Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Politik

Politik Jatah Preman

Kasus Ketua Kadin Kota Cilegon, Muhammad Salim, yang meminta jatah proyek Rp 5 triliun tanpa tender kepada PT Chandra Asri Alkali (CAA), bukan sekadar insiden pemerasan biasa. Ini mencerminkan pola relasi kuasa lokal yang dibahas Ian Douglas Wilson dalam bukunya Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru.   Dalam buku tersebut, Wilson menjelaskan bahwa pasca Orde Baru, banyak kelompok lokal—termasuk ormas dan tokoh masyarakat—mengisi kekosongan kekuasaan dengan membentuk jaringan informal yang memadukan politik, ekonomi, dan kekerasan. Mereka seringkali menjadi perantara antara kepentingan lokal dan proyek-proyek besar, dengan cara yang tidak selalu transparan.  Kembali ke kasus Cilegon, permintaan jatah proyek oleh Kadin setempat kepada PT CAA menunjukkan bagaimana aktor lokal mencoba memanfaatkan posisi mereka untuk mendapatkan keuntungan dari investasi besar. Tindakan ini tidak hanya mencoreng nama baik organisasi, tetapi juga menggan...

Bagi-Bagi Kekuasaan dalam Politik

Teori patronase adalah konsep yang menjelaskan bagaimana kekuasaan dibagi-bagikan setelah seorang pemimpin politik berhasil meraih posisi penting, seperti presiden. Dalam politik demokratis, patronase menjadi salah satu cara efektif untuk mempertahankan dukungan politik dengan memberikan imbalan berupa jabatan, posisi strategis, atau sumber daya lainnya kepada individu atau kelompok yang telah mendukung kemenangan pemimpin tersebut. Jean-François Bayart, seorang ilmuwan politik, pernah mengatakan, “Politik patronase adalah seni membagi kue kekuasaan.” Ungkapan ini menggambarkan bagaimana kekuasaan tidak didistribusikan berdasarkan kompetensi semata, tetapi juga melalui loyalitas politik. Dalam praktik patronase, jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan, seperti menteri, kepala lembaga negara, dan posisi strategis lainnya, diberikan kepada orang-orang yang merupakan bagian dari koalisi politik atau pendukung dekat sang pemimpin. Tujuan utama dari pemberian jabatan ini adalah untuk men...

Untungnya Saya Gak Terjebak Masuk Anggota Partai

Beberapa tahun belakangan ini, ajakan untuk masuk ke partai politik datang silih berganti, seolah saya ini punya bakat terpendam jadi politisi. Mulai dari PKS, Partai Demokrat, Partai Gelora, sampai Partai Buruh, semua pernah mencoba “merayu” saya untuk gabung. Awalnya saya pikir, kenapa enggak? Politik kan urusan serius, bisa jadi kontribusi saya dibutuhkan. Tapi semakin saya diajak ngobrol sama anggota-anggota partai ini, saya semakin yakin: politik praktis ternyata bukan untuk saya. Contohnya waktu saya diajak ngobrol dengan orang dari PKS. Pembicaraan awalnya memang santai—tentang pentingnya anak muda terlibat dalam politik. Tapi lama-lama saya merasa seperti diajak ikut semacam jenjang pengkaderan yang ketat. Ada semacam tekanan halus, seperti kalau saya gak ikut, saya gak cinta negeri. Hmm... rasanya kok jadi terlalu serius? Kemudian datang ajakan dari Partai Demokrat. Kali ini, yang disodorkan lebih ke arah “politisi muda berprestasi.” Mereka bilang, partai ini punya banyak pelu...

