Akhir-akhir ini aku sering dengar orang bilang, “Semesta sedang mendukung,” atau “Titipkan pada semesta, nanti semesta kasih jalan.” Di media sosial, ungkapan itu terdengar indah, terasa spiritual, bahkan meyakinkan. Tapi jujur saja, aku mulai merasa ada yang kabur dalam pemahaman itu.
Tuhan dan semesta adalah dua entitas berbeda. Tuhan—dalam hampir semua tradisi agama—adalah sumber dari segala yang ada, tidak terikat ruang dan waktu. Sementara semesta? Ia adalah ciptaan, bukan pencipta. Ia tunduk pada hukum fisika, sebab-akibat, dan terbatas pada logika alam. Menyamakan semesta dengan Tuhan sama seperti menyamakan lukisan dengan pelukisnya.
Beberapa orang mungkin merasa nyaman dengan konsep “semesta mengatur”, karena lebih netral dan tak mengikat seperti konsep Tuhan dalam agama. Tapi di situlah jebaknya: kita jadi lupa bahwa yang benar-benar bisa mendengar niat, menilai usaha, dan memberi balasan itu bukanlah semesta—melainkan Tuhan yang menciptakan semesta itu sendiri.
Semesta tidak berkehendak, tidak berniat, tidak bisa kita ajak berdialog secara spiritual. Ia bisa menjadi media, jalan, bahkan tanda, tapi bukan pemilik kuasa. Seperti pipa yang menyalurkan air, bukan sumber mata airnya.
Kita boleh berdoa dan berharap, tapi jangan salah alamat. Jangan sampai kita mengganti Tuhan yang transenden dengan semesta yang pasif, hanya karena kalimatnya terdengar keren. Karena ketika doa tak terkabul dan harapan tak jadi nyata, semesta tak bisa memberi penjelasan. Tapi Tuhan—Dialah yang tahu, yang mendengar, dan yang benar-benar hadir, bahkan saat dunia tampak diam.
Komentar
Posting Komentar