Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2025

Tips & Trik Agar Uang Tidak Mudah Hilang

Entah karena ceroboh, terburu-buru, atau pikiran sedang bercabang ke mana-mana, kehilangan uang sering terjadi tanpa kita sadari. Tahu-tahu dompet terasa lebih tipis, atau tas terbuka sedikit. Padahal, momen kehilangan uang itu biasanya meninggalkan dua hal: rasa kesal dan penyesalan. Maka, menjaga uang sebenarnya bukan sekadar soal dompet atau tas—tapi soal kebiasaan kecil yang sering kita abaikan. Pertama, gunakan dompet atau tas yang memiliki kompartemen khusus dan aman. Menurut para ahli keamanan barang pribadi, dompet dengan ritsleting lengkap atau tas anti-theft yang memiliki lapisan khusus bisa mengurangi risiko kehilangan hingga 60%. Selain itu, biasakan menaruh uang di tempat yang sama setiap hari. Kebiasaan konsisten ini membuat otak lebih mudah memetakan lokasi barang sehingga kemungkinan salah taruh jauh lebih kecil. Kedua, hindari membawa uang tunai terlalu banyak. Psikolog keuangan seperti Dr. Brad Klontz menyebut bahwa semakin besar jumlah uang tunai yang dibawa, semakin...

Makna Kehilangan

Ketika mbak SPBU bilang, “Seratus ribu, ya, Pak,” dunia langsung berhenti sepersekian detik. Aku merogoh kantong celana—dan justru menemukan kehampaan. Karena uang itu tidak ada, seluruh rencana soreku langsung berantakan. Mau isi bensin, jemput anak les bahasa Inggris, lalu pulang tenang—semuanya runtuh hanya gara-gara selembar kertas biru yang hilang entah ke mana. Aku cek kantong belakang. Nihil. Karena panik, aku membongkar jaket sambil berdiri kikuk, membuat orang belakang mulai gelisah. Karena tidak mungkin mundur dari antrean, aku akhirnya bayar dengan koin receh cadangan. Malu? Tentu. Tapi terpaksa. Dalam perjalanan, rasa penasaran menggerogoti. Karena otak tidak bisa menerima kenyataan kehilangan itu, aku menepi dan menyusuri jalan yang tadi kulewati. Angin sore menerpa wajah, dan setiap daun yang bergerak seperti mengejek: “Uangmu jatuh ke mana, hah?” Hasilnya nol besar. Sampai rumah, aku langsung mengobrak-abrik semua sudut. Karena pikiranku bersikeras uang itu pasti ‘tersel...

Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan

Di tengah masyarakat yang makin mudah terbelah karena isu agama, keberadaan komunitas lintas iman seperti oasis di tengah padang konflik. Mereka bukan sekadar kelompok diskusi, tapi ruang kecil yang mempraktikkan kemanusiaan di atas sekat keyakinan. Di komunitas seperti ini, orang-orang duduk sejajar—tanpa gelar, tanpa atribut, tanpa niat mengislamkan, mengkristenkan, atau menbuddhakan siapa pun. Hanya manusia yang berbagi kisah tentang kehidupan, penderitaan, dan harapan. Saya masih ingat pertemuan lintas agama pertama yang saya datangi. Ada seorang pastor berkata, “Kita tidak perlu seragam untuk bisa bersatu.” Lalu disambung seorang ustadz, “Kerukunan itu bukan hasil dakwah, tapi hasil empati.” Di pojok ruangan, seorang bhiksu tersenyum dan menambahkan, “Kedamaian bukan ketika semua berpikir sama, tapi ketika kita tenang melihat perbedaan.” Kata-kata itu sederhana, tapi dalam. Seolah mereka sepakat bahwa iman bisa menjadi sumber cahaya, bukan sumber panas yang membakar. Namun, saya j...

Untung Bukan Pengurus Partai

Pagi itu, Karno memandangi layar ponsel dengan wajah masam. Di berandanya, wajah Danu terpampang jelas dalam foto—berdasi merah, tersenyum bersama deretan petinggi partai. Caption-nya berbunyi: “Bersama kawan seperjuangan, saatnya berbuat nyata lewat jalur politik.” “Lucu,” gumam Karno. “Dulu katanya politik itu najis.” Ia meneguk kopi sachet yang sudah dingin. Tangannya gemetar sedikit—bukan karena kafein, tapi karena kenangan yang tiba-tiba muncul: Danu yang dulu duduk di serambi masjid kampus, berapi-api bicara tentang amar makruf nahi mungkar, tentang menjaga kemurnian dakwah dari urusan dunia. Sekarang, Danu itu duduk di kursi kekuasaan. Siangnya, mereka bertemu di warung soto depan kantor kelurahan. Kebetulan, atau mungkin takdir yang gemar bercanda. Danu datang dengan mobil partai, Karno dengan motor tuanya yang berasap. “Karno!” seru Danu, senyum lebarnya seperti spanduk kampanye. “Lama nggak ketemu, Danu,” jawab Karno datar. Mereka duduk berhadapan. Awalnya basa-basi—tentang h...

Feodalisme di Lingkungan Pesantren: Antara Hormat dan Taklid Buta

Dalam beberapa dekade terakhir, pesantren sering dipuji sebagai benteng moral bangsa—tempat menimba ilmu agama sekaligus menempa akhlak. Namun, di balik keteduhan kehidupan santri yang tampak patuh dan berdisiplin, ada satu persoalan yang jarang dibicarakan secara terbuka: budaya feodalisme di lingkungan pesantren. Feodalisme ini muncul ketika penghormatan terhadap kyai atau ustadz berubah menjadi bentuk ketaatan absolut, tanpa ruang bagi santri untuk berpikir kritis atau berdialog terbuka. Dalam sistem tradisional pesantren, kyai dianggap sebagai sosok yang suci dan tak pernah salah. Segala ucapan dan perintahnya diterima sebagai kebenaran mutlak. Santri yang berani bertanya bisa dicap kurang ajar, dan yang mengkritik bisa dianggap durhaka. Akibatnya, suasana intelektual yang seharusnya tumbuh dalam semangat tafaqquh fiddin—mendalami agama dengan akal dan hati—malah tenggelam oleh budaya hierarki dan kepatuhan membabi buta. Padahal, Islam sendiri menekankan pentingnya berpikir dan men...

Membersamai Ketika Sakit

Malam ini, lampu rumah sakit seperti mata-mata yang tak pernah tidur. Aku duduk di kursi plastik, menjaga istri yang baru saja keluar dari operasi kista. Semua terasa pelan—detak infus, nafasnya yang berat, sampai degup jantungku sendiri. Tidak ada keluarga yang datang. Tidak ada saudara yang menjenguk. Semua memang atas pilihanku. Aku tidak ingin ada wajah-wajah khawatir yang justru membuat beban semakin berat. Biarlah hanya aku yang tahu, betapa rapuhnya ia saat ini. “Papah, haus…” katanya lirih. Aku buru-buru mendekat, menyodorkan sedotan ke bibirnya. Tangannya gemetar, matanya sayu. Dan di momen itu, aku merasa seperti anak kecil yang ingin menangis tapi harus kuat. Sepanjang malam aku belajar jadi perawat, jadi penjaga, jadi teman bicara, bahkan jadi bantal untuknya bersandar. Kadang tubuhku protes—pinggang nyeri, mata perih karena kurang tidur. Tapi aku tetap di sini. Bagaimana mungkin aku pergi, sementara ia berjuang menahan sakit? Sesekali ponselku bergetar, pesan masuk dari te...

Kok, Kamu Berubah, Enggak Seperti Dulu?

Perubahan perilaku dan karakter seseorang sering kali menjadi misteri bagi orang-orang di sekitarnya. Seseorang yang dulu dikenal ramah bisa tiba-tiba menjadi pendiam, atau seseorang yang dulunya penuh amarah bisa bertransformasi menjadi jauh lebih sabar. Dalam psikologi, perubahan ini dipahami sebagai hasil interaksi antara pengalaman hidup, lingkungan sosial, dan kondisi internal individu. Ambil contoh sederhana: ada seorang teman yang dulu selalu ceria dan suka bercanda. Setelah ia mengalami kegagalan bisnis besar, ia jadi lebih pendiam dan penuh perhitungan. Bukan karena ia berubah menjadi orang “asing”, tapi karena pengalaman pahit itu membuatnya belajar untuk lebih hati-hati. Begitu juga dengan seseorang yang pernah mengalami toxic relationship—ia mungkin terlihat dingin, padahal sebenarnya sedang melindungi dirinya dari luka serupa. Psikolog Carl Rogers pernah menyebut bahwa manusia adalah makhluk yang terus berkembang menuju aktualisasi diri. Itu berarti perubahan adalah bagian...

