikologis kita yang terbagi dalam tiga bagian utama: Parent (orangtua), Adult (dewasa), dan Child (anak-anak). Tapi makin ke sini, konsep ini berkembang. Banyak psikolog sepakat bahwa diri kita terdiri dari banyak sub-personality—ada “aku yang marah,” “aku yang benci,” “aku yang takut,” sampai “aku yang penurut.” Semua ini bisa muncul bergantian tergantung situasi dan kondisi. Misalnya, saat seseorang mengkritikmu, bisa jadi bagian “aku yang pernah disalahkan waktu kecil” langsung aktif dan bikin kamu defensif atau marah besar. Yang repot, bagian ini kadang muncul secara otomatis tanpa kamu sadari. Itulah kenapa disebut uncontrolled ego state—bagian diri ...

Belanja Karena Emosi, Bukan Kebutuhan

Kadang kita ke minimarket cuma niat beli sabun, eh pulangnya bawa keranjang isi snack, minuman kekinian, sampai lilin aromaterapi. Fenomena ini bukan kebetulan, tapi salah satu bentuk emotional spending — keputusan belanja yang lebih banyak dipicu perasaan daripada kebutuhan riil. Kita belanja bukan karena butuh, tapi karena “pengin” atau merasa “pantas dapet hadiah” setelah hari yang melelahkan. Ekonom sekaligus penulis buku “The Psychology of Money”, Morgan Housel, menyebut bahwa uang bukan hanya soal angka, tapi soal emosi dan perilaku. Banyak keputusan finansial buruk bukan karena kurangnya ilmu, tapi karena ketidakmampuan mengelola emosi. Ketika sedih, stres, atau bahkan terlalu bahagia, otak kita cenderung melemah dalam pengambilan keputusan rasional. Akibatnya, belanja jadi pelampiasan, bukan pemenuhan. Daniel Kahneman, peraih Nobel Ekonomi, dalam Thinking, Fast and Slow, menjelaskan bahwa otak punya dua sistem: cepat (emosional) dan lambat (rasional). Saat belanja impulsif, yan...

Santet itu Trik Lama yang Masih Laku

Santet sering kali dianggap sebagai ilmu hitam yang bisa mencelakai orang dari jarak jauh. Namun, Pesulap Merah, atau Marcel Radhival, menyatakan bahwa santet hanyalah trik yang digunakan oleh oknum untuk menakut-nakuti dan mengelabui orang. Dalam berbagai wawancara dan kontennya, Pesulap Merah menegaskan bahwa dirinya mengetahui seluruh rahasia santet dan membedakan antara santet dan sihir. Menurutnya, santet bukanlah sihir, dan sebaliknya.   Pesulap Merah juga menantang siapa pun yang mengklaim memiliki kemampuan santet untuk membuktikannya secara terbuka. Ia berpendapat bahwa praktik perdukunan yang mengatasnamakan santet sering kali menggunakan trik sulap dan hipnotis yang dibumbui dengan doa-doa agar terlihat meyakinkan.   Namun, tidak semua pesulap sependapat. Demian Aditya, misalnya, awalnya skeptis terhadap santet, tetapi kemudian mengaku pernah mengalami kejadian yang membuatnya percaya akan keberadaan santet. Ia menyatakan bahwa setelah mengalami send...

Latihan Mengamati Pikiran untuk Lepas dari Gangguan Kecemasan

Kecemasan itu sering datang tiba-tiba, seolah nggak ada angin, nggak ada hujan, tapi jantung mendadak deg-degan, pikiran kemana-mana. Rasanya seperti dikejar sesuatu, padahal kita lagi duduk diam. Salah satu cara sederhana tapi sering diremehkan untuk meredakannya adalah: mengamati pikiran. Mengamati pikiran bukan berarti menolak atau mengusirnya. Tapi duduk tenang, lalu melihat pikiran itu seperti awan yang lewat. Kita jadi penonton, bukan pemain. Psikolog seperti Jon Kabat-Zinn menyebut ini sebagai mindfulness, yaitu hadir utuh di momen sekarang tanpa menghakimi. Dan ternyata, ini ampuh untuk gangguan kecemasan, karena kita diajak berhenti bereaksi dan mulai menyadari. Osho, lewat meditasi aktifnya, bilang: "Jangan perangi pikiranmu. Biarkan mereka lewat. Duduk saja dan saksikan. Dalam pengamatan itu, muncul kebebasan." Kita diajak untuk tidak melawan pikiran, tapi berdamai dengannya. Masalahnya, kebanyakan dari kita terlalu sibuk terlibat dalam isi pikiran. Kita percaya ba...

Inner Child, Luka di Masa Kecil yang Terbawa saat Dewasa

Nggak semua luka kelihatan bentuknya. Kadang, yang paling dalam justru nggak berdarah, tapi membekas di dalam hati sejak kecil. Luka batin di masa kecil — entah karena dimarahi tanpa alasan, dibanding-bandingkan, diabaikan, atau dituntut sempurna — seringnya nggak selesai di masa itu. Ia ikut tumbuh, diam-diam, dan tiba-tiba muncul lagi saat kita dewasa. Inner child adalah bagian dari diri kita yang membawa emosi, pengalaman, dan persepsi masa kecil. Psikolog dan praktisi parenting seperti Najelaa Shihab dan Seto Mulyadi (Kak Seto) pernah bilang, masa kanak-kanak adalah fondasi utama karakter dan mentalitas seseorang. Kalau masa itu penuh luka dan nggak pernah diakui atau disembuhkan, maka di masa dewasa kita mudah merasa overthinking, sulit percaya orang lain, atau gampang marah tanpa tahu kenapa. Contohnya, orang yang dulu sering dimarahi karena menangis bisa tumbuh jadi orang dewasa yang menahan-nahan perasaan dan merasa bersalah saat sedih. Atau yang dulu sering dibandingkan, sekar...

