“Aku cuma khawatir, Nis. Mas Dika itu udah nggak pernah ikut pengajian, postingannya soal agama juga makin aneh. Dia ngajarin anak-anakmu pluralisme, feminisme, bahkan nulis status soal ‘Tuhan tak butuh dibela’. Apa kamu yakin rumah tangga kamu aman?”
Kalimat itu meletup dari mulut Sinta, mantan ketua halaqoh kampus, saat mampir ke rumah Nisa, hari Sabtu siang yang awalnya tenang. Dari ruang kerja, Dika mendengarnya tanpa sengaja. Laptopnya terbuka, anak bungsunya tidur di pangkuan, dan kertas tagihan sekolah baru saja selesai ia lunasi.
Sudah bukan pertama kali. Komentar seperti itu sudah akrab mampir lewat WA, DM, dan mulut-mulut teman lama yang katanya "sayang" padanya. Tapi kali ini agak keterlaluan. Sinta langsung menuding rumah tangga Nisa retak cuma karena ideologi suaminya tak lagi satu arah dengan komunitas lamanya.
“Aku tahu kamu dulunya ketua BEM syar’i. Tapi sekarang, aku lihat suamimu... terlalu liar.”
Nisa mengangkat alis. “Liar? Maksudmu, karena dia nggak lagi ikut halaqoh dan ngajarin anakku berpikir kritis?”
Dika masuk ke ruang tamu dengan ekspresi tenang. “Mbak Sinta, aku tahu niatmu baik. Tapi rumah tangga bukan lomba siapa paling taat. Kita bukan sedang membangun kerajaan surga, kita sedang bertahan hidup dan membesarkan anak.”
Sinta tersenyum kaku. “Maaf, ya. Aku cuma prihatin.”
“Prihatinlah pada mereka yang shalatnya lengkap tapi lupa menafkahi. Aku cuci piring, bangun anak, bayarin sekolah. Nggak sempurna, tapi aku hadir,” jawab Dika.
Malamnya, Dika duduk di teras, sambil menggulir Twitter dan membaca ulang kutipan seorang Relationship Coach:
“Menikahi seseorang bukan berarti menyeragamkan isi kepala. Hubungan dewasa tak butuh dominasi ideologi, tapi saling menghormati perbedaan dan tumbuh bersama.”
Ia menyeruput kopinya. Di sebelahnya, Nisa menyenderkan kepala di bahunya.
“Gimana? Katanya aku liberal,” gumam Dika.
“Liberal boleh, asal jangan pelit,” jawab Nisa, tertawa kecil.
Dan malam itu, mereka bicara soal hidup. Bukan soal surga atau neraka, tapi soal bagaimana anak-anak mereka bisa tumbuh dengan ayah yang hadir dan ibu yang tenang—meski banyak yang tak paham, bahkan memfitnah.
Karena kadang, yang paling Islami bukan yang paling sering ceramah. Tapi yang paling banyak mencuci piring.
Komentar
Posting Komentar