Logika, Fakta, dan Realita tentang Tuhan

Perdebatan tentang Tuhan selalu bergerak di antara logika, fakta, dan realita. Sejak zaman filsuf Yunani, pertanyaan ini tak pernah benar-benar selesai. Apakah Tuhan ada sebagai entitas nyata, atau hanya gagasan manusia untuk menjelaskan ketidakpastian hidup? Secara logis, banyak filsuf berusaha membuktikan keberadaan Tuhan. Anselmus misalnya, lewat ontological argument, menyatakan bahwa jika kita bisa membayangkan sosok yang paling sempurna, maka ia harus ada, sebab sesuatu yang sempurna tidak mungkin hanya ada dalam pikiran. Sebaliknya, David Hume menolak argumen itu. Baginya, alam semesta bisa dijelaskan tanpa harus menunjuk Tuhan sebagai sebab pertama. Bertrand Russell bahkan lebih tajam: “Saya tidak percaya pada Tuhan dan keabadian; saya menganggap tidak ada cukup bukti untuk mendukungnya.” Namun, fakta sosial menunjukkan sesuatu yang lain. Umat manusia terus menyembah, berdoa, dan beribadah. Di masjid, gereja, pura, atau vihara, jutaan orang setiap hari melaksanakan ritual untuk ...

Wisata Masa Lalu

Ada semacam wisata yang tidak pernah benar-benar dibuka untuk umum, tapi setiap orang memilikinya: wisata masa lalu. Tempat di mana kita bisa masuk tanpa tiket, tanpa antrean, cukup dengan rindu yang tiba-tiba mengetuk. Aku sering berkunjung ke sana, diam-diam, di sela kesibukan atau saat malam sudah terlalu sunyi. Ada aroma buku tua, tawa yang dulu terdengar renyah, wajah-wajah yang mungkin sudah asing hari ini, tapi masih hangat di ingatan. Rindu itu seperti pemandu wisata yang dengan sabarnya membawa kita menyusuri jalan setapak kenangan, memperlihatkan sudut-sudut yang pernah kita lalui dengan begitu sederhana, tapi sekarang terasa begitu berharga. Di sana, aku bisa kembali ke masa sekolah yang penuh keriangan, ke obrolan kampus yang penuh mimpi, atau ke rumah tua yang sekarang mungkin sudah lapuk. Setiap ruangnya menyimpan gema yang tak lagi bisa disentuh, tapi bisa dirasakan. Namun, wisata ke masa lalu juga menyimpan paradoks. Semakin sering aku masuk ke sana, semakin aku sadar: ...

Kenangan, Luka dan Trauma

Ada orang bilang, kenangan masa lalu itu sebaiknya dilupakan, apalagi kalau penuh luka dan trauma. Tapi bagiku, justru kenangan itu bukan untuk dihapus. Ia tetap ada, menempel, kadang muncul tanpa diundang, seperti bayangan di sore hari. Bedanya, aku belajar untuk tidak lagi takut kepadanya. Aku ingat betul satu masa ketika luka begitu dalam—perasaan ditinggalkan, dikhianati, dan dihancurkan oleh orang yang pernah kupercaya. Awalnya, setiap kali kenangan itu muncul, rasanya seperti dada diremas. Tapi seiring waktu, aku sadar, kenangan ini bisa jadi guru. Trauma memang meninggalkan jejak, tapi jejak itu yang membuatku lebih hati-hati, lebih bijak ketika menghadapi situasi serupa. Dalam catatan harian, aku sering menulis untuk menenangkan diriku sendiri: “hari ini aku belajar lagi dari masa lalu.” Itu jadi cara paling sederhana untuk berdamai dengan diri sendiri. Aku berhenti berusaha melupakan, karena semakin dilawan, semakin kuat ia menghantui. Najwa Zebian pernah menulis, “Trauma isn’...

Keributan di Linimasa

“Serius, Bro, kita penjarain aja biar kapok!” tulis akun dengan foto profil masjid, tapi kalau diintip isi feed-nya penuh jualan madu sunnah dan minyak zaitun. Aku ngakak. Bayangin, aku dipenjara cuma karena status di Facebook: “Partai Keadilan Sejahtera dan Jamaah Tarbiyah ini kok makin mirip fanbase K-Pop, ya? Ributnya nggak kira-kira.” Sejak itu linimasa kayak pasar malam. Ada yang teriak aku liberal, ada yang nuduh aku agen Yahudi, ada juga yang lebih kreatif: “Dia ini cebong bersarung!” Yang bikin ngakak lagi, ada kawan lama dari jamaah yang japri: “Mas, hati-hati ya. Serius, ada rencana laporan polisi. Tapi tenang, nggak jadi. Mereka masih inget, dulu ente yang bantu ngurus izin demo akbar di Senayan. Kalo nggak, acara bisa bubar sebelum mulai.” Aku cuma bisa garuk kepala. Jadi ternyata jasa masa lalu masih jadi jimat pengaman. Di medsos, drama makin seru. Akun-akun anonim bikin thread panjang, lengkap dengan potongan ayat, seakan-akan aku ini penjahat negara. Sementara aku? Lagi...

Pergi dan Jangan Kembali

Aku masih ingat malam itu, tepat di serambi masjid kampus, udara dingin, tapi kata-kata yang keluar lebih panas dari kopi yang belum sempat kuminum. “Kalau memang nggak cocok lagi, pergi saja. Tapi jangan kembali.” Kalimat itu datang dari seorang kawan seperjuangan, atau dulu kusebut begitu. Lucu, ya. Dulu kami sama-sama teriak soal ukhuwah, solidaritas, bahkan katanya sampai surga bareng-bareng. Tapi rupanya surga pun ada pintu keluarnya. Aku dianggap mengkhianati “jalan lurus” hanya karena mulai bertanya, hanya karena bilang bahwa hidup tidak bisa selalu dilihat hitam putih. Aku pergi tanpa drama, hanya meninggalkan buku-buku yang dulu kucatat penuh semangat. Bukan karena aku benci, tapi karena aku bosan dengan kaku. Bosan dengan klaim “kami paling benar”, seakan Tuhan punya satu cabang resmi di bumi, lengkap dengan kartu anggotanya. Sekarang aku berjalan sendiri, kadang tersandung, kadang bingung. Tapi anehnya, aku lebih tenang. Tidak lagi sibuk mengukur iman orang lain, tidak lagi ...

Korban Aksi, Arogansi Aparat, dan Kemarahan Publik

Di jalanan, suara massa bergemuruh. Poster-poster diangkat tinggi, teriakan tuntutan menggema, dan di tengah kerumunan itu ada yang tumbang. Seorang demonstran, yang datang dengan niat menyuarakan kegelisahan rakyat, justru pulang tinggal nama. Korban jiwa dalam aksi demo bukan lagi sekadar berita, melainkan luka kolektif bangsa. Luka yang tak hanya menimpa keluarga korban, tetapi juga merobek rasa keadilan masyarakat. Di sisi lain, tindakan aparat yang seharusnya mengayomi justru memicu amarah. Gas air mata ditembakkan sembarangan, pentungan diayunkan tanpa pandang bulu. Arogansi aparat semakin menegaskan jurang antara rakyat dan negara. Bukannya menenangkan situasi, kekerasan itu malah menyulut api yang lebih besar. Tak heran bila kemarahan publik kemudian meluap. Rumah anggota DPR menjadi sasaran penjarahan, simbol kekecewaan terhadap wakil rakyat yang dianggap tuli terhadap jeritan rakyat. Bagi sebagian orang, tindakan itu mungkin salah. Tetapi dalam logika kemarahan massa, ia menj...