Politik Jatah Preman

Kasus Ketua Kadin Kota Cilegon, Muhammad Salim, yang meminta jatah proyek Rp 5 triliun tanpa tender kepada PT Chandra Asri Alkali (CAA), bukan sekadar insiden pemerasan biasa. Ini mencerminkan pola relasi kuasa lokal yang dibahas Ian Douglas Wilson dalam bukunya Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru.   Dalam buku tersebut, Wilson menjelaskan bahwa pasca Orde Baru, banyak kelompok lokal—termasuk ormas dan tokoh masyarakat—mengisi kekosongan kekuasaan dengan membentuk jaringan informal yang memadukan politik, ekonomi, dan kekerasan. Mereka seringkali menjadi perantara antara kepentingan lokal dan proyek-proyek besar, dengan cara yang tidak selalu transparan.  Kembali ke kasus Cilegon, permintaan jatah proyek oleh Kadin setempat kepada PT CAA menunjukkan bagaimana aktor lokal mencoba memanfaatkan posisi mereka untuk mendapatkan keuntungan dari investasi besar. Tindakan ini tidak hanya mencoreng nama baik organisasi, tetapi juga menggan...

Menyambut Kematian

Kematian itu pasti, tapi tetap saja jadi hal yang paling kita hindari. Dalam bukunya Psikologi Kematian, Komaruddin Hidayat mengajak kita untuk berhenti memandang kematian sebagai momok menakutkan, dan mulai menjadikannya cermin untuk merefleksikan hidup. Ia bilang, justru karena kita sadar akan mati, maka hidup menjadi bermakna. Kalau hidup ini abadi, mungkin kita akan menunda segalanya dan tak pernah serius menjalani hari. Komaruddin menyoroti bahwa banyak orang takut mati bukan karena kematiannya itu sendiri, tapi karena ketidaksiapan menghadapi ketidakpastian setelahnya. Kita takut belum cukup amal, takut ditinggal orang tercinta, atau malah takut dilupakan. Padahal, kematian bukanlah akhir, tapi transisi. Dalam perspektif ini, mati bukan musibah, melainkan momen peralihan menuju tahap berikutnya yang penuh misteri. Di balik kesadaran akan kematian, manusia justru menemukan kedewasaan spiritual. Hidup jadi lebih tertata, lebih bermakna. Kita jadi berpikir ulang sebelum menyakiti or...

Hantu yang Tidak Tahu Arah Surga

Sudah tiga malam Uwi duduk di atas lemari, diam-diam, melihat anak dan suaminya tidur. Bukan karena tidak punya tempat lain, tapi karena sejak jadi hantu, ia tak tahu harus ke mana. Jangankan tahu arah surga, nembus plafon saja masih takut nyangkut. Dulu, sebelum mati, Uwi sering bilang dalam hati, “Kalau aku mati, bagaimana suamiku? Bagaimana anak-anak makan? Apa mereka masih pakai baju yang aku lipat?” Tapi ternyata, waktu mati beneran, yang bikin sesak bukan soal cucian kotor atau dapur kosong. Tapi melihat kenyataan bahwa hidup tetap berjalan… tanpa dirinya. Suaminya sempat sedih. Dua minggu. Setelah itu, mulai rajin pakai minyak rambut. Uwi tahu arah ceritanya. Benar saja. Tiga bulan kemudian, datang perempuan baru. Bawa rendang, senyum sok sopan. Anak Uwi dipanggil "sayang" dengan suara yang terlalu manis, seperti teh yang kelamaan direndam. Uwi hanya bisa mengambang di langit-langit ruang tamu, sambil sesekali ngusir nyamuk, padahal dia tak bisa digigit lagi. Namun yan...

Kalau Aku Mati, Siapa yang Bayar Galon?

Tebe lagi nyetrika baju anak-anaknya sambil nyalahin hidup. Bukan karena setrikaan panasnya bocor, tapi karena pikirannya udah mendidih duluan. “Kalau aku mati, siapa yang bayar galon?!” Kalimat itu nggak penting buat orang normal. Tapi buat Tebe, itu kayak pertanyaan filsafat hidup. Berat, ngilu, dan bikin lambungnya kumat. Pikiran soal mati itu kayak tamu tak diundang yang nongol tiap malam. Kadang pas lagi ngaduk susu buat si bungsu, kadang pas lagi ngupil di kamar mandi. Tebe cemas. Cemas banget. Bukan takut neraka, tapi takut tagihan listrik lupa dibayar kalau dia mati mendadak. “Teb, kamu kenapa sih sekarang jadi pendiam? Dulu mah kamu kayak keran bocor, ngomong terus,” tanya istrinya sambil ngelipet celana. Tebe cuma senyum kecut. Nggak tega jawab, kalau dalam pikirannya, tiap detik tuh kayak film pendek berjudul: “Pemakaman Ayah dan Anak-anaknya yang Kebingungan Bawa Kartu Keluarga.” Saking cemasnya, Tebe sampai nyari artikel: “Cara Menyiapkan Anak-anak Jika Ayah Mati Mendadak....

Aku Mimpi Mati

Pukul dua dini hari. Hujan masih menggantung di luar jendela, seperti sisa doa yang ditinggalkan tergesa. "Aku mimpi mati," gumam Damar, tangannya masih memegang bungkus rokok yang belum sempat dibuka. Ia duduk sendirian di kursi ruang tamu, menatap televisi yang sejak tadi mati. Bukan karena listrik padam. Tapi karena hidup kadang memang memilih diam sebagai bentuk bicara yang paling keras. “Ada apa, Mar?” suara ibunya dari balik pintu kamar. “Enggak. Cuma... tiba-tiba kepikiran, kalau aku mati malam ini, siapa yang bakal nyari jasadku?” katanya pelan. Ibunya terdiam. Tidak menjawab. Karena orang tua tahu, kematian bukan sesuatu yang bisa dibantah dengan kata-kata. Damar bangkit. Menyalakan televisi. Yang muncul hanya bayangan dirinya sendiri. Sekejap, ia merasa seperti sedang menonton tayangan ulang tentang hidupnya yang tak terlalu penting. Tak ada pencapaian. Tak ada gelar. Tak ada cinta. Hanya kenangan-kenangan yang berlari-lari kecil di lorong waktu, menyodok pikirannya...

