Kasus Ketua Kadin Kota Cilegon, Muhammad Salim, yang meminta jatah proyek Rp 5 triliun tanpa tender kepada PT Chandra Asri Alkali (CAA), bukan sekadar insiden pemerasan biasa. Ini mencerminkan pola relasi kuasa lokal yang dibahas Ian Douglas Wilson dalam bukunya Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru.
Dalam buku tersebut, Wilson menjelaskan bahwa pasca Orde Baru, banyak kelompok lokal—termasuk ormas dan tokoh masyarakat—mengisi kekosongan kekuasaan dengan membentuk jaringan informal yang memadukan politik, ekonomi, dan kekerasan. Mereka seringkali menjadi perantara antara kepentingan lokal dan proyek-proyek besar, dengan cara yang tidak selalu transparan.
Kembali ke kasus Cilegon, permintaan jatah proyek oleh Kadin setempat kepada PT CAA menunjukkan bagaimana aktor lokal mencoba memanfaatkan posisi mereka untuk mendapatkan keuntungan dari investasi besar. Tindakan ini tidak hanya mencoreng nama baik organisasi, tetapi juga mengganggu iklim investasi yang sehat. Sebagaimana dilaporkan, tindakan ini berujung pada penetapan tersangka dan penahanan oleh pihak kepolisian.
Fenomena ini menggarisbawahi pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses investasi, serta perlunya pengawasan terhadap aktor-aktor lokal yang mencoba memanfaatkan proyek-proyek besar untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Tanpa pengawasan yang ketat, praktik semacam ini dapat merusak kepercayaan investor dan menghambat pembangunan ekonomi daerah.
Sebagai refleksi, kasus ini menjadi peringatan bahwa desentralisasi kekuasaan harus diimbangi dengan mekanisme kontrol yang efektif. Tanpa itu, kekuasaan lokal bisa disalahgunakan, dan investasi yang seharusnya membawa manfaat bagi masyarakat luas justru menjadi ladang bagi segelintir orang.
Komentar
Posting Komentar