Aksi Massa dan Harapan Perubahan

Hari ini, politik Indonesia terasa seperti panggung besar, di mana aksi massa menjadi salah satu cara rakyat mengekspresikan suara. Dari jalanan Jakarta hingga alun-alun kota kecil, spanduk dan teriakan massa seringkali mewakili rasa frustrasi terhadap harga kebutuhan pokok yang naik, kebijakan yang dirasa tak adil, hingga praktik politik yang dianggap hanya menguntungkan elite. Aksi massa ini lahir sebagai akibat dari kekecewaan panjang: jurang antara janji politik dan kenyataan yang rakyat hadapi sehari-hari. Namun, seperti dicatat oleh Prof. Azyumardi Azra, politik Indonesia seringkali lebih sibuk dengan “politik kekuasaan” ketimbang politik kebijakan. Sementara itu, Ekonom Faisal Basri mengingatkan bahwa stabilitas politik tanpa perbaikan ekonomi hanya akan menjadi hiasan kosong. Keduanya seolah menegaskan: aksi massa hanyalah gejala, bukan akar persoalan. Akibatnya, ketika pemerintah tidak mendengar, aksi massa akan terus meletup. Tapi kalau sekadar berteriak di jalan tanpa arah, ...

Pejabat Digaji 100 Juta Sambil Joget-Joget

Kadang aku nggak habis pikir. Pejabat digaji 100 juta sebulan, fasilitas segalanya lengkap, sementara rakyat disuruh hemat, disuruh bayar pajak, disuruh “sabar demi negara”. Rasanya kayak lagi ngelihatin orang kaya raya makan enak di meja panjang, lalu kita dikasih tulang dan dibilang, “udah syukuri aja, ya.” Aku lihat berita anggota dewan joget-joget, ketawa-ketawa, seolah nggak ada masalah. Padahal di luar gedung megah itu, ada bapak-bapak bingung nyari uang buat beli beras, ada ibu-ibu yang rela ngutang demi bayar sekolah anaknya, ada anak-anak tidur dengan perut kosong. Sakit banget lihat kontrasnya. Kita disuruh patuh aturan, disuruh nurut bayar pajak. Tapi uang pajak itu sering nggak balik ke rakyat. Malah habis buat gaji dan fasilitas mereka yang sudah hidup mewah. Apa mereka pernah benar-benar mikirin gimana rasanya rakyat kecil bertahan di harga-harga kebutuhan yang terus naik? Jujur, aku capek dengar kata-kata manis: “demi kepentingan bangsa, mari kita berhemat.” Karena fakta...

Ingatan Masa Lalu

Ada ingatan-ingatan yang datang seperti bayangan hujan di sore hari. Bukan untuk menenangkan, tapi meninggalkan basah yang dingin di dalam dada. Ingatan masa lalu yang getir: pengkhianatan, kehilangan, atau sekadar keputusan bodoh yang pernah kita buat. Ia menempel di kepala seperti noda yang tak bisa dicuci. Dulu, aku sering bertanya, mengapa harus terus mengingat? Mengapa yang buruk selalu lebih melekat dibanding yang indah? Tapi mungkin begitulah cara hidup mendidik kita. Ingatan yang menyakitkan itu, ternyata, adalah semacam peringatan. Ia menyimpan pesan: “Hati-hati. Jangan ulangi lagi.” Seperti api kecil yang pernah membakar jari, ia membuat kita lebih pelan ketika mendekati bara. Seperti luka yang pernah menganga, ia membuat kita lebih pandai membalut perasaan sebelum berdarah lagi. Ingatan itu, meski pahit, justru menyelamatkan kita di masa depan. Aku mulai belajar menerima, bahwa masa lalu yang buruk tidak sekadar kutukan. Ia bisa berubah menjadi cahaya redup yang menuntun lan...

Aktivis Dakwah yang Berubah menjadi Kaum Liberal

Jadi gini. Hidup itu lucu. Dulu, waktu kuliah, Bima adalah definisi role model versi dakwah kampus: ngomongnya berat, jalannya lurus, dan kalau marah matanya bisa bikin mading rohis bergetar. Dia hafal ayat, hafal orasi, dan hafal nama semua tokoh pergerakan Islam abad 20. Pokoknya, kalau ada “serangan pemikiran” di kampus, dia yang maju duluan. Sekarang? Ya Tuhan. Yang tersisa dari “pejuang akidah” itu cuma akun Instagram dengan bio: Freedom is my only religion. Postingannya? Seperti kuliah filsafat yang ditulis anak magang—nggak jelas, tapi banyak yang merasa keren. Dia pernah nulis, “Tuhan mungkin mati, tapi kopi susu dan rokok linting akan selalu hidup.” Lalu upload foto dirinya di bar, lengkap dengan ekspresi look at me, I’m profound. Aku nggak tahu kapan tepatnya dia pindah keyakinan—atau pindah kesetiaan. Katanya sih, semua berawal waktu kerja di NGO internasional, ketemu orang-orang liberal dari lima benua. Dari situ, Bima mulai “melepaskan” semua beban moral kampus. Katanya, h...

Ketuhanan Tanpa Tuhan

Beberapa waktu lalu, aku ngobrol sama seorang teman yang bilang, “Aku nggak percaya Tuhan sebagai sosok, tapi aku percaya pada ketuhanan.” Awalnya aku bingung. Tapi setelah dia jelasin, aku paham maksudnya: yang dia maksud bukan menolak nilai-nilai luhur, tapi menolak membayangkan Tuhan sebagai “pribadi” di awan yang memantau hidup kita. Ketuhanan, kata dia, adalah praktik. Ia bukan soal menghafal nama-nama suci atau memikirkan bentuk Tuhan yang tak pernah kita lihat. Ketuhanan itu ya… ketika kita berlaku adil meski tidak ada yang melihat, ketika kita menolong orang tanpa pamrih, ketika kita menjaga janji walau itu merugikan diri sendiri. Sifat-sifat yang sering kita sebut sebagai “sifat Tuhan”—penyayang, pengampun, adil—itu yang harus kita hidupkan. Kalau dipikir, banyak orang yang percaya Tuhan tapi jarang menghidupi ketuhanan. Rajin ibadah, tapi mudah marah. Hafal kitab suci, tapi suka menipu. Ketuhanan, dalam arti ini, menjadi lebih nyata daripada Tuhan yang sekadar jadi konsep ata...

Kesendirian Bukan Kesepian

Kadang kita duduk sendirian di kamar, atau berjalan di trotoar kota yang ramai, tapi entah kenapa merasa kosong. Itu kesepian — rasa terpisah dari sesuatu yang dulu mengisi kita. Kesepian biasanya lahir dari kehilangan, entah orang, tempat, atau perasaan yang dulu kita miliki. Ia membawa kenangan, perbandingan, dan harapan yang tak tercapai. Tapi ada bentuk “sendiri” yang lain. Bukan kesepian, bukan juga sekadar menikmati waktu me-time. Ini adalah keadaan yang tidak disentuh pikiran, tidak dibentuk oleh tradisi, kata-kata, atau pengaruh orang lain. Jiddu Krishnamurti menyebutnya sebagai keadaan murni yang tidak berasal dari ingatan atau pengenalan. Bayangkan berdiri di tepi pantai saat senja, tanpa memikirkan siapa yang sedang menunggu, atau foto apa yang harus diunggah. Tidak ada “aku” yang sedang membandingkan diri dengan orang lain. Yang ada hanya suara ombak, angin asin, dan keberadaan yang utuh. Itulah “sendiri” yang dimaksud. Kesendirian ini adalah berkat, karena ia membebaskan k...

Tuhan Bukan Semesta, dan Semesta Bukan Tuhan

Akhir-akhir ini aku sering dengar orang bilang, “Semesta sedang mendukung,” atau “Titipkan pada semesta, nanti semesta kasih jalan.” Di media sosial, ungkapan itu terdengar indah, terasa spiritual, bahkan meyakinkan. Tapi jujur saja, aku mulai merasa ada yang kabur dalam pemahaman itu. Tuhan dan semesta adalah dua entitas berbeda. Tuhan—dalam hampir semua tradisi agama—adalah sumber dari segala yang ada, tidak terikat ruang dan waktu. Sementara semesta? Ia adalah ciptaan, bukan pencipta. Ia tunduk pada hukum fisika, sebab-akibat, dan terbatas pada logika alam. Menyamakan semesta dengan Tuhan sama seperti menyamakan lukisan dengan pelukisnya. Beberapa orang mungkin merasa nyaman dengan konsep “semesta mengatur”, karena lebih netral dan tak mengikat seperti konsep Tuhan dalam agama. Tapi di situlah jebaknya: kita jadi lupa bahwa yang benar-benar bisa mendengar niat, menilai usaha, dan memberi balasan itu bukanlah semesta—melainkan Tuhan yang menciptakan semesta itu sendiri. Semesta tidak...

