Terkadang kita marah, tapi bilang ke orang lain: “Enggak apa-apa kok.” Padahal hati panas, kepala penuh omelan dalam hati. Di situlah sering masalah dimulai: kita nggak kenal benar apa yang sedang kita rasakan. Nah, ternyata dalam dunia psikologi, ada satu teknik sederhana tapi berdampak besar: melabelkan emosi. Cukup dengan menyebut perasaan yang muncul dengan jujur — “aku sedang marah,” “aku merasa kesepian,” atau “aku takut gagal.”
Teknik ini dipakai di banyak terapi modern, seperti Mindfulness-Based Therapy, ACT, dan DBT. Tujuannya bukan buat menghakimi atau menolak emosi, tapi menyadari dan menerima bahwa emosi itu hadir. Begitu kita menyebut nama emosi dengan sadar, otak bagian amigdala yang biasanya bikin kita reaktif, perlahan jadi tenang. Otak rasional jadi lebih aktif. Kita jadi bisa memilih merespons dengan kepala dingin, bukan meledak atau memendam.
Misalnya, saat rasa cemas datang menjelang presentasi, daripada mengabaikannya, coba katakan dalam hati: “Aku sedang cemas sekarang.” Lalu tarik napas, dan rasakan sensasi cemas itu di tubuh. Tindakan sederhana ini bikin emosi terasa lebih ringan, karena kita nggak lagi membiarkannya berkeliaran di kepala tanpa arah.
Melabelkan emosi juga bikin kita belajar bedain antara kecewa, marah, malu, atau takut — yang dulu mungkin kita pukul rata sebagai “bad mood”. Kita jadi lebih kenal sama diri sendiri, dan tahu cara merawat luka-luka kecil di dalam hati.
Jadi, lain kali emosi datang, jangan buru-buru mengusirnya. Ajak duduk, kenali, beri nama. Karena dengan menamai emosi, kita bukan sedang lemah, tapi justru sedang belajar bijak — dan itu langkah awal untuk sembuh dan tumbuh.
Komentar
Posting Komentar