Ruh atau Jiwa dalam Tinjauan Sains dan Filsafat

Dalam sains modern, terutama dalam neurosains dan biologi evolusioner, istilah ruh atau jiwa nggak punya tempat yang pasti. Kalau kita tanya, “Di mana letak jiwa manusia?” para ilmuwan akan mengernyit, lalu menunjuk ke otak. Daniel Dennett, dalam bukunya Consciousness Explained, menyebut kesadaran dan apa yang kita kira sebagai “jiwa” itu sebenarnya hasil dari proses kompleks dalam otak—bukan entitas tak terlihat yang keluar-masuk tubuh. Begitu juga Stephen Hawking dalam The Grand Design, ia menolak ide bahwa manusia punya “jiwa abadi”. Baginya, manusia adalah sistem biologis yang tunduk pada hukum alam. Ketika tubuh mati, kesadaran berhenti. Ruh? Bagi sains, itu cuma mitos dari ketidaktahuan zaman dulu. Dalam filsafat, debatnya lebih panjang dan licin. David Hume, filsuf skeptis dari Skotlandia, bilang bahwa konsep “self” atau jiwa hanyalah kumpulan persepsi yang berubah-ubah. Tidak ada “aku” yang utuh dan tetap. Begitu juga Nietzsche, dalam Thus Spoke Zarathustra, menertawakan ide te...

Psikologi Uang

Uang itu nggak cuma soal berapa banyak yang kamu punya, tapi gimana cara kamu memandang dan mengelolanya. Itulah intinya dari buku The Psychology of Money karya Morgan Housel. Lewat kumpulan esai pendek, Housel menjelaskan bahwa keputusan kita soal uang lebih banyak dipengaruhi oleh emosi, pengalaman pribadi, dan cara kita melihat dunia—bukan rumus ekonomi atau teori investasi yang rumit. Misalnya, dua orang dengan pendapatan sama bisa punya kondisi keuangan yang sangat berbeda. Kenapa? Karena cara mereka memperlakukan uang berbeda. Ada yang boros demi gengsi, ada yang hemat karena trauma masa kecil. Housel bilang, kita semua punya "latar belakang finansial" yang membentuk perilaku kita hari ini. Maka nggak adil membandingkan diri kita dengan orang lain yang punya cerita hidup berbeda. Kebiasaan finansial yang sehat bukan soal jadi kaya raya, tapi soal bisa bertahan. “Survival > success,” tulis Housel. Itu kenapa dia menekankan pentingnya safety margin dalam keuangan: puny...

Psikologi Hantu

Hantu itu menarik. Bukan karena bentuknya—yang kadang absurd kayak pocong nyangkut pagar atau kuntilanak di kamar mandi—tapi karena eksistensinya lebih sering muncul di pikiran daripada di kenyataan. Dalam psikologi, hantu bisa dibilang bukan makhluk, tapi proyeksi. Proyeksi dari ketakutan, trauma, dan keyakinan kolektif yang diwariskan turun-temurun. Carl Jung pernah menyebut tentang collective unconscious—pikiran bawah sadar bersama yang dimiliki semua manusia. Dari situlah simbol-simbol muncul, termasuk gambaran tentang makhluk halus. Kita diajari sejak kecil bahwa hantu itu ada. Kita dengar cerita dari orang tua, nonton film horor, atau lihat berita mistis. Lama-lama, otak kita membuat pola: tempat gelap = serem = ada hantu. Padahal belum tentu. Psikolog Richard Wiseman dalam penelitiannya menyebut bahwa pengalaman melihat hantu seringkali muncul dari sugesti kuat, tekanan emosional, atau bahkan faktor lingkungan seperti suara frekuensi rendah (infrasound) yang bikin otak kita mera...

Psikologi Hari Libur Kerja

Hari libur kerja itu kayak oase di tengah gurun kesibukan. Setelah lima atau enam hari berkutat dengan target, rapat, tekanan deadline, dan segala keruwetan dunia kerja, satu-dua hari libur bisa jadi penyelamat kewarasan. Libur itu bukan cuma soal nggak masuk kerja, tapi momen buat ngereset ulang kepala dan badan yang udah mulai aus. Bagi banyak pekerja, libur adalah kesempatan buat "jadi manusia lagi". Bukan robot yang harus standby dari pagi sampai sore, tapi seseorang yang bisa bangun tanpa alarm, duduk lama tanpa merasa bersalah, dan tertawa bersama teman atau keluarga tanpa dihantui notifikasi kerja. Libur juga jadi waktu paling ideal buat me time. Entah itu nonton film favorit, baca buku, ngopi sambil melamun, atau sekadar tidur sepuasnya. Psikolog organisasi, Sabine Sonnentag, pernah bilang bahwa hari libur penting untuk memulihkan energi dan mencegah burnout. Tanpa jeda yang cukup, performa kerja justru bisa turun dan stres jadi menumpuk. Dalam narasi hidup modern yan...

Emang Gue Pikirin Pendapat Orang Lain?!