Jangan Naik Haji, Jika Tak Mampu

Hari itu, aku duduk berdua dengan ayah di teras rumah. Kami membicarakan tetangga yang baru saja menjual sawah demi berangkat haji. Tak ada yang salah dengan niat ibadah. Tapi ayah menggumam pelan, “Kalau buat haji harus ngutang, anak putus sekolah, apa iya itu yang Tuhan mau?” Pikiranku tak tenang sejak itu. Dalam tradisi kita, naik haji adalah puncak ibadah, semacam “gelar kehormatan” rohani. Namun, di dunia hari ini yang makin kompleks, aku mulai mempertanyakan: apakah pergi ke Mekkah lebih penting daripada menyekolahkan anak sampai kuliah? Lebih utama dari melunasi utang yang membebani orang lain? Apa Tuhan lebih mendengar doa dari Ka'bah dibanding dari dapur seorang ibu yang berjuang memberi makan anaknya? Secara filosofis, haji memang simbol penyatuan, pengorbanan, dan ketundukan pada Tuhan. Tapi simbol tak lebih penting dari makna. Jika makna itu bisa diwujudkan lewat tindakan konkret — menolong sesama, menyelesaikan tanggung jawab, mencintai keluarga — bukankah itu lebih sp...

Manusia Tidak Sedang Diuji Tuhan

Jika kita lahir miskin, sulit makan, gagal menikah, atau berkali-kali ditolak kerja, apa artinya? Mayoritas orang akan bilang, “Kamu sedang diuji oleh Tuhan.” Bahkan ketika seorang anak kecil lahir cacat atau meninggal mendadak, tetap saja narasinya sama: “Tuhan sedang menguji keluarga ini.” Tapi benarkah Tuhan itu seperti guru SD yang gemar menguji murid-muridnya dengan soal-soal hidup paling menyakitkan? Yuval Noah Harari dalam Sapiens menjelaskan bahwa manusia bertahan hidup bukan karena ia tahu arti hidup, melainkan karena ia pandai bercerita. Agama adalah salah satu cerita terhebat dalam sejarah umat manusia. Dan dalam cerita itu, Tuhan sering ditempatkan sebagai penentu segalanya, termasuk ujian yang tak masuk akal. Tapi Harari juga menegaskan, kisah besar seperti agama bisa jadi hanya alat manusia untuk bertahan dari kekacauan eksistensi. Albert Camus, filsuf eksistensialis Prancis, pernah menulis dalam The Myth of Sisyphus: hidup ini absurd, dan upaya manusia mencari makna dala...

Tentang Kehilangan dan Sepi yang Tak Bisa Dijelaskan

Kehilangan itu tidak pernah datang dengan cara yang bisa kita siapkan. Ia masuk pelan-pelan seperti asap rokok di ruang tamu, lalu tiba-tiba memenuhi dada. Kadang datang dari kabar kematian orang tua, kadang dari pelukan terakhir seorang kekasih yang bilang, “Maaf, aku harus pergi.” Atau lewat telepon dari rumah sakit yang hanya mengucap satu kalimat pendek, “Ia sudah tiada.” Sisanya adalah hening yang tak bisa kau lawan dengan doa atau air mata. Dulu, saya kira yang paling menyakitkan adalah kematian. Ternyata yang lebih menyakitkan adalah hari-hari setelahnya—saat tidak ada yang membangunkan kita dengan suara yang familiar, atau ketika meja makan terasa terlalu besar untuk satu orang saja. Najwa Zebian pernah menulis, “Some people arrive and make such a beautiful impact on your life, you can barely remember what life was like without them.” Dan kehilangan membuat kita terjebak di situ: merindukan sesuatu yang tak lagi bisa dipegang. Haemin Sunim lebih lembut berkata, “Hati kita patah...

Sembuhnya Mata Ptosis Kakak Nubhu

Sore itu, ruang tunggu UPK Mata RSCM Kirana tampak seperti biasa, ramai, sesak, tapi penuh harapan. Seorang anak laki-laki duduk di bangku plastik biru, mengenakan jaket tipis dan celana training biru dongker. Namanya Nusantara Bhumi Aguna, biasa dipanggil Nubhu. Usianya tujuh tahun. Dan hari itu, ia akan menjalani operasi keduanya. Mamah Agis duduk di samping, menggenggam tangan kecil Nubhu. Tak ada kata-kata. Hanya napas yang mereka atur agar tidak terlalu terdengar gugup. Ini bukan pertama kalinya mereka ke rumah sakit. Tapi tetap saja, menunggu giliran masuk ruang operasi seperti menunggu nasib ditentukan. Nubhu punya mata yang istimewa sejak lahir. Kelopak mata kirinya lebih kecil dari kanan, istilah medis turunnya kelopak mata yakni Ptosis. Kelihatan seperti mengantuk terus. Kadang ia merasa perih, silau kalau kena cahaya, atau matanya berkedip terlalu sering saat terkena angin. Orang-orang bilang, ini biasa. Tapi lama-lama, kata-kata orang berubah jadi ejekan. Teman-temannya di ...

Punya Teman Pejabat, Bukan Berarti Urusan Hidup Lebih Mudah

Saya punya teman, sebut saja namanya Maman. Dia bangga betul karena punya kenalan pejabat. Di setiap tongkrongan, dia selalu menyelipkan kalimat sakti, “Waktu itu saya ngobrol sama Pak Camat, katanya sih…” atau “Saya sama Wakil Walikota deket, Bro.” Awalnya kami pikir dia bercanda. Tapi makin ke sini, makin sering dia bawa-bawa nama pejabat itu seakan-akan punya efek magis. Lucunya, waktu dia ditilang polisi karena nerobos lampu merah, nggak ada satu pun “kenalan pejabat”-nya yang bisa bantu. Akhirnya dia bayar tilang sendiri sambil misuh-misuh, “Padahal saya tuh kenal Pak Lurah, loh!” Nah, di situlah saya belajar satu hal: punya kenalan pejabat nggak otomatis bikin kita punya kuasa atau keistimewaan. Ibarat punya nomor WA artis, tapi cuma bisa lihat statusnya doang, nggak pernah dibalas juga. Temenan iya, tapi nggak berarti apa-apa. Banyak orang terlalu mengagungkan “relasi”, sampai lupa bahwa pengaruh sejati bukan soal kenalan siapa, tapi kontribusi kita apa. Kadang, kita cuma figura...

Tuhan Bukan Ada di Mana-Mana, Tapi Ia Tidak Ada

Tuhan sering disebut ada di mana-mana: di udara, di hati manusia, di balik peristiwa, bahkan di dalam setiap hela napas. Tapi itu hanya pernyataan tanpa bukti. Dalam sains, keberadaan sesuatu harus bisa diverifikasi, diuji, dan diulang hasilnya. Tuhan tidak memenuhi syarat itu. Maka, secara metodologis dan epistemologis: Tuhan tidak ada. Kalimat "Tuhan ada di mana-mana" adalah bentuk pelarian dari ketidaktahuan. Itu jawaban klise dari pertanyaan yang tidak bisa dijawab. Jika Tuhan benar ada di mana-mana, seharusnya keberadaan-Nya bisa dideteksi. Tapi tak ada alat ukur, tak ada observasi, dan tak ada bukti empiris yang bisa memastikan bahwa Tuhan eksis, apalagi "di mana-mana". Neurosains menunjukkan bahwa pengalaman spiritual bisa dijelaskan lewat aktivitas otak. Ilusi kehadiran "entitas ilahi" muncul dari proses neurologis tertentu. Artinya, keberadaan Tuhan adalah produk dari sistem saraf manusia. Tuhan bukan entitas eksternal, tapi proyeksi internal. Den...