Homo Sacer dan Politik Indonesia

Dalam konteks politik Indonesia saat ini, konsep homo sacer, yang diperkenalkan oleh filsuf Giorgio Agamben, dapat menjadi refleksi yang tajam terhadap kondisi para individu yang terpinggirkan oleh kekuasaan. Homo sacer adalah sosok yang, meskipun dianggap sebagai manusia, tidak memiliki hak-hak yang dijamin oleh hukum; ia bisa dikesampingkan, dilupakan, dan diperlakukan sewenang-wenang tanpa adanya konsekuensi. Politik dinasti di Indonesia adalah contoh nyata bagaimana kekuasaan sering kali diwariskan dalam lingkaran elite, meninggalkan mereka yang tidak berada dalam lingkaran tersebut sebagai homo sacer—terpinggirkan, tak diperhitungkan, dan tidak memiliki akses ke kekuasaan yang seharusnya menjadi milik semua warga negara. Pilkada yang seharusnya menjadi ajang demokrasi, sering kali hanya menjadi panggung bagi keluarga atau kelompok tertentu untuk memperkuat dominasi mereka.  Lihat saja bagaimana para kandidat kepala daerah yang hampir selalu berasal dari keluarga elite politik ...

Plot Twist Anies Baswedan dan Aksi 212 Bela Islam

Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta yang pernah melambung berkat dukungan besar dalam Pilkada 2017, kini berada di persimpangan jalan. Setelah ditinggalkan oleh partai-partai yang dulu setia mendukungnya, Anies kini berada dalam situasi yang penuh ironi. Di satu sisi, ia menanti dukungan dari PDI Perjuangan, partai yang dulu berada di seberang arena. Lebih menarik lagi, kabar yang beredar mengatakan bahwa Anies bisa saja dipasangkan dengan Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok—sosok yang menjadi pusat penolakan dalam aksi bela Islam 212. Cerita ini terdengar seperti lelucon politik yang tidak lucu. Anies yang dulu berdiri di atas panggung kemenangan, didukung oleh massa besar 212 yang menolak Ahok karena dianggap menista agama, kini berada dalam posisi di mana ia harus mempertimbangkan kemungkinan bekerja sama dengan orang yang pernah ia kalahkan. Ironis? Tentu saja. Tapi begitulah politik, selalu penuh kejutan. Pakar politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan, "Politi...

Akrobatik Politik di Pilkada DKI 2024

Pilkada DKI 2024 semakin dekat, dan panggung politik Jakarta kembali diramaikan dengan aksi akrobatik yang bikin kita geleng-geleng kepala. Di dunia politik, segala hal bisa terjadi—bahkan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Realitas politik di Indonesia sering kali seperti pertunjukan sirkus, di mana para politisi dengan cekatan menjungkirbalikkan keadaan demi memenangkan calon mereka. Di sini, tak ada musuh abadi, hanya kepentingan yang abadi. Siapa yang dulu jadi musuh besar, sekarang bisa jadi teman seperjuangan, duduk manis bersama sambil mengatur strategi. Lihat saja bagaimana aksi bela Islam 212 beberapa tahun lalu mengguncang Jakarta. Dulu, kita menyaksikan tokoh-tokoh yang berdiri di garis depan aksi tersebut, berteriak lantang melawan musuh politik mereka, seakan tak ada celah untuk kompromi. Tapi sekarang? Ajaib! Mereka yang dulu berhadapan langsung di medan perang politik kini bisa berpelukan, saling mendukung, dan berbagi panggung untuk memenangkan Pilkada. Siapa yang ...

Membaca Realitas Politik

Politik itu ibarat panggung sandiwara. Tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanya peluang dan kesempatan. Di balik senyuman dan pelukan hangat, tersimpan ambisi dan strategi yang siap berputar arah kapan saja.  Contohnya, kemarin mereka musuh bebuyutan, saling sindir di media, tapi hari ini duduk satu meja, makan bersama sambil berunding. Begitulah politik, tempat di mana segala sesuatu bisa berubah dengan cepat, tergantung pada kepentingan dan keuntungan yang bisa diraih.  Ari Dwipayana, seorang pakar politik ternama di Indonesia, pernah berkata, "Politik adalah seni kemungkinan." Ini berarti, di dunia politik, yang penting bukan siapa teman atau musuhmu, melainkan bagaimana kamu bisa memanfaatkan setiap momen untuk mencapai tujuan. Kawan hari ini bisa jadi lawan besok, begitu juga sebaliknya. Semua itu tergantung pada peluang yang ada di depan mata. Ketika ada kesempatan untuk meraih kekuasaan atau mendapatkan keuntungan tertentu, orang-orang di dunia politik tida...