Pernah nggak sih kita terlalu sibuk memikirkan apa kata orang? Kita hidup di tengah jutaan kepala yang masing-masing punya isi sendiri—dan semuanya merasa perlu bicara. Ada yang nyuruh ke kiri, yang lain bilang ke kanan. Hasilnya? Kita malah mandek di tengah jalan, bingung harus kemana. Saya sendiri pernah ada di titik itu: terlalu banyak suara, terlalu banyak nasihat, terlalu banyak arahan. Katanya demi kebaikan, tapi ujung-ujungnya malah bikin kita menjauh dari apa yang sebenarnya kita inginkan. Kita makin jauh dari pusat diri kita sendiri—bahkan lupa, dulu kita maunya apa sih? Ibu punya harapan sendiri. Ayah mungkin mau yang berbeda. Temanmu punya pandangan lain. Pasanganmu pun begitu. Kalau semuanya kita turuti, kita cuma jadi persimpangan jalan. Diam di tempat. Nggak ke mana-mana. Lalu apa? Ya, mulai diam. Dengarkan suara dari dalam. Bukan yang di luar, bukan yang di medsos, bukan yang katanya paling tahu arah hidupmu. Tapi yang benar-benar datang dari ruang sunyi di dalam dirimu ...

Puasa Bisu Media Sosial

Beberapa waktu belakangan, saya mulai jarang update status di media sosial. Bukan karena nggak punya cerita atau hidup saya tiba-tiba datar-datar saja, tapi karena saya merasa butuh diam. Puasa, bukan dari makanan, tapi dari hasrat ingin dilihat, ingin dikomentari, ingin eksis. Ternyata, dampaknya nggak main-main. Saya jadi lebih bisa mengendalikan diri atas apa yang benar-benar perlu dibagikan ke publik, dan mana yang cukup jadi milik pribadi. Dulu, rasanya gatal banget kalau habis makan enak nggak di-story-in, kalau habis jalan-jalan nggak upload foto. Tapi sekarang, saya mulai ngerasa: nggak semua hal harus diumumkan. Ada kenikmatan tersendiri dalam menyimpan sesuatu hanya untuk diri sendiri. Seperti menyimpan surat cinta dalam laci, bukan buat dibaca orang lain, tapi biar hati ini punya ruang yang nggak bisa disentuh siapa-siapa. Puasa media sosial ini juga ngajarin saya soal privasi. Bukan sekadar menutup diri, tapi memilih dengan sadar: mana yang pantas jadi konsumsi publik, dan ...

Menyembah Tuhan yang Tak Bisa Diserupakan oleh Apapun

Katanya, Tuhan itu tidak bisa diserupakan oleh apapun. Tidak ada gambar, bentuk, suara, rasa, bahkan konsep yang bisa mewakilinya. Tapi kalau benar begitu, bukankah artinya Tuhan justru tidak ada? Karena dalam pengalaman manusia, hanya yang tidak ada lah yang tidak bisa diserupakan sama sekali. Kita bisa membayangkan segalanya—bahkan yang belum pernah kita lihat—tapi ketika diminta membayangkan Tuhan yang benar-benar "tak menyerupai apapun", pikiran kita kosong. Dalam logika filsafat, segala yang eksis bisa dikenali, dibedakan, dan diberi ciri, walau sekadar abstraksi. Tapi kalau Tuhan tak bisa dipegang oleh rasio, tak bisa diindra, tak bisa digambarkan, lalu bagaimana kita tahu Ia ada? Bukankah dalam relasi manusia, pengenalan adalah fondasi keberadaan? Oke, mungkin akan ada yang bilang, “Tuhan itu bukan objek yang bisa dikenali, Ia itu misteri.” Tapi bukankah terlalu mudah melemparkan segala yang tak bisa dijelaskan ke dalam kotak "misteri"? Osho pernah bilang, “T...

Konflik Para Sahabat Setelah Wafatnya Nabi

Ketika Nabi Muhammad wafat pada tahun 632 Masehi, bukan hanya rasa duka yang menyelimuti para sahabat dan umat Muslim, tapi juga ketidakpastian. Nabi tidak meninggalkan wasiat politik formal tentang siapa yang akan melanjutkan kepemimpinan umat. Dari sinilah konflik dimulai. Bukan karena para sahabat tidak mencintai Nabi atau tidak taat kepada agama, tapi karena mereka adalah manusia dengan pemikiran, pengalaman, dan kepentingan yang berbeda. Di Saqifah Bani Sa'idah, hanya beberapa jam setelah Nabi dimakamkan, para sahabat dari kaum Muhajirin dan Anshar berdebat tentang siapa yang pantas menjadi pemimpin. Abu Bakar akhirnya terpilih sebagai khalifah pertama. Tapi proses itu tidak berjalan tanpa protes. Beberapa sahabat, termasuk Ali bin Abi Thalib, merasa keputusan itu terlalu tergesa dan tidak melibatkan semua pihak. Perbedaan itu makin dalam setelah Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar bin Khattab, lalu Utsman bin Affan, dan kemudian Ali bin Abi Thalib. Di masa Ali, pecahla...

Uang Nggak Bisa Beli Segalanya, Tapi Tanpa Uang Segalanya Bisa Bikin Pusing

Jujur aja, kita sering ngerasa gaji itu kayak numpang lewat. Masuk tanggal 25, hilang tanggal 27. Belum sempat pegang utuh, udah habis buat bayar cicilan, tagihan listrik, kuota internet, sama jajan kopi yang katanya "self-reward". Masalahnya bukan cuma gaji kecil, tapi lebih ke nggak punya rencana keuangan yang jelas. Perencanaan keuangan itu penting, bukan cuma buat orang kaya. Justru makin terbatas penghasilan, makin penting punya strategi. Dengan nyusun bujet bulanan, kita bisa tahu uang ke mana aja, mana yang prioritas, mana yang bisa ditunda. Mulai dari nabung darurat, bayar utang, sampai nyisihin buat investasi kecil-kecilan. Kenapa harus investasi? Karena nabung doang itu nggak cukup. Uang yang cuma ditaruh di tabungan lama-lama bisa “dimakan” inflasi. Nilainya turun, padahal angka tetap. Lewat investasi, entah itu reksadana, saham, emas, atau properti, kita ngasih kesempatan uang buat bertumbuh. Bukan buat cepet kaya, tapi buat masa depan yang lebih aman. Jadi, ka...

