“Aku tuh heran, kenapa yang naik jabatan malah si Fadli?” Tebe nyeletuk sambil duduk di bangku kayu dekat garasi pabrik, bekas tempat naruh helm yang sekarang berubah jadi kursi curhat karyawan transportasi.
Bowo, sopir paling senior di divisi itu, nyengir sambil ngelap spion truk boks. “Karena dia rajin, Be. Rajin nempel sama bos.”
“Ya itu maksudku!” balas Tebe cepat. “Kita yang kerja bener, dateng pagi, pulang sore, ngurus surat jalan, malah nggak keangkat. Dia yang sering ngilang, malah naik gaji. Dunia kerja tuh emang dunia tipu-tipu.”
Mesin truk meraung, tapi suara hati Tebe lebih bising. Ia bukan iri, katanya dalam hati. Cuma... kenapa rasanya perut mules tiap lihat Fadli ngopi sambil senyum-senyum di ruang HR?
“Be, ridho itu bukan soal rela orang lain senang, tapi paham bahwa rezeki tiap orang udah punya jalurnya masing-masing,” Bowo akhirnya angkat bicara sambil jongkok ngiket tali sepatunya.
Tebe diam. Rasa kesal mengendap kayak oli hitam di genangan belakang pabrik.
Pas malam, sambil ngopi sachet di kontrakan, dia baca ulang buku tua warisan ayahnya: Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali. Di halaman 312 tertulis:
"Janganlah engkau iri terhadap nikmat yang diberikan Allah kepada orang lain. Karena mungkin engkau tidak mengetahui bahwa cobaan mereka lebih berat dari yang engkau sangka."
Tebe manggut pelan.
“Ya udah lah... mungkin untung dia cuma kelihatan. Tapi sialnya... bisa jadi lebih dalam dari aku.”
Dan besoknya, ia kerja lagi. Masih ngurus surat jalan, masih ngopi sachet. Tapi kali ini, sambil senyum kecil, bukan senyum kecut.
Komentar
Posting Komentar