Iman Itu Nggak Ilmiah dan Nggak Logis, Tapi Ya Emang Begitu

Kalau kita jujur, iman itu nggak ilmiah dan nggak logis. Iman adalah percaya pada sesuatu yang belum tentu bisa dibuktikan. Dalam sains, sesuatu harus bisa diuji, diamati, dan dibuktikan secara berulang. Tapi dalam iman? Cukup percaya. Nggak perlu bukti, cukup keyakinan. Logika? Bisa iya, bisa enggak. Tapi mayoritas, iman justru menanggalkan logika demi percaya pada sesuatu yang lebih besar dari nalar. Berapa banyak orang percaya surga dan neraka? Padahal nggak ada satupun yang bisa menunjukkan bukti konkret soal tempat itu. Tapi mereka tetap percaya, karena katanya "harus yakin dulu baru paham". Nah, ini jelas beda jalur sama logika. Bertrand Russell, seorang filsuf Inggris, bilang: "Not wanting to die is not evidence for an afterlife." Artinya, keinginan akan sesuatu nggak bisa jadi bukti bahwa itu benar-benar ada. Dalam dunia filsafat, iman digolongkan sebagai bentuk kepercayaan non-rasional. Kierkegaard bahkan menyebut iman sebagai “lompatan ke dalam jurang.” Ma...

Ternyata Manusia Dilahirkan Bukan Diciptakan

Mari kita mulai dengan satu pertanyaan mendasar: adakah bukti empiris bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan? Jawabannya: tidak ada. Sampai detik ini, tidak ada satu pun data ilmiah atau eksperimen yang bisa membuktikan bahwa manusia pertama—entah disebut Adam atau yang lain—muncul karena ciptaan sosok ilahi. Cerita Adam hanyalah narasi mitologis yang tertulis dalam kitab suci, bukan dokumen sejarah atau hasil penelitian ilmiah. Dalam sains, sesuatu dianggap valid jika bisa diamati, diukur, dan direplikasi. Tapi penciptaan manusia versi agama tidak memenuhi tiga kriteria tersebut. Evolusi, sebagai teori ilmiah, memberikan penjelasan lebih masuk akal dan didukung bukti fosil, genetika, hingga kesamaan struktur biologis antar spesies. Charles Darwin tidak pernah menyebut Tuhan dalam proses itu—karena memang tidak ada kebutuhan untuk hipotesis semacam itu. Dr. Ryu Hasan sering menekankan bahwa “keyakinan bukan kebenaran.” Agama menawarkan narasi untuk menjawab rasa penasaran manusia tentang ...

Bayang-Bayang Kaibon Banten

Tahun 1832. Asap masih belum hilang dari reruntuhan Kaibon, istana megah yang dulu jadi kebanggaan Banten. Batu-batunya masih hangat, seperti menyimpan murka. Tak ada denting gamelan, tak ada suara dayang berbisik. Hanya desir angin dan langkah sepatu Belanda yang membelah puing-puing sejarah. Letnan van der Graaf berdiri mematung di depan sisa pilar Kaibon, tangan kirinya memegang sketsa istana yang kini tak berarti. “Tak ada kerajaan yang lebih besar dari pemerintah Hindia-Belanda,” ucapnya dingin, seolah membekukan waktu. Di balik reruntuhan, seorang pemuda Banten, Ra’i, mengintip. Napasnya pendek. Dadanya penuh amarah. Ia menyaksikan sendiri Kaibon dibakar, tempat ibunya dulu bekerja sebagai pelayan sultanah. Matanya menatap jauh ke arah benteng yang porak-poranda—Benteng Speelwijk. Tempat pertahanan terakhir, kini hanya rangka besi tua dan dinding jebol. Dihancurkan bukan oleh musuh asing, tapi oleh tipu daya dagang, manipulasi politik, dan perpecahan bangsawan sendiri. Runtuhnya ...

Tuhan yang Tak Pernah Mengenalkan Diri

Coba deh pikirin pelan-pelan: kita sering banget nyebut nama Tuhan, berdoa, menyembah, bahkan berdebat tentang siapa Tuhan yang paling benar. Tapi pernah nggak sih, kita sadar bahwa Tuhan nggak pernah benar-benar memperkenalkan diri secara langsung? Kita kenal Tuhan lewat apa? Kitab suci, ajaran agama, petuah orang tua, dan ceramah-ceramah yang katanya bersumber dari wahyu. Tapi apakah itu benar-benar Tuhan? Atau cuma tafsir manusia tentang Tuhan? Dalam filsafat, ini mirip kayak kritiknya Feuerbach: “Tuhan adalah proyeksi ideal manusia.” Kita menciptakan gambaran Tuhan sesuai nilai dan kebutuhan kita. Bahkan Nietzsche lebih blak-blakan, katanya Tuhan sudah mati, karena manusia udah menggantikan Tuhan dengan ideologi dan rasionalitas. Tapi jauh sebelum itu, Socrates aja udah nyindir, bahwa pengakuan manusia tentang pengetahuan kadang cuma ilusi. Termasuk pengetahuan kita soal Tuhan. Kita bisa baca ratusan kitab, ikut ribuan ritual, tapi apakah kita sungguh-sungguh mengenal Tuhan? Atau c...

Teman yang Kita Dulu Sama-sama Susah

“Eh, itu Damar, kan?” gumam Tebe sambil memelototi layar ponselnya. Foto seorang pria berdasi, dengan senyum ramah di backdrop bertuliskan “Pelantikan Pejabat Eselon II”. Komentar di bawahnya seperti parade ucapan selamat. Tebe mendesah. Tangannya berhenti menggulir. Di tangannya ada gorengan setengah dingin yang sudah tak menggugah selera. Dulu, Damar itu temannya satu kelas di SMA. Duduk paling belakang, langganan nggak bawa PR, dan kalau ujian selalu nanya, “Lu udah belajar belum, Teb?” Sekarang? Damar jadi Kepala Dinas. Bukan iri, sih. Tapi… ya mungkin iya, dikit. Tebe masih jadi staf administrasi kontrak di perusahaan kecil, gaji pas-pasan, anak dua, cicilan motor belum lunas. Dulu mereka ngeluh bareng soal sepatu bolong dan warteg langganan. Tapi hidup kayak punya GPS masing-masing—dan jelas punya destinasi yang beda. Beberapa hari lalu, Tebe nekat DM Damar di Instagram. Cuma dibaca. Nggak dibalas. Waktu yang dulunya bisa bikin dua anak remaja ngobrol tentang hidup dan cinta mony...

Di Ingatanku, Kamu Masih Anak-Anak Meski Ragamu Semakin Menua

“Woy, Heru! Masih inget nggak, dulu kamu paling takut sama Bu Nurul, sampe ngompol di kelas?” Tawa pecah di teras rumah tua yang dulu jadi basecamp kami. Heru hanya nyengir. Sisa rambutnya mulai memutih, perutnya tak lagi ramping, dan geraknya sudah lambat. Tapi buat kami, Heru masih anak SMA yang suka nyontek PR Matematika dan jago main kelereng. Aku, Roni, dan Iqbal masih manggil dia “Heru kecil” walaupun sekarang dia punya tiga anak dan satu ginjal yang udah nggak berfungsi penuh. Dulu, dia paling cerewet, sekarang lebih banyak diam. Dulu, dia paling ngocol, sekarang sering lupa nama temen sekelas. “Aku tuh kadang ngerasa, kalian semua nggak pernah tua,” kata Heru pelan, matanya menerawang. “Ya karena kita udah tua bareng,” jawabku. “Tapi di kepala ini, kalian semua masih bocah. Masih pakai celana SMP, masih naik sepeda ke sekolah, masih rebutan jajan cilok di warung Mbah Salim.” Semua diam sejenak. Ada jeda yang menggantung antara nostalgia dan kenyataan. Seringkali, waktu nggak te...

Realita yang Nggak Diceritain di Seminar Motivasi

Pernah nggak kamu duduk di seminar motivasi, dengerin pembicara bilang, “Kalau saya bisa sukses, kamu juga pasti bisa!” Terus kamu mikir, “Iya sih, tapi hidup saya nggak semudah itu, Bambang.” Kadang kita lupa, bahwa jadi sukses bukan cuma soal niat dan kerja keras doang, tapi juga soal titik start, kondisi lingkungan, dan privilege yang kita bawa dari lahir. Banyak orang miskin yang dikasih motivasi, disuruh bangkit, disuruh rajin, tapi faktanya nggak semua bisa langsung berubah jadi kaya raya. Kenapa? Karena sistem sosial, akses pendidikan, kesehatan mental, dan tekanan ekonomi itu nyata. Bukan semua orang punya waktu buat “berani ambil risiko”, kalau makan aja masih mikir besok cukup apa nggak. Dalam psikologi sosial, hal ini disebut sebagai situational constraint. Orang nggak selalu gagal karena malas, tapi karena dibatasi oleh lingkungan dan kondisi hidup. Malcolm Gladwell dalam bukunya Outliers juga bilang, orang sukses itu bukan cuma kerja keras, tapi juga dapat kesempatan yang ...