Kader Partai Politik yang Kalah Pamor dengan Popularitas dan Modal Besar

Di balik gegap gempita Pemilihan Kepala Daerah, ada cerita getir tentang seorang kader partai yang gagal meraih posisi kepala daerah. Sejak awal, dia mengikuti jenjang kaderisasi dengan semangat membara. Berangkat dari sekolah partai, merambah ke dunia kampus, dan akhirnya mendalami politik secara serius. Namun, kenyataan politik seringkali tak seindah teori di buku-buku pelajaran. Kader ini, meski berpengalaman dan berdedikasi, kalah pamor dari para calon yang lebih populer dan punya modal amunisi politik yang lebih besar. Ironisnya, lawan-lawan politiknya lebih dikenal sebagai selebritas dan figur publik yang sering muncul di layar kaca. Popularitas mereka mengalahkan segala bentuk pengalaman dan kompetensi yang telah dibangun dengan susah payah oleh sang kader. Selain itu, politik adalah soal kedekatan dengan para elite partai. Tanpa dukungan kuat dari atas, kader ini seolah berjalan di jalan terjal tanpa sandaran. Para elite lebih memilih mendukung figur yang bisa menaikkan citra p...

Kelucuan Marshel Widianto, Popularitas Mengalahkan Kualitas?

Majunya pelawak Marshel Widianto sebagai calon wakil wali kota Tangerang Selatan menimbulkan banyak perdebatan. Sebagai seorang komedian, Marshel mungkin dikenal luas oleh masyarakat dan memiliki daya tarik tersendiri. Namun, dalam konteks politik, pertanyaan utama adalah apakah popularitas semata cukup untuk memimpin sebuah kota dengan segala kompleksitasnya. Marshel tidak memiliki kapasitas politik yang mumpuni. Rekam jejaknya di dunia politik nyaris tidak ada, dan pengalamannya lebih banyak berkisar pada dunia hiburan. Selain itu, ia pernah tersandung kasus pembelian konten porno, yang menunjukkan ketidakmatangan dalam mengambil keputusan. Sering datang telat saat mengisi acara hiburan televisi juga mencerminkan kurangnya disiplin, yang menjadi salah satu kualitas penting dalam kepemimpinan. Pemilihan kepala daerah seharusnya menyuguhkan kualitas pemimpin terbaik yang mampu membawa perubahan positif. Namun, yang sering kita saksikan adalah lebih mengutamakan popularitas. Pemimpin di...

Koalisi PKS dan Gerindra: Langkah Strategis di Pilkada Banten dan Kota Serang

Di dunia politik, strategi adalah segalanya. Setelah satu dekade menjadi oposisi di Banten dan Kota Serang, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tampaknya mengubah taktiknya. Kini, PKS merapat ke Partai Gerindra, partai yang sedang berkuasa. Langkah ini bisa dilihat sebagai upaya PKS untuk membangun kembali pengaruh dan kekuatannya di kancah politik lokal. Mengapa PKS memilih untuk berkoalisi dengan Gerindra? Sederhananya, politik adalah tentang kekuatan dan peluang. Setelah 10 tahun berada di luar pemerintahan, PKS mungkin melihat bahwa bekerja sama dengan partai yang sedang berkuasa bisa membuka jalan bagi mereka untuk lebih berpengaruh dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan. Koalisi ini bukan tanpa tantangan. Para pendukung PKS yang setia mungkin merasa kecewa melihat partai mereka bergandengan tangan dengan partai yang dulu mereka kritik. Namun, dari sudut pandang strategis, langkah ini masuk akal. Dengan Gerindra sebagai mitra, PKS bisa mendapatkan akses ke sumber daya d...

