Kita menyebutnya Tuhan. Kadang dengan huruf kapital, kadang dengan penuh rasa takut, kadang dengan cinta yang membingungkan. Tapi apakah kita benar-benar tahu siapa Dia? Atau jangan-jangan, seperti kata Feuerbach, “Tuhan adalah proyeksi ideal manusia.” Apa yang kita bayangkan sebagai sempurna, kita letakkan pada sosok tak terlihat dan menyebutnya sebagai Tuhan.
Tuhan dalam kepala kita, seringkali hanya versi besar dari ayah yang bijak atau raja yang adil—konsep yang sangat manusiawi. Nietzsche lebih keras lagi: “Tuhan telah mati,” katanya. Bukan berarti ia benar-benar tewas, tapi karena manusia telah membunuhnya lewat dogma, lewat ritual kosong yang menjauh dari pencarian makna sejati.
Simone Weil pernah berkata, “Jarak paling jauh antara manusia dan Tuhan adalah ketika manusia merasa paling dekat.” Aneh, ya? Kita sering merasa mengenal Tuhan hanya karena rajin beribadah, tapi menolak mempertanyakan-Nya. Seolah rasa ingin tahu adalah dosa.
Dekonstruksi konsep Tuhan bukan berarti menggugat keberadaan-Nya, tapi menantang kita untuk tak menerima segalanya begitu saja. Apa itu Tuhan bagi seorang anak kelaparan? Apa itu Tuhan bagi korban perang? Jika kita menyebut Tuhan Mahaadil, maka keadilan versi siapa?
Tuhan, mungkin, bukan nama yang bisa kita definisikan, tapi pengalaman yang kita alami. Ia hadir ketika kita merasa sangat hancur tapi entah kenapa tetap bisa bangkit. Mungkin benar kata Sartre: “Kita sendirilah yang memberi makna pada eksistensi.” Dan mungkin, di sanalah Tuhan tinggal—bukan di langit, tapi dalam upaya kita memahami hidup, mencintai sesama, dan menanggung derita tanpa kehilangan makna.
Jadi, siapa Tuhan itu? Mungkin jawabannya bukan untuk ditemukan, tapi untuk terus dipertanyakan.
Komentar
Posting Komentar