Tahun 1832.
Asap masih belum hilang dari reruntuhan Kaibon, istana megah yang dulu jadi kebanggaan Banten. Batu-batunya masih hangat, seperti menyimpan murka. Tak ada denting gamelan, tak ada suara dayang berbisik. Hanya desir angin dan langkah sepatu Belanda yang membelah puing-puing sejarah.
Letnan van der Graaf berdiri mematung di depan sisa pilar Kaibon, tangan kirinya memegang sketsa istana yang kini tak berarti. “Tak ada kerajaan yang lebih besar dari pemerintah Hindia-Belanda,” ucapnya dingin, seolah membekukan waktu.
Di balik reruntuhan, seorang pemuda Banten, Ra’i, mengintip. Napasnya pendek. Dadanya penuh amarah. Ia menyaksikan sendiri Kaibon dibakar, tempat ibunya dulu bekerja sebagai pelayan sultanah. Matanya menatap jauh ke arah benteng yang porak-poranda—Benteng Speelwijk. Tempat pertahanan terakhir, kini hanya rangka besi tua dan dinding jebol. Dihancurkan bukan oleh musuh asing, tapi oleh tipu daya dagang, manipulasi politik, dan perpecahan bangsawan sendiri.
Runtuhnya Banten bukan cuma soal arsitektur yang hancur. Tapi lenyapnya otoritas, hilangnya kearifan lokal, dan matinya nalar perlawanan. Sultan-sultan terakhir lebih sibuk bersaing soal warisan daripada merancang strategi pertahanan. Pedagang Cina, Arab, dan Jawa beralih ke Batavia. Banten tinggal nama di peta yang disusun dari meja Bundar VOC.
Kaibon hanyalah simbol. Yang sesungguhnya hancur adalah harga diri.
Ra’i mengepalkan tangan. Ia tahu, tak mungkin membangkitkan kembali Kaibon atau benteng tua itu. Tapi ia bersumpah satu hal: sejarah tak boleh dilupakan. Karena jika sejarah dikubur, maka bangsa akan berdiri di atas tulang belulang kebodohan yang sama.
Dan di senja itu, di antara puing, seorang anak muda menulis ulang cerita Banten. Bukan dengan tinta kerajaan. Tapi dengan darah kenangan.
Komentar
Posting Komentar