“Woy, Heru! Masih inget nggak, dulu kamu paling takut sama Bu Nurul, sampe ngompol di kelas?”
Tawa pecah di teras rumah tua yang dulu jadi basecamp kami. Heru hanya nyengir. Sisa rambutnya mulai memutih, perutnya tak lagi ramping, dan geraknya sudah lambat. Tapi buat kami, Heru masih anak SMA yang suka nyontek PR Matematika dan jago main kelereng.
Aku, Roni, dan Iqbal masih manggil dia “Heru kecil” walaupun sekarang dia punya tiga anak dan satu ginjal yang udah nggak berfungsi penuh. Dulu, dia paling cerewet, sekarang lebih banyak diam. Dulu, dia paling ngocol, sekarang sering lupa nama temen sekelas.
“Aku tuh kadang ngerasa, kalian semua nggak pernah tua,” kata Heru pelan, matanya menerawang.
“Ya karena kita udah tua bareng,” jawabku. “Tapi di kepala ini, kalian semua masih bocah. Masih pakai celana SMP, masih naik sepeda ke sekolah, masih rebutan jajan cilok di warung Mbah Salim.”
Semua diam sejenak. Ada jeda yang menggantung antara nostalgia dan kenyataan. Seringkali, waktu nggak terasa berjalan cepat kalau kita sibuk menyimpan memori. Kita kira semua masih sama—padahal raga dan jiwa sudah bertransformasi tanpa kita sadari.
“Gue pikir kalian masih kayak dulu,” gumam Heru. “Tapi ternyata kita semua udah berubah ya... bahkan gue sendiri udah nggak tau lagi siapa gue sekarang.”
Aku menepuk pundaknya pelan.
“Kadang kita butuh lihat diri kita lewat mata teman lama, biar ingat kalau hidup terus berubah, tapi kenangan dan persahabatan itu tetap tinggal di sana—di tempat yang nggak pernah pergi. Mungkin itulah yang bikin kita kuat, meski dunia udah banyak berubah.”
Dan senja itu, di teras tua itu, kami merasa masih muda—walau sendi tak lagi sekuat dulu.
Komentar
Posting Komentar