Mengapa Ada Banyak Agama dan Beragam Nama untuk Tuhan

Kalau Tuhan itu satu, kenapa nama-Nya bisa beda-beda di tiap agama? Kenapa ada yang memanggil-Nya Allah, Yahweh, Brahman, Tao, sampai Zat Yang Maha Tinggi? Pertanyaan ini nggak cuma muncul di kelas filsafat, tapi juga di hati banyak orang yang sedang mencari makna spiritualitas. Salah satu sebabnya adalah manusia hidup dalam budaya dan konteks sejarah yang berbeda-beda. Tuhan yang dikenal di Timur Tengah tentu akan punya narasi, simbol, dan bahasa yang beda dengan Tuhan yang dikenal di India atau Tiongkok. Setiap peradaban mencoba menjelaskan yang tak bisa dijelaskan, memberi bentuk pada yang tak berbentuk. Jadilah Tuhan dalam rupa yang bisa mereka pahami—dalam mitos, kitab, puja-puji, dan ritual. Agama muncul bukan hanya sebagai sistem kepercayaan, tapi juga sebagai cara hidup dan tatanan sosial. Setiap agama menjawab kebutuhan zamannya: memberikan harapan, menegaskan moral, dan menciptakan keteraturan. Maka tak heran jika banyak agama lahir dari pengalaman spiritual yang berbeda n...

Ternyata Tidak Semuanya Harus Dirayakan

Di dunia yang gemar pesta dan gemerlap, kita sering diajari bahwa semua hal butuh dirayakan. Ulang tahun, kenaikan jabatan, kelulusan, bahkan putus cinta pun ada yang bikin pesta. Tapi, seiring waktu dan pengalaman, saya makin yakin: tidak semuanya harus dirayakan. Ada hal-hal yang cukup disimpan dalam hati, disyukuri dalam diam, tanpa kembang api dan undangan. Kadang, pencapaian paling besar datang tanpa sorak-sorai. Seperti bisa bangun pagi setelah semalam bergulat dengan pikiran gelap. Atau keberanian untuk memutuskan sesuatu yang berat. Atau sekadar berhasil bertahan di hari yang rasanya ingin menyerah. Itu semua layak disyukuri, meski tidak harus dirayakan dengan pesta. Ada juga peristiwa yang, justru dengan dirayakan, kehilangan maknanya. Seperti orang yang pamer keberhasilan tapi dalamnya kosong, atau merayakan cinta yang dipaksakan. Kita perlu belajar membedakan: mana yang benar-benar perlu dirayakan, dan mana yang cukup dinikmati dalam tenang. Karena tidak semua kebahagiaan ...

Menamai Emosi, Menenangkan Diri

Terkadang kita marah, tapi bilang ke orang lain: “Enggak apa-apa kok.” Padahal hati panas, kepala penuh omelan dalam hati. Di situlah sering masalah dimulai: kita nggak kenal benar apa yang sedang kita rasakan. Nah, ternyata dalam dunia psikologi, ada satu teknik sederhana tapi berdampak besar: melabelkan emosi. Cukup dengan menyebut perasaan yang muncul dengan jujur — “aku sedang marah,” “aku merasa kesepian,” atau “aku takut gagal.” Teknik ini dipakai di banyak terapi modern, seperti Mindfulness-Based Therapy, ACT, dan DBT. Tujuannya bukan buat menghakimi atau menolak emosi, tapi menyadari dan menerima bahwa emosi itu hadir. Begitu kita menyebut nama emosi dengan sadar, otak bagian amigdala yang biasanya bikin kita reaktif, perlahan jadi tenang. Otak rasional jadi lebih aktif. Kita jadi bisa memilih merespons dengan kepala dingin, bukan meledak atau memendam. Misalnya, saat rasa cemas datang menjelang presentasi, daripada mengabaikannya, coba katakan dalam hati: “Aku sedang cemas sek...

Imajinasi Manusia tentang Tuhan

Tuhan, dalam banyak hal, mungkin adalah makhluk paling misterius sekaligus paling akrab dalam pikiran manusia. Kita membicarakan-Nya, menyembah-Nya, bahkan bertengkar soal-Nya. Tapi siapa Dia, sungguh? Atau lebih tepatnya: apakah Dia benar-benar ada, atau kita hanya menciptakan-Nya karena kita butuh alasan untuk menjelaskan yang tak bisa kita pahami? Osho bilang, “Tuhan bukanlah orang, tapi pengalaman.” Sementara Jiddu Krishnamurti lebih tajam lagi—baginya, Tuhan adalah proyeksi dari pikiran yang ketakutan. Kita takut sendirian, takut mati, takut tak berarti. Maka kita ciptakan Tuhan: sosok maha tahu, maha sayang, sekaligus maha mengawasi. Kita bentuk Dia dalam rupa yang kita pahami—berjanggut, duduk di atas takhta, atau hadir sebagai cahaya. Padahal, seperti kata Ludwig Feuerbach, “Tuhan adalah cermin tempat manusia memproyeksikan kualitas terbaik dirinya.” Jika kita jujur, imajinasi tentang Tuhan lebih banyak dibentuk oleh budaya dan doktrin daripada pengalaman langsung. Seorang anak...

