Tuhan, dalam banyak hal, mungkin adalah makhluk paling misterius sekaligus paling akrab dalam pikiran manusia. Kita membicarakan-Nya, menyembah-Nya, bahkan bertengkar soal-Nya. Tapi siapa Dia, sungguh? Atau lebih tepatnya: apakah Dia benar-benar ada, atau kita hanya menciptakan-Nya karena kita butuh alasan untuk menjelaskan yang tak bisa kita pahami?
Osho bilang, “Tuhan bukanlah orang, tapi pengalaman.” Sementara Jiddu Krishnamurti lebih tajam lagi—baginya, Tuhan adalah proyeksi dari pikiran yang ketakutan. Kita takut sendirian, takut mati, takut tak berarti. Maka kita ciptakan Tuhan: sosok maha tahu, maha sayang, sekaligus maha mengawasi. Kita bentuk Dia dalam rupa yang kita pahami—berjanggut, duduk di atas takhta, atau hadir sebagai cahaya. Padahal, seperti kata Ludwig Feuerbach, “Tuhan adalah cermin tempat manusia memproyeksikan kualitas terbaik dirinya.”
Jika kita jujur, imajinasi tentang Tuhan lebih banyak dibentuk oleh budaya dan doktrin daripada pengalaman langsung. Seorang anak yang tumbuh di Timur akan membayangkan Tuhan berbeda dari anak yang lahir di Barat. Maka, benarkah Tuhan itu satu, atau hanya satu versi dari ribuan tafsir?
Tapi meski Tuhan adalah imajinasi, bukan berarti Dia tidak nyata. Imajinasi itu sendiri punya kekuatan luar biasa. Ia membentuk harapan, moral, dan arah hidup. Bahkan jika Tuhan hanyalah ilusi, maka itu adalah ilusi yang sangat berarti.
Mungkin yang kita butuhkan bukan lagi mencari Tuhan di luar, tapi menyadari bagaimana pikiran kita membentuk Tuhan. Karena saat kita berhenti membayangkan, saat pikiran sunyi dari keinginan dan rasa takut—di situlah mungkin kehadiran Tuhan yang sejati bisa muncul, bukan sebagai sosok, tapi sebagai keheningan yang tak butuh nama.
Komentar
Posting Komentar