Syariah, Negara, dan Ketakutan

Dalam esainya "Syariah, Negara, dan Ketakutan" yang termuat dalam Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad mengajak kita merenungkan bagaimana syariah dan negara bisa jadi campuran yang menakutkan. Goenawan menggambarkan syariah sebagai pedang bermata dua: di satu sisi, ia adalah ekspresi dari keyakinan religius; di sisi lain, jika diterapkan secara paksa oleh negara, ia bisa menimbulkan ketakutan dan alienasi di kalangan masyarakat. Bayangkan kalau syariah, yang sebenarnya bersifat personal dan spiritual, tiba-tiba jadi hukum negara yang kaku. Di Aceh, misalnya, kita lihat bagaimana aturan-aturan syariah bisa mengontrol perilaku publik, mulai dari cara berpakaian hingga cara beribadah. Di sinilah ketakutan mulai muncul: ketakutan akan penindakan, ketakutan akan stigma, dan yang paling parah, ketakutan akan hilangnya kebebasan. Goenawan membandingkan kondisi ini dengan suasana di negara-negara yang memisahkan agama dari negara, seperti di Barat. Di sana, syariah tidak memegang kekua...

Kuasa Uang dalam Pemilihan Umum

Pemilihan umum di Indonesia, yang seharusnya menjadi pesta demokrasi, sering kali tercemar oleh praktik politik uang. Fenomena ini tidak hanya mengubah esensi demokrasi menjadi transaksi finansial, tetapi juga membuka pintu lebar bagi korupsi dan politik balas budi. Sejak era pasca Orde Baru, sebagaimana dijelaskan oleh Burhanudin Muhtadi dalam bukunya *Politik Uang dalam Pemilu Pasca Orde Baru*, politik uang telah menjadi alat transaksional yang efektif untuk mempengaruhi pilihan pemilih. Dalam setiap pemilu, dari legislatif hingga eksekutif, politik uang beroperasi dengan cara yang sederhana namun merusak. Calon-calon pemimpin, baik itu calon anggota legislatif, calon walikota, hingga calon presiden, seringkali menggunakan uang untuk membeli suara. Bagi-bagi uang ini bisa terjadi secara terang-terangan ataupun terselubung, menjelang hari pencoblosan atau bahkan jauh sebelum itu. Masyarakat, yang kadang terdesak oleh kebutuhan ekonomi, sering kali tergoda menerima uang tersebut tanpa ...

Indonesia Negara yang Bukan-Bukan

Indonesia sering kali disalahpahami dalam konteks apakah ia merupakan negara sekuler atau negara agama. Seperti yang pernah dikatakan oleh Gus Dur, "Indonesia adalah negara yang bukan-bukan karena bukan negara agama tapi juga bukan negara sekuler." Pernyataan ini mencerminkan realitas unik Indonesia yang tidak mudah dikategorikan dalam definisi konvensional. Secara resmi, Indonesia bukan negara yang berdasarkan agama tertentu. Kita tidak memiliki agama negara yang diakui secara resmi seperti Iran dengan Islamnya atau Vatikan dengan Katoliknya. Namun, Indonesia juga bukan negara sekuler seperti Prancis, di mana agama benar-benar dipisahkan dari kehidupan bernegara. Di Indonesia, ada Kementerian Agama yang mengurusi keperluan agama rakyatnya, mulai dari mengatur hari libur nasional keagamaan hingga urusan haji. Contoh nyata dari pendekatan ini dapat dilihat dalam kebijakan pemerintah yang mengakomodasi berbagai perayaan keagamaan. Hari-hari besar seperti Idul Fitri, Natal, Wais...

Kota Serang, Aje Megegeg!