Memori Palsu: Kenangan yang Tertanam, Tapi Tak Pernah Ada

Pernah nggak kamu merasa yakin banget sama sebuah kejadian di masa lalu—kayak teman yang pernah minjem buku, mantan yang katanya pernah bilang sesuatu, atau kejadian pas kecil yang kamu ceritain berkali-kali—tapi setelah ditelusuri, ternyata itu nggak pernah benar-benar terjadi? Kalau iya, selamat datang di dunia false memory alias memori palsu. Dalam psikologi dan neurosains, false memory adalah kenangan yang terasa nyata, tapi sebenarnya hasil konstruksi otak. Elizabeth Loftus, salah satu pakar psikologi kognitif paling berpengaruh, menyebut bahwa memori itu sifatnya rekonstruktif, bukan rekaman kamera. Artinya, setiap kali kita mengingat sesuatu, otak kita bukan memutar ulang, tapi “menyusun ulang” potongan-potongan yang ada—dan di sinilah sering masuknya fragmen yang salah. Kadang memori palsu muncul karena sugesti orang lain, cerita yang diulang-ulang, atau bahkan karena terlalu sering kita membayangkan sesuatu. Neurosains menjelaskan bahwa bagian otak seperti hippocampus dan pref...

Sampah Emosi dalam Konseling

Dalam dunia konseling, mendengarkan itu adalah inti. Seorang konselor, psikolog, atau terapis bekerja bukan untuk sekadar memberi solusi, tapi hadir—menjadi ruang aman bagi klien untuk bercerita, melepaskan beban, mengurai luka. Tapi di balik peran mulia itu, ada kenyataan yang nggak banyak dibahas: apa kabar hati dan pikiran si pendengar? Saat mendengarkan curhat klien yang penuh trauma, kemarahan, dosa, hingga kisah pengkhianatan—mau tak mau, konselor menyerap emosi-emosi itu. Ini yang disebut dengan istilah emotional residue atau compassion fatigue. Dalam jangka panjang, pendengar bisa kelelahan, kebawa suasana, bahkan terpengaruh secara emosional. Sama seperti orang yang kebanyakan nyium bau sampah, lama-lama ikut bau. Sigmund Freud pernah melakukan pendekatan unik: ia duduk membelakangi klien saat sesi konseling. Tujuannya bukan untuk tidak sopan, tapi untuk menjaga jarak dari ekspresi wajah, emosi, dan cerita personal klien agar tidak mengganggu dirinya secara pribadi. Freud sada...

Dika Bukan Lelaki Baik, Katanya

“Aku cuma khawatir, Nis. Mas Dika itu udah nggak pernah ikut pengajian, postingannya soal agama juga makin aneh. Dia ngajarin anak-anakmu pluralisme, feminisme, bahkan nulis status soal ‘Tuhan tak butuh dibela’. Apa kamu yakin rumah tangga kamu aman?” Kalimat itu meletup dari mulut Sinta, mantan ketua halaqoh kampus, saat mampir ke rumah Nisa, hari Sabtu siang yang awalnya tenang. Dari ruang kerja, Dika mendengarnya tanpa sengaja. Laptopnya terbuka, anak bungsunya tidur di pangkuan, dan kertas tagihan sekolah baru saja selesai ia lunasi. Sudah bukan pertama kali. Komentar seperti itu sudah akrab mampir lewat WA, DM, dan mulut-mulut teman lama yang katanya "sayang" padanya. Tapi kali ini agak keterlaluan. Sinta langsung menuding rumah tangga Nisa retak cuma karena ideologi suaminya tak lagi satu arah dengan komunitas lamanya. “Aku tahu kamu dulunya ketua BEM syar’i. Tapi sekarang, aku lihat suamimu... terlalu liar.” Nisa mengangkat alis. “Liar? Maksudmu, karena dia nggak lagi ...

Melepas Kelekatan Terhadap Hasil

Tawakal itu bukan soal pasrah tanpa usaha. Tapi lebih ke seni melepas, setelah kita berjuang sekuat tenaga. Dalam hidup, kita sering banget terlalu lekat sama hasil. Kita kerja keras, berharap hasil A. Kita bantu orang, berharap dibalas. Kita berdoa, berharap terkabul. Tapi ketika hasilnya nggak sesuai, hati rasanya remuk. Padahal inti dari tawakal adalah: kita lakukan bagian kita, dan sisanya bukan urusan kita lagi. Terlalu lekat pada hasil itu bikin hidup jadi penuh tekanan. Setiap langkah jadi berat karena kita merasa harus “sukses” dengan cara tertentu. Padahal, kadang semesta punya jalur lain yang lebih baik, tapi kita terlalu sibuk menuntut hasil versi kita sendiri. Tawakal mengajarkan kita untuk fokus pada proses, bukan semata hasil. Kata Kahlil Gibran, “Kerja adalah cinta yang menjadi nyata.” Tapi cinta sejati nggak memaksa untuk dibalas. Begitu juga kerja keras dan harapan. Kita lakukan karena cinta, bukan karena jaminan hasil. Tawakal bukan berarti nggak peduli, tapi justru p...

Doa Antara Keyakinan, Harapan, dan Realitas

Pernah nggak sih kamu ngerasa udah doa tiap malam, minta ini itu, tapi hasilnya nihil? Nggak ada perubahan signifikan, nggak ada jawaban “ajaib” yang datang tiba-tiba? Nah, dari situ muncul pertanyaan: seefektif apa sih doa terhadap terwujudnya keinginan? Secara psikologis, doa bisa dibilang bukan sekadar “permintaan” ke langit, tapi lebih ke bentuk refleksi diri. Doa membantu seseorang merasa lebih tenang, lebih terkoneksi dengan harapan, dan lebih siap menghadapi kenyataan. William James, filsuf sekaligus psikolog, pernah bilang bahwa doa itu bukan soal mengubah Tuhan, tapi mengubah si pendoa itu sendiri. Artinya, doa bikin kita lebih fokus, lebih sabar, dan kadang lebih kuat menghadapi kenyataan—meskipun kenyataannya nggak sesuai keinginan. Sementara itu, dari sisi sains, studi oleh Harvard Medical School menunjukkan bahwa doa atau spiritual practice bisa menurunkan stres dan meningkatkan sistem imun. Tapi kalau ngomongin doa bisa langsung mewujudkan keinginan? Hasilnya mixed. Beber...

Kalau Belum Bisa Let It Go, Cobain Let It Be dulu deh

Kita sering dikejar-kejar kata “let it go.” Disuruh cepat move on, disuruh melepaskan yang bikin sakit, diminta melupakan yang menyakitkan. Tapi kenyataannya, nggak semua hal bisa langsung kita lepas begitu aja. Ada luka yang masih hangat, ada rindu yang masih mengendap, dan ada kenangan yang menolak pergi. Di titik inilah kita bisa memilih satu sikap sederhana: let it be. Membiarkan bukan berarti menyerah. Let it be itu bentuk penerimaan bahwa belum semua hal harus selesai sekarang juga. Kadang kita butuh waktu untuk paham kenapa kita sedih, marah, atau kecewa. Haemin Sunim pernah bilang, “Tidak apa-apa jika kamu belum bisa melepaskan. Duduklah bersama rasa itu. Dengarkan ia.” Karena rasa yang belum selesai, tak bisa dipaksa selesai. Najwa Zebian juga menulis bahwa perasaan itu bukan untuk disapu bersih, tapi untuk dipeluk sampai reda. Jadi kalau belum sanggup let it go, biarkan dulu ia ada. Let it be. Biarkan ia hadir, kita amati, kita pahami. Sampai suatu hari, ketika hati sudah cuk...

Bagian Diri yang Tidak Bisa Dikendalikan

Pernah nggak, kamu tiba-tiba marah banget padahal sebelumnya baik-baik aja? Atau nangis sesenggukan hanya karena komentar kecil dari orang lain? Nah, itu bisa jadi karena salah satu bagian dirimu—yang disebut ego state—muncul ke permukaan dan mengambil alih. Dalam teori Transactional Analysis oleh Eric Berne, ego state adalah kondisi psikologis kita yang terbagi dalam tiga bagian utama: Parent (orangtua), Adult (dewasa), dan Child (anak-anak). Tapi makin ke sini, konsep ini berkembang. Banyak psikolog sepakat bahwa diri kita terdiri dari banyak sub-personality—ada “aku yang marah,” “aku yang benci,” “aku yang takut,” sampai “aku yang penurut.” Semua ini bisa muncul bergantian tergantung situasi dan kondisi. Misalnya, saat seseorang mengkritikmu, bisa jadi bagian “aku yang pernah disalahkan waktu kecil” langsung aktif dan bikin kamu defensif atau marah besar. Yang repot, bagian ini kadang muncul secara otomatis tanpa kamu sadari. Itulah kenapa disebut uncontrolled ego state—bagian diri ...