Dia yang Dipanggil sebagai Sang Nabi

Sang nabi. Dia yang katanya ditunjuk langsung oleh langit. Tapi apakah ia benar-benar dipilih? Atau dia hanya manusia biasa yang punya keberanian menyuarakan yang tak mampu diucap orang kebanyakan? Jean-Paul Sartre pernah berkata, “Manusia adalah makhluk bebas yang dikutuk untuk memilih.” Mungkin, nabi adalah mereka yang memilih jalan yang tak nyaman: merobek kenyamanan, menggugat kekuasaan, menertawakan kemapanan. Nabi bukan hanya jubah dan mukjizat. Kadang ia justru datang sebagai pengganggu. Seperti Socrates, yang disebut “lalat pengganggu Athena.” Ia tak membawa wahyu, tapi membawa pertanyaan. Dan itu sudah cukup menggelisahkan. Hannah Arendt menulis bahwa orang-orang yang membawa ide baru akan selalu dianggap mengancam. Maka, para nabi, baik yang religius maupun filosofis, sering kali dibunuh—bukan karena mereka salah, tapi karena mereka terlalu jujur. Dan ketika sebuah sistem telah berhasil menundukkan sang nabi, ia dikultuskan. Dari pengganggu jadi patung. Dari pengacau jadi pan...

Dia yang Bernama Tuhan

Kita menyebutnya Tuhan. Kadang dengan huruf kapital, kadang dengan penuh rasa takut, kadang dengan cinta yang membingungkan. Tapi apakah kita benar-benar tahu siapa Dia? Atau jangan-jangan, seperti kata Feuerbach, “Tuhan adalah proyeksi ideal manusia.” Apa yang kita bayangkan sebagai sempurna, kita letakkan pada sosok tak terlihat dan menyebutnya sebagai Tuhan. Tuhan dalam kepala kita, seringkali hanya versi besar dari ayah yang bijak atau raja yang adil—konsep yang sangat manusiawi. Nietzsche lebih keras lagi: “Tuhan telah mati,” katanya. Bukan berarti ia benar-benar tewas, tapi karena manusia telah membunuhnya lewat dogma, lewat ritual kosong yang menjauh dari pencarian makna sejati. Simone Weil pernah berkata, “Jarak paling jauh antara manusia dan Tuhan adalah ketika manusia merasa paling dekat.” Aneh, ya? Kita sering merasa mengenal Tuhan hanya karena rajin beribadah, tapi menolak mempertanyakan-Nya. Seolah rasa ingin tahu adalah dosa. Dekonstruksi konsep Tuhan bukan berarti menggu...

Hidup dalam Pertanyaan-Pertanyaan

Kalau hidup itu jalan tol, mungkin semua orang sudah cepat sampai ke tujuan tanpa capek. Sayangnya, hidup lebih mirip jalan kampung: berliku, berlubang, kadang mendaki, kadang terperosok. Kadang kita merasa sedang di atas angin, besoknya malah dihantam kenyataan. Seperti kata Heraclitus, “Satu-satunya yang tetap adalah perubahan.” Saya pernah punya teman semasa sekolah, yang dulu kalau bercita-cita mau jadi Penyanyi terkenal. Sekarang? Ia lebih bahagia jadi barista di kafe kecil. Bukan karena gagal, tapi karena hidup mengajaknya berbelok. Begitulah hidup: siapa pun bisa berubah, bahkan orang yang paling kita kira akan tetap sama. Kehidupan itu misteri. Kita bisa merancang rencana A sampai Z, tapi hidup suka iseng membelokkan arah ke huruf lain yang bahkan tak kita kenal. Banyak yang merasa aneh saat dulu bercita-cita besar, kini cukup puas menikmati hal-hal kecil. Ada juga yang dulunya santai, kini sibuk mengejar sesuatu yang bahkan dirinya pun belum benar-benar paham. Contohnya say...

Ternyata Begini Cara Cepat Naik Jabatan....

“Aku tuh heran, kenapa yang naik jabatan malah si Fadli?” Tebe nyeletuk sambil duduk di bangku kayu dekat garasi pabrik, bekas tempat naruh helm yang sekarang berubah jadi kursi curhat karyawan transportasi. Bowo, sopir paling senior di divisi itu, nyengir sambil ngelap spion truk boks. “Karena dia rajin, Be. Rajin nempel sama bos.” “Ya itu maksudku!” balas Tebe cepat. “Kita yang kerja bener, dateng pagi, pulang sore, ngurus surat jalan, malah nggak keangkat. Dia yang sering ngilang, malah naik gaji. Dunia kerja tuh emang dunia tipu-tipu.” Mesin truk meraung, tapi suara hati Tebe lebih bising. Ia bukan iri, katanya dalam hati. Cuma... kenapa rasanya perut mules tiap lihat Fadli ngopi sambil senyum-senyum di ruang HR? “Be, ridho itu bukan soal rela orang lain senang, tapi paham bahwa rezeki tiap orang udah punya jalurnya masing-masing,” Bowo akhirnya angkat bicara sambil jongkok ngiket tali sepatunya. Tebe diam. Rasa kesal mengendap kayak oli hitam di genangan belakang pabrik. Pas malam...

Apakah Kamu Dapat Ikhlas dengan Kemalangan?

“Aku tuh bukan nggak mau ikhlas, Yahya. Tapi kok ya kemalangan milih-milih ya, giliran aku yang disamperin tiap minggu,” gerutu Tebe sambil mengaduk teh manis yang udah dua kali diangetin ulang di dapur santri. Yahya ngakak. “Berarti kamu santri terpilih, Be. Ujian dulu baru naik kelas. Kayak sinetron.” Ramadhan tahun ini panasnya beda. Di pondok, suasana makin lengket antara puasa, hafalan, dan tugas nyuci piring. Tapi entah kenapa, buat Tebe, yang paling berat justru bukan itu. “Udah seminggu sendal hilang, motor rusak, nilai tafsir jeblok, terus... surat dari rumah isinya: ‘Bapakmu sakit, tapi tetap semangat ya!’ Lha? Aku malah bingung, ini yang sakit siapa yang butuh semangat siapa?” Yahya nyengir, “Jadi kamu marah sama takdir?” “Bukan marah. Cuma... ya kesel aja. Hidup kok kayak lomba apes.” Maghrib nyaris tiba. Di langgar pondok, suara adzan mulai berkumandang. Tebe ngelirik langit. Hatinya gerimis, meski mulutnya bisa nyengir. “Nggak apa-apa kan kalau aku belum ikhlas sepenuhnya...

