Kita tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan ajaran tentang pentingnya kontrol. Agama, filsafat, para guru, dan bahkan keluarga kita, semua mengajarkan bahwa mengendalikan pikiran, emosi, dan tindakan adalah kunci menuju kehidupan yang lebih baik. Kita diajarkan untuk menahan amarah, menekan kesedihan, dan mengendalikan ketakutan. Namun, di balik semua itu, pernahkah kita benar-benar bertanya: siapa yang mengontrol? Siapa sebenarnya sang pengendali? Pertanyaan ini jarang diajukan karena kita begitu sibuk berusaha mengendalikan segala hal. Dalam narasi hidup, kita percaya bahwa "aku" yang mengontrol adalah entitas nyata, bahwa kita bisa menundukkan segala ketidakpastian dan kekacauan dengan disiplin pikiran. Namun, jika kita berhenti sejenak dan mengamati lebih dalam, kita mulai melihat bahwa "aku" yang mengontrol itu hanyalah sebuah konstruksi pikiran, dibentuk oleh masa lalu, pengalaman, serta kondisi sosial. Ironisnya, semakin kita berusaha mengendalikan, semaki...