Belanja Karena Emosi, Bukan Kebutuhan

Kadang kita ke minimarket cuma niat beli sabun, eh pulangnya bawa keranjang isi snack, minuman kekinian, sampai lilin aromaterapi. Fenomena ini bukan kebetulan, tapi salah satu bentuk emotional spending — keputusan belanja yang lebih banyak dipicu perasaan daripada kebutuhan riil. Kita belanja bukan karena butuh, tapi karena “pengin” atau merasa “pantas dapet hadiah” setelah hari yang melelahkan. Ekonom sekaligus penulis buku “The Psychology of Money”, Morgan Housel, menyebut bahwa uang bukan hanya soal angka, tapi soal emosi dan perilaku. Banyak keputusan finansial buruk bukan karena kurangnya ilmu, tapi karena ketidakmampuan mengelola emosi. Ketika sedih, stres, atau bahkan terlalu bahagia, otak kita cenderung melemah dalam pengambilan keputusan rasional. Akibatnya, belanja jadi pelampiasan, bukan pemenuhan. Daniel Kahneman, peraih Nobel Ekonomi, dalam Thinking, Fast and Slow, menjelaskan bahwa otak punya dua sistem: cepat (emosional) dan lambat (rasional). Saat belanja impulsif, yan...

Santet itu Trik Lama yang Masih Laku

Santet sering kali dianggap sebagai ilmu hitam yang bisa mencelakai orang dari jarak jauh. Namun, Pesulap Merah, atau Marcel Radhival, menyatakan bahwa santet hanyalah trik yang digunakan oleh oknum untuk menakut-nakuti dan mengelabui orang. Dalam berbagai wawancara dan kontennya, Pesulap Merah menegaskan bahwa dirinya mengetahui seluruh rahasia santet dan membedakan antara santet dan sihir. Menurutnya, santet bukanlah sihir, dan sebaliknya.   Pesulap Merah juga menantang siapa pun yang mengklaim memiliki kemampuan santet untuk membuktikannya secara terbuka. Ia berpendapat bahwa praktik perdukunan yang mengatasnamakan santet sering kali menggunakan trik sulap dan hipnotis yang dibumbui dengan doa-doa agar terlihat meyakinkan.   Namun, tidak semua pesulap sependapat. Demian Aditya, misalnya, awalnya skeptis terhadap santet, tetapi kemudian mengaku pernah mengalami kejadian yang membuatnya percaya akan keberadaan santet. Ia menyatakan bahwa setelah mengalami send...

Latihan Mengamati Pikiran untuk Lepas dari Gangguan Kecemasan

Kecemasan itu sering datang tiba-tiba, seolah nggak ada angin, nggak ada hujan, tapi jantung mendadak deg-degan, pikiran kemana-mana. Rasanya seperti dikejar sesuatu, padahal kita lagi duduk diam. Salah satu cara sederhana tapi sering diremehkan untuk meredakannya adalah: mengamati pikiran. Mengamati pikiran bukan berarti menolak atau mengusirnya. Tapi duduk tenang, lalu melihat pikiran itu seperti awan yang lewat. Kita jadi penonton, bukan pemain. Psikolog seperti Jon Kabat-Zinn menyebut ini sebagai mindfulness, yaitu hadir utuh di momen sekarang tanpa menghakimi. Dan ternyata, ini ampuh untuk gangguan kecemasan, karena kita diajak berhenti bereaksi dan mulai menyadari. Osho, lewat meditasi aktifnya, bilang: "Jangan perangi pikiranmu. Biarkan mereka lewat. Duduk saja dan saksikan. Dalam pengamatan itu, muncul kebebasan." Kita diajak untuk tidak melawan pikiran, tapi berdamai dengannya. Masalahnya, kebanyakan dari kita terlalu sibuk terlibat dalam isi pikiran. Kita percaya ba...

Inner Child, Luka di Masa Kecil yang Terbawa saat Dewasa

Nggak semua luka kelihatan bentuknya. Kadang, yang paling dalam justru nggak berdarah, tapi membekas di dalam hati sejak kecil. Luka batin di masa kecil — entah karena dimarahi tanpa alasan, dibanding-bandingkan, diabaikan, atau dituntut sempurna — seringnya nggak selesai di masa itu. Ia ikut tumbuh, diam-diam, dan tiba-tiba muncul lagi saat kita dewasa. Inner child adalah bagian dari diri kita yang membawa emosi, pengalaman, dan persepsi masa kecil. Psikolog dan praktisi parenting seperti Najelaa Shihab dan Seto Mulyadi (Kak Seto) pernah bilang, masa kanak-kanak adalah fondasi utama karakter dan mentalitas seseorang. Kalau masa itu penuh luka dan nggak pernah diakui atau disembuhkan, maka di masa dewasa kita mudah merasa overthinking, sulit percaya orang lain, atau gampang marah tanpa tahu kenapa. Contohnya, orang yang dulu sering dimarahi karena menangis bisa tumbuh jadi orang dewasa yang menahan-nahan perasaan dan merasa bersalah saat sedih. Atau yang dulu sering dibandingkan, sekar...

Politik Jatah Preman

Kasus Ketua Kadin Kota Cilegon, Muhammad Salim, yang meminta jatah proyek Rp 5 triliun tanpa tender kepada PT Chandra Asri Alkali (CAA), bukan sekadar insiden pemerasan biasa. Ini mencerminkan pola relasi kuasa lokal yang dibahas Ian Douglas Wilson dalam bukunya Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru.   Dalam buku tersebut, Wilson menjelaskan bahwa pasca Orde Baru, banyak kelompok lokal—termasuk ormas dan tokoh masyarakat—mengisi kekosongan kekuasaan dengan membentuk jaringan informal yang memadukan politik, ekonomi, dan kekerasan. Mereka seringkali menjadi perantara antara kepentingan lokal dan proyek-proyek besar, dengan cara yang tidak selalu transparan.  Kembali ke kasus Cilegon, permintaan jatah proyek oleh Kadin setempat kepada PT CAA menunjukkan bagaimana aktor lokal mencoba memanfaatkan posisi mereka untuk mendapatkan keuntungan dari investasi besar. Tindakan ini tidak hanya mencoreng nama baik organisasi, tetapi juga menggan...

Menyambut Kematian

Kematian itu pasti, tapi tetap saja jadi hal yang paling kita hindari. Dalam bukunya Psikologi Kematian, Komaruddin Hidayat mengajak kita untuk berhenti memandang kematian sebagai momok menakutkan, dan mulai menjadikannya cermin untuk merefleksikan hidup. Ia bilang, justru karena kita sadar akan mati, maka hidup menjadi bermakna. Kalau hidup ini abadi, mungkin kita akan menunda segalanya dan tak pernah serius menjalani hari. Komaruddin menyoroti bahwa banyak orang takut mati bukan karena kematiannya itu sendiri, tapi karena ketidaksiapan menghadapi ketidakpastian setelahnya. Kita takut belum cukup amal, takut ditinggal orang tercinta, atau malah takut dilupakan. Padahal, kematian bukanlah akhir, tapi transisi. Dalam perspektif ini, mati bukan musibah, melainkan momen peralihan menuju tahap berikutnya yang penuh misteri. Di balik kesadaran akan kematian, manusia justru menemukan kedewasaan spiritual. Hidup jadi lebih tertata, lebih bermakna. Kita jadi berpikir ulang sebelum menyakiti or...