Negara Ganti Kebijakan, Aku Tetap Makan

“Apa? Pajak naik lagi?!” Suara Pak Joni menggema di warung pecel lele. Aku menyesap teh hangat, malas menanggapi. “Dulu dibilang nggak bakal ada pajak tambahan, eh sekarang malah dinaikkan! Giliran rakyat kecil yang kena lagi,” lanjutnya sambil menyumpah-nyumpah. Aku mengaduk nasi, menghela napas pelan. Sudah biasa. Pemerintah bikin aturan, rakyat marah, lalu tetap hidup seperti biasa. Besok harga cabe bisa naik, orang-orang akan lupa pajak dan mulai ngomel soal tukang sayur. “Mas, menurutmu gimana?” Pak Joni menatapku, menunggu dukungan. Aku mengunyah dulu, lalu berkata, “Mau marah juga nggak bikin perut kenyang, Pak.” Dia mengernyit. “Maksudnya?” Aku menaruh sendok. “Negara ini sudah kayak cuaca. Hari ini panas, besok hujan, lusa entah badai atau kemarau. Mau ngeluh terus juga nggak bakal bikin hidup lebih enak.” Pak Joni mendengus. “Tapi kita rakyat kecil harus bersuara!” Aku mengangguk. “Benar. Tapi setelah suara kita didengar, lalu apa? Kita tetap harus kerja, tetap harus ...

Mungkin Pencarianku Tidak Perlu Diteruskan

“Apa kamu sudah menemukan yang paling benar?” tanya Wawan sambil menyeruput kopinya. Aku terdiam. Sudah seminggu ini aku sibuk membaca, menonton ceramah, dan bertanya ke sana kemari. Tapi semakin banyak yang kudengar, semakin bingung aku dibuatnya. "Ahlussunnah wal Jamaah yang paling benar!" kata seorang ustadz di YouTube. "Tidak! Kembali ke Quran dan Sunnah tanpa bid’ah, itulah yang benar!" sergah yang lain. "Kalian semua sesat! Yang benar cuma kami!" suara seorang dai garis keras memenuhi pikiranku. Aku mengacak rambut. "Kenapa semuanya merasa paling benar, ya?" gumamku. Wawan terkekeh. “Gus Dur pernah bilang, ‘Agama itu bukan untuk saling menyalahkan, tapi untuk saling memahami.’” Aku mendongak. “Jadi?” “Jadi, ya sudah, ibadah saja yang benar. Kalau ujungnya cuma debat tanpa akhlak, buat apa?” Wawan mengangkat bahu. Aku menghela napas panjang. Dalam pencarianku, aku terlalu sibuk bertanya siapa yang paling benar, sampai lupa bertanya:...

Tuhan dan Logika yang Tidak Tuntas

"Kalau Tuhan memang ada, kenapa dia membiarkan penderitaan terjadi?" Suara Damar memenuhi ruangan kecil itu. Tangannya memegang rokok yang sudah hampir habis, asapnya mengepul ke langit-langit kamar kos. Aku menatapnya sebentar, mencoba mencari jawaban yang tidak klise. "Karena mungkin Tuhan bukan tentang menghentikan penderitaan, tapi tentang memberi kita keberanian untuk melewati semuanya," jawabku pelan. Damar tertawa kecil, suara cemooh yang lebih terdengar seperti keputusasaan. "Klise banget. Jadi menurut lo, Tuhan cuma alasan manusia buat nggak ngerasa sendirian? Semacam penghiburan?" Aku terdiam. Apa salahnya jika memang begitu? Damar melanjutkan, "Gue rasa, Tuhan itu kayak jawaban ujian yang kita nggak tahu. Kalau lo nggak ngerti soal, lo tinggal nulis ‘Tuhan’ aja, beres." Pikiranku melayang pada malam-malam panjang yang pernah kulewati. Waktu aku kehilangan pekerjaan, dihantam kenyataan hidup yang kejam, aku memang mencari Tuhan—bukan ka...

Aliran Islam Mana yang Paling Benar?

"Ustaz, aliran Islam mana yang paling benar?" tanya seorang pemuda berkopiah putih di tengah majelis. Suasana pengajian mendadak hening, hanya suara kipas angin tua yang terdengar. Ustaz itu tersenyum tipis, menarik napas panjang sebelum menjawab, "Tentu aliran yang saya ajarkan ini. Karena inilah jalan yang lurus, satu-satunya yang akan menyelamatkan kalian di akhirat nanti." Aku, yang duduk di barisan belakang, mengerutkan kening. Jawaban itu terasa mutlak, seperti menutup ruang bagi pemikiran lain. Aku teringat ceramah Quraish Shihab yang kutonton di televisi seminggu lalu. Ketika mendapat pertanyaan serupa, beliau menjawab dengan tenang, "Semua boleh jadi benar, karena manusia hanya berusaha memahami Tuhan lewat keterbatasan mereka." Setelah pengajian selesai, aku mendekati pemuda tadi. "Apa menurutmu jawaban ustaz tadi masuk akal?" tanyaku. Dia menatapku dengan mata berbinar, penuh keyakinan. "Tentu saja, Mas. Kalau nggak percaya sama u...

