Sang nabi. Dia yang katanya ditunjuk langsung oleh langit. Tapi apakah ia benar-benar dipilih? Atau dia hanya manusia biasa yang punya keberanian menyuarakan yang tak mampu diucap orang kebanyakan? Jean-Paul Sartre pernah berkata, “Manusia adalah makhluk bebas yang dikutuk untuk memilih.” Mungkin, nabi adalah mereka yang memilih jalan yang tak nyaman: merobek kenyamanan, menggugat kekuasaan, menertawakan kemapanan.
Nabi bukan hanya jubah dan mukjizat. Kadang ia justru datang sebagai pengganggu. Seperti Socrates, yang disebut “lalat pengganggu Athena.” Ia tak membawa wahyu, tapi membawa pertanyaan. Dan itu sudah cukup menggelisahkan. Hannah Arendt menulis bahwa orang-orang yang membawa ide baru akan selalu dianggap mengancam. Maka, para nabi, baik yang religius maupun filosofis, sering kali dibunuh—bukan karena mereka salah, tapi karena mereka terlalu jujur.
Dan ketika sebuah sistem telah berhasil menundukkan sang nabi, ia dikultuskan. Dari pengganggu jadi patung. Dari pengacau jadi panutan. Ironisnya, ajarannya dipelintir jadi dogma. Martin Buber menyebut relasi dengan yang suci sebagai “I-Thou” — hubungan yang hidup. Tapi ajaran para nabi sering kali berubah jadi “I-It”—hubungan mati, dipaku di kitab suci dan tidak boleh diganggu.
Dekonstruksi atas figur nabi bukan berarti menistakan. Tapi justru memberi ruang untuk melihat mereka lebih jujur—bukan dari podium, tapi dari tanah. Nabi bukan malaikat. Mereka menangis, marah, ragu, bahkan takut. Justru dari sisi manusianya itu mereka jadi bisa dipercaya.
Karena mungkin, sang nabi sejatinya bukan orang yang membawa jawaban dari langit. Tapi yang dengan segala keberaniannya, mampu mengajukan pertanyaan yang membuat kita bertanya ulang pada hidup kita sendiri.
Komentar
Posting Komentar