Hantu yang Tidak Tahu Arah Surga

Sudah tiga malam Uwi duduk di atas lemari, diam-diam, melihat anak dan suaminya tidur. Bukan karena tidak punya tempat lain, tapi karena sejak jadi hantu, ia tak tahu harus ke mana. Jangankan tahu arah surga, nembus plafon saja masih takut nyangkut. Dulu, sebelum mati, Uwi sering bilang dalam hati, “Kalau aku mati, bagaimana suamiku? Bagaimana anak-anak makan? Apa mereka masih pakai baju yang aku lipat?” Tapi ternyata, waktu mati beneran, yang bikin sesak bukan soal cucian kotor atau dapur kosong. Tapi melihat kenyataan bahwa hidup tetap berjalan… tanpa dirinya. Suaminya sempat sedih. Dua minggu. Setelah itu, mulai rajin pakai minyak rambut. Uwi tahu arah ceritanya. Benar saja. Tiga bulan kemudian, datang perempuan baru. Bawa rendang, senyum sok sopan. Anak Uwi dipanggil "sayang" dengan suara yang terlalu manis, seperti teh yang kelamaan direndam. Uwi hanya bisa mengambang di langit-langit ruang tamu, sambil sesekali ngusir nyamuk, padahal dia tak bisa digigit lagi. Namun yan...

Kalau Aku Mati, Siapa yang Bayar Galon?

Tebe lagi nyetrika baju anak-anaknya sambil nyalahin hidup. Bukan karena setrikaan panasnya bocor, tapi karena pikirannya udah mendidih duluan. “Kalau aku mati, siapa yang bayar galon?!” Kalimat itu nggak penting buat orang normal. Tapi buat Tebe, itu kayak pertanyaan filsafat hidup. Berat, ngilu, dan bikin lambungnya kumat. Pikiran soal mati itu kayak tamu tak diundang yang nongol tiap malam. Kadang pas lagi ngaduk susu buat si bungsu, kadang pas lagi ngupil di kamar mandi. Tebe cemas. Cemas banget. Bukan takut neraka, tapi takut tagihan listrik lupa dibayar kalau dia mati mendadak. “Teb, kamu kenapa sih sekarang jadi pendiam? Dulu mah kamu kayak keran bocor, ngomong terus,” tanya istrinya sambil ngelipet celana. Tebe cuma senyum kecut. Nggak tega jawab, kalau dalam pikirannya, tiap detik tuh kayak film pendek berjudul: “Pemakaman Ayah dan Anak-anaknya yang Kebingungan Bawa Kartu Keluarga.” Saking cemasnya, Tebe sampai nyari artikel: “Cara Menyiapkan Anak-anak Jika Ayah Mati Mendadak....

Aku Mimpi Mati

Pukul dua dini hari. Hujan masih menggantung di luar jendela, seperti sisa doa yang ditinggalkan tergesa. "Aku mimpi mati," gumam Damar, tangannya masih memegang bungkus rokok yang belum sempat dibuka. Ia duduk sendirian di kursi ruang tamu, menatap televisi yang sejak tadi mati. Bukan karena listrik padam. Tapi karena hidup kadang memang memilih diam sebagai bentuk bicara yang paling keras. “Ada apa, Mar?” suara ibunya dari balik pintu kamar. “Enggak. Cuma... tiba-tiba kepikiran, kalau aku mati malam ini, siapa yang bakal nyari jasadku?” katanya pelan. Ibunya terdiam. Tidak menjawab. Karena orang tua tahu, kematian bukan sesuatu yang bisa dibantah dengan kata-kata. Damar bangkit. Menyalakan televisi. Yang muncul hanya bayangan dirinya sendiri. Sekejap, ia merasa seperti sedang menonton tayangan ulang tentang hidupnya yang tak terlalu penting. Tak ada pencapaian. Tak ada gelar. Tak ada cinta. Hanya kenangan-kenangan yang berlari-lari kecil di lorong waktu, menyodok pikirannya...

Ruh atau Jiwa dalam Tinjauan Sains dan Filsafat

Dalam sains modern, terutama dalam neurosains dan biologi evolusioner, istilah ruh atau jiwa nggak punya tempat yang pasti. Kalau kita tanya, “Di mana letak jiwa manusia?” para ilmuwan akan mengernyit, lalu menunjuk ke otak. Daniel Dennett, dalam bukunya Consciousness Explained, menyebut kesadaran dan apa yang kita kira sebagai “jiwa” itu sebenarnya hasil dari proses kompleks dalam otak—bukan entitas tak terlihat yang keluar-masuk tubuh. Begitu juga Stephen Hawking dalam The Grand Design, ia menolak ide bahwa manusia punya “jiwa abadi”. Baginya, manusia adalah sistem biologis yang tunduk pada hukum alam. Ketika tubuh mati, kesadaran berhenti. Ruh? Bagi sains, itu cuma mitos dari ketidaktahuan zaman dulu. Dalam filsafat, debatnya lebih panjang dan licin. David Hume, filsuf skeptis dari Skotlandia, bilang bahwa konsep “self” atau jiwa hanyalah kumpulan persepsi yang berubah-ubah. Tidak ada “aku” yang utuh dan tetap. Begitu juga Nietzsche, dalam Thus Spoke Zarathustra, menertawakan ide te...

Psikologi Uang

Uang itu nggak cuma soal berapa banyak yang kamu punya, tapi gimana cara kamu memandang dan mengelolanya. Itulah intinya dari buku The Psychology of Money karya Morgan Housel. Lewat kumpulan esai pendek, Housel menjelaskan bahwa keputusan kita soal uang lebih banyak dipengaruhi oleh emosi, pengalaman pribadi, dan cara kita melihat dunia—bukan rumus ekonomi atau teori investasi yang rumit. Misalnya, dua orang dengan pendapatan sama bisa punya kondisi keuangan yang sangat berbeda. Kenapa? Karena cara mereka memperlakukan uang berbeda. Ada yang boros demi gengsi, ada yang hemat karena trauma masa kecil. Housel bilang, kita semua punya "latar belakang finansial" yang membentuk perilaku kita hari ini. Maka nggak adil membandingkan diri kita dengan orang lain yang punya cerita hidup berbeda. Kebiasaan finansial yang sehat bukan soal jadi kaya raya, tapi soal bisa bertahan. “Survival > success,” tulis Housel. Itu kenapa dia menekankan pentingnya safety margin dalam keuangan: puny...

Psikologi Hantu

Hantu itu menarik. Bukan karena bentuknya—yang kadang absurd kayak pocong nyangkut pagar atau kuntilanak di kamar mandi—tapi karena eksistensinya lebih sering muncul di pikiran daripada di kenyataan. Dalam psikologi, hantu bisa dibilang bukan makhluk, tapi proyeksi. Proyeksi dari ketakutan, trauma, dan keyakinan kolektif yang diwariskan turun-temurun. Carl Jung pernah menyebut tentang collective unconscious—pikiran bawah sadar bersama yang dimiliki semua manusia. Dari situlah simbol-simbol muncul, termasuk gambaran tentang makhluk halus. Kita diajari sejak kecil bahwa hantu itu ada. Kita dengar cerita dari orang tua, nonton film horor, atau lihat berita mistis. Lama-lama, otak kita membuat pola: tempat gelap = serem = ada hantu. Padahal belum tentu. Psikolog Richard Wiseman dalam penelitiannya menyebut bahwa pengalaman melihat hantu seringkali muncul dari sugesti kuat, tekanan emosional, atau bahkan faktor lingkungan seperti suara frekuensi rendah (infrasound) yang bikin otak kita mera...

Psikologi Hari Libur Kerja

Hari libur kerja itu kayak oase di tengah gurun kesibukan. Setelah lima atau enam hari berkutat dengan target, rapat, tekanan deadline, dan segala keruwetan dunia kerja, satu-dua hari libur bisa jadi penyelamat kewarasan. Libur itu bukan cuma soal nggak masuk kerja, tapi momen buat ngereset ulang kepala dan badan yang udah mulai aus. Bagi banyak pekerja, libur adalah kesempatan buat "jadi manusia lagi". Bukan robot yang harus standby dari pagi sampai sore, tapi seseorang yang bisa bangun tanpa alarm, duduk lama tanpa merasa bersalah, dan tertawa bersama teman atau keluarga tanpa dihantui notifikasi kerja. Libur juga jadi waktu paling ideal buat me time. Entah itu nonton film favorit, baca buku, ngopi sambil melamun, atau sekadar tidur sepuasnya. Psikolog organisasi, Sabine Sonnentag, pernah bilang bahwa hari libur penting untuk memulihkan energi dan mencegah burnout. Tanpa jeda yang cukup, performa kerja justru bisa turun dan stres jadi menumpuk. Dalam narasi hidup modern yan...