Bayangan di Cermin

"Dia cuma beruntung!" seru Reza, mematikan video YouTube yang menampilkan Fikri, teman lamanya, sedang diwawancarai sebagai pengusaha sukses. "Kalau dulu gue dapet peluang kayak dia, gue juga bisa kayak gitu!" Reza bersandar di kursinya, menatap layar laptop yang kosong. Di kepalanya, bayangan masa lalu berputar. Fikri dulu hanya anak biasa di kampus, tidak menonjol, sering pinjam catatan, bahkan sering diejek. Dan sekarang? Dia jadi bintang, dengan mobil mewah dan bisnis yang disebut-sebut inspiratif. Reza membuka media sosial Fikri. Ia memindai foto-foto sukses itu dengan pandangan sinis. "Ah, siapa juga yang nggak bisa kalau modalnya gede!" gumamnya. Dalam pikirannya, ia yakin bahwa Fikri tidak sehebat itu—hanya kebetulan berada di tempat dan waktu yang tepat. Namun, semakin ia mencari celah untuk menjelekkan Fikri, semakin ia merasa kecil. Setiap foto dan video yang dilihatnya menjadi pengingat akan keputusan-keputusan yang ia lewatkan. Malam itu, Reza...

Sadar Realitas

Realitas adalah apa yang kita alami saat ini; detik yang nyata dan terasa di depan mata. Namun, manusia sering kali absen dari momen tersebut. Pikiran kita melayang ke masa lalu yang penuh penyesalan atau ke masa depan yang penuh kekhawatiran. Akibatnya, kita tidak benar-benar hadir dalam hidup yang sedang terjadi. Ketika makan, sering kali kita terjebak memikirkan tugas yang belum selesai. Saat bersama teman, pikiran malah sibuk mengurai masalah yang belum tentu penting. Akhirnya, momen-momen berharga berlalu tanpa kita nikmati. Kita sering terjebak dalam kebiasaan overthinking, menciptakan kesulitan yang sebenarnya tidak ada. Narasi kehidupan yang kita bangun sering kali terlalu rumit. Kita lupa bahwa hidup, pada dasarnya, adalah serangkaian momen sederhana. Ketenangan tidak berasal dari menyelesaikan semua masalah, tetapi dari kemampuan untuk benar-benar hadir di saat ini. Dengan melambat dan fokus pada momen sekarang, kita dapat melihat keindahan yang ada di sekitar: rasa makanan, ...

Bayang-Bayang Ketakutan

Takut adalah bayangan yang seringkali lebih besar dari kenyataan. Ia lahir dari ketidaktahuan, membayangi pikiran kita dengan kemungkinan-kemungkinan yang bahkan belum terjadi. Kita hidup di bawah bayang-bayang rasa takut: takut gagal, takut kehilangan, takut menghadapi hal-hal yang tidak kita mengerti. Namun, sesungguhnya, ketakutan itu sendiri tidak nyata. Ia hanya ilusi yang dipelihara oleh pikiran kita yang terlalu terbiasa dengan ketidakpastian. Bayangkan saat kamu kecil, takut pada kegelapan. Dalam gelap, bayangan menjadi monster, suara kecil menjadi ancaman. Tapi, saat lampu dinyalakan, kamu menyadari bahwa tidak ada apa-apa. Gelap itu netral; ketakutanmu adalah proyeksi dari pikiranmu. Begitu pula hidup. Ketika kamu mulai memahami apa yang membuatmu takut, kamu akan menyadari bahwa ketakutan itu hanyalah refleksi dari ketidaktahuanmu. Namun, memahami tidak mudah. Ini bukan soal menemukan jawaban instan, tapi soal keberanian untuk melihat ketakutanmu dari dekat, mempelajarinya t...

Logika tentang Tuhan

Dalam memahami Tuhan, manusia sering terjebak pada dikotomi antara iman dan logika. Sebagian menerima Tuhan sebagai dogma yang tak perlu dipertanyakan, sementara yang lain menolak keberadaan-Nya karena tak terukur oleh sains. Tuhan, dalam pendekatan rasional, bukanlah entitas yang dapat dijelaskan melalui mistik atau keajaiban semata. Ia adalah konsep yang lahir dari kebutuhan manusia untuk memahami apa yang tak terpahami. Dalam sejarahnya, manusia menciptakan Tuhan sebagai jawaban atas fenomena alam yang dulu sulit dinalar. Petir, hujan, kelahiran, kematian—semua itu dikaitkan dengan kekuatan adikodrati. Namun, seiring berkembangnya sains, penjelasan rasional menggantikan sebagian dari "mukjizat" ini. Namun, apakah berarti Tuhan tidak ada? Tidak sesederhana itu. Tuhan tetap menjadi simbol perjuangan manusia untuk memahami makna hidup. Ia adalah ide yang terus berkembang, mengikuti kemampuan akal manusia. Konsep Tuhan tidak boleh digunakan untuk membatasi pemikiran, melainkan...

Perjalanan Tanpa Nama

“Jadi, kamu nggak percaya Tuhan?” tanya Raka sambil menyeruput kopinya. Pertanyaan itu datang tiba-tiba, tanpa aba-aba, seperti petir di siang bolong. Aku hanya tersenyum kecil, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Di dalam cafĂ© kecil di pinggir Jakarta, obrolan semacam ini terasa terlalu besar. “Bukan nggak percaya, Rak,” jawabku akhirnya. “Aku cuma nggak tahu agama mana yang benar-benar sesuai untukku.” Raka mengangguk, tapi aku tahu dia tidak benar-benar paham. Aku menatap layar laptopku yang penuh dengan artikel-artikel spiritual, filsafat, dan kisah-kisah pencarian makna. “Kamu agnostik?” desaknya lagi. “Bukan,” jawabku tegas. “Aku nggak sibuk mikir ada Tuhan atau nggak. Aku lebih fokus ke apa yang membuat hidup ini bermakna.” Dia tertawa kecil, mungkin mengejek atau mungkin hanya karena dia tidak tahu harus berkata apa. “Kayaknya kamu bagian dari The Nones, ya? Orang-orang yang nggak ikut agama, dengan tetap nyari makna dan harmoni hidup.” Aku terdiam, merenung sejenak. Mungkin...