Kota Serang, meskipun berada dalam jarak yang relatif dekat dengan ibu kota Jakarta, hingga kini belum menunjukkan kemajuan yang signifikan. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan di benak warga: Mengapa kota ini seolah-olah tertinggal dari segi pembangunan dan daya saing dibandingkan daerah lain? Masalah utama yang dihadapi Kota Serang adalah kurangnya inovasi dalam kepemimpinan. Selama bertahun-tahun, kebijakan yang diambil lebih berfokus pada rutinitas administratif daripada terobosan nyata yang dapat membawa perubahan berarti. Akibatnya, banyak potensi kota yang tidak tergarap dengan optimal. Padahal, sebagai ibu kota Provinsi Banten, Serang seharusnya bisa menjadi contoh kemajuan dan modernisasi bagi kota-kota lainnya di Indonesia. Selain itu, kurangnya infrastruktur yang memadai juga menjadi salah satu penghambat utama. Jalanan yang rusak, fasilitas umum yang tidak terawat, serta pelayanan publik yang seringkali mengecewakan membuat masyarakat Serang semakin merasa tertinggal. Sit...

Relasi Kepentingan Penguasa dan Pengusaha di Pilkada

Pilkada, sebagai ajang demokrasi lokal, sering kali menjadi medan pertarungan antara kekuatan politik dan ekonomi. Di balik panggung politik, terdapat relasi yang kompleks antara penguasa dan pengusaha yang berpotensi memengaruhi dinamika dan arah pembangunan suatu daerah. Dalam esai ini, kita akan menelusuri relasi kepentingan antara penguasa dan pengusaha di Pilkada, menyelami bahaya dan keuntungan yang mungkin timbul, serta menyoroti implikasinya bagi masyarakat. Ketika seorang pengusaha menjabat sebagai penguasa, risiko terjadinya konflik kepentingan menjadi sangat nyata. Pengusaha yang terpilih memiliki akses terhadap sumber daya dan kekuasaan yang dapat dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi atau korporatnya. Hal ini dapat mengakibatkan pengambilan keputusan yang tidak transparan dan tidak berpihak kepada kepentingan umum. Korupsi, nepotisme, dan kolusi menjadi ancaman serius yang menggerus integritas pemerintahan dan menghambat pembangunan yang berkelanjutan. Selain itu, dominasi...

Praktik Politik Uang di Partai Islam

Alasan partai politik membawa ideologi tertentu di dalam kampanye politiknya karena mengetahui basis massa ideologi apalagi diperkuat dengan mengusung identitas agama memiliki fanatisme yang kuat dalam menyuarakan pilihannya. Memilih partai politik Islam artinya milih wakil rakyat yang berasaskan Islam dan harapannya bisa membawa pesan moral di dalam kebijakan-kebijakan politis yang dapat mensejahterakan masyarakat banyak. Kalau saja semua partai politik mau jujur, mereka menggunakan politik uang untuk bisa menang di daerah pemilihan. Tidak terlepas dengan partai politik yang berasaskan Islam, menggunakan politik uang adalah siasat yang lazim digunakan untuk mencapai kemenangan suara seperti yang diharapkan. Tidak cukup menggunakan spanduk dan baliho yang besar, uang dengan besaran tertentu dibutuhkan untuk mendorong suara di suatu daerah semakin besar, di samping membuat kontrak politik dan membangun fasilitas umum di masyarakat. Uang yang ada dikumpulkan oleh para kader partai politi...

Bagaimana Perasaan Kader Politik yang Tidak Jadi Apa-Apa?

Keputusan final politik ditentukan oleh para elite politik yang ada di partai politik, entah itu berada di tangan Ketua Umum, Majelis Syuro, hingga bisa juga ditentukan oleh titipan orang yang paling berpengaruh meski berada di luar partai. Perhitungan orang tersebut berasal dari kader partai atau bukan, bukan soal yang terlalu penting, yang penting potensi menangnya besar dan didukung oleh logistik yang cukup untuk sampai kepada tujuan kemenangan politik. Point of view kader partai yang merasa banyak kontribusinya untuk partai dan terlebih kepada umat, pasti di sudut hatinya yang paling dalam merasa kenapa bukan saya atau si fulan yang lebih pantas mendapatkan amanah pemimpin ini? Pertanyaan tersebut jika dijawab dengan sikap kami dengar dan taat, langsung bisa menerima begitu saja. Ya, namanya juga para pemimpin partai sudah memilih dan menetapkan orang tersebut, kader partai hanya bisa menuruti dan mengikuti apa maunya para pemimpin. Sebaliknya jika disikapi dengan kritis dan meliha...

Serangan Fajar; Harga dari Pertukaran Uang dengan Pencoblosan Caleg

Besok pemilihan presiden beserta perangkat anggota legislatif lainnya, mendapat kabar banyaknya caleg yang membagikan uang atau membangunkan aula dan memperbaiki jalan raya kepada masyarakat. Sedangkan mereka yang menolak membagikan uang, diganti dengan memberikan sembako, buku, kipas, kalender dan barang lainnya. Di komplek perumahan tempat saya tinggal ada yang membagikan uang dengan seruan memilih dia. Tentu saya tolak dengan lembut, maaf bisa kasih saya uang yang lebih besar dari ini?  Larangan menerima uang sogokan ketika pemilihan umum sering disuarakan oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat, mungkin secara sadar banyak yang setuju namun secara realitas mereka butuh uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari.  Uang sogokan dahulu muncul di waktu fajar (subuh) tiba dibagikan ke konstituen daerah pemilihannya, populer masyarakat mengenalnya sebagai serangan fajar. Besaran serangan fajar jumlahnya variatif, di kota ada di angka 100 ribu sampai 300 ribu per orang. Bisa dibayangka...

Mungkin Jokowi Bisa Melebihi Masa Berkuasa Soeharto

Isu Jokowi 3 periode sudah bergulir dengan majunya Gibran sebagai wakil presiden mendampingi Prabowo. Nampaknya Jokowi lebih suka dengan pemenangan capres 2024 memenangkan Prabowo Gibran daripada usungan PDI P, babak baru dinamika politik Indonesia yang menarik dan penasaran dengan hasil akhirnya bagaimana juga seperti apa. Kemudian lumrah saja jika Jokowi mengulurkan bantuan kekuasaan politik kepada anaknya, di samping memberikan dukungan abu-abu kepada partai pengusungnya. Kalau dibukukan, kisah politiknya Jokowi ini banyak adegan plot twistnya, yang kita pikirkan politik Indonesia ya begini-begini saja, ternyata ada adegan tidak terduga yang membagongkan banyak orang. Peluang Jokowi beserta keluarganya berada di lingkaran kekuasaan bisa diperpanjang durasinya dengan kemenangan Prabowo Gibran. Setidaknya bisa 25 tahun atau bahkan lebih. Skemanya sudah terlihat dengan jelas dengan hitung-hitungan 5 tahun Gibran menjadi Wakil, di putaran pilpres berikutnya bisa mencalonkan diri sebagai...

Pragmatisme dan Momentum Anies dan Gibran

Biar keliatan netral saya coba ngeghibahin dua tokoh calon presiden (capres/nyapres) yang kehadirannya cukup ajaib, yakni Anies Rasyid Baswedan dan Gibran Rakabuming Raka. Saya katakan ajaib sebab keduanya memiliki hoki yang mengantarkannya ke panggung politik bursa pencalonan presiden. Anies yang dulunya Rektor Universitas dan Gibran yang dulunya Pengusaha Makanan, bisa-bisanya jadi dambaan ibu-ibu di komplek yang fanatik ngebagus-bagusin etika dan akhlak ketika nyapres. Mari kita mulai dari Anies, setelah dikenal sebagai akademisi yang berhasil mulai dari menjadi Rektor Universitas Paramadina dan mendirikan Indonesia Mengajar, sebagai kader HMI yang sudah terdidik mentalitas Yakusa (Yakin Usaha Sampai) secara politik mudah saja membawanya ke wilayah kekuasaaan. 2014 saatnpasangan Jokowi-JK menyalonkan Presiden, Anies tampil Juru Bicara Pemenangan Pemilihan Presiden. Tidak heran bukan kepiawaian bicaranya mampu menembus alam pikiran pendengarnya dengan baik dan dari situ juga beliau m...