Ketika Nabi Muhammad wafat pada tahun 632 Masehi, bukan hanya rasa duka yang menyelimuti para sahabat dan umat Muslim, tapi juga ketidakpastian. Nabi tidak meninggalkan wasiat politik formal tentang siapa yang akan melanjutkan kepemimpinan umat. Dari sinilah konflik dimulai. Bukan karena para sahabat tidak mencintai Nabi atau tidak taat kepada agama, tapi karena mereka adalah manusia dengan pemikiran, pengalaman, dan kepentingan yang berbeda.
Di Saqifah Bani Sa'idah, hanya beberapa jam setelah Nabi dimakamkan, para sahabat dari kaum Muhajirin dan Anshar berdebat tentang siapa yang pantas menjadi pemimpin. Abu Bakar akhirnya terpilih sebagai khalifah pertama. Tapi proses itu tidak berjalan tanpa protes. Beberapa sahabat, termasuk Ali bin Abi Thalib, merasa keputusan itu terlalu tergesa dan tidak melibatkan semua pihak.
Perbedaan itu makin dalam setelah Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar bin Khattab, lalu Utsman bin Affan, dan kemudian Ali bin Abi Thalib. Di masa Ali, pecahlah Perang Jamal dan Perang Shiffin. Bayangkan: para sahabat yang pernah bersama Nabi, yang mendengarkan langsung sabdanya, kini saling angkat senjata. Aisyah, istri Nabi, ikut dalam Perang Jamal melawan pasukan Ali. Muawiyah bin Abu Sufyan menolak membaiat Ali dan membentuk kekuatan oposisi yang berujung pada Perang Shiffin.
Gaya hidup gurun yang keras, nilai-nilai kabilah yang masih kuat, serta perubahan cepat dari komunitas kecil menjadi kekuatan imperium menjadikan konflik ini nyaris tak terhindarkan. Islam belum punya sistem baku untuk suksesi kepemimpinan. Setiap kelompok merasa punya alasan sah untuk memperjuangkan posisinya.
Tragisnya, konflik ini tidak berhenti pada perbedaan politik semata. Ia berubah menjadi pertumpahan darah. Tokoh-tokoh besar seperti Ali bin Abi Thalib dan cucu Nabi, Husain bin Ali, terbunuh dalam konflik yang akarnya bisa ditelusuri ke masa-masa awal setelah wafatnya Nabi.
Lalu bagaimana kita harus memandang ini? Apakah ini bukti bahwa para sahabat munafik atau gagal? Tidak sesederhana itu. Mereka tetaplah manusia. Mereka hidup dalam transisi besar dari zaman kenabian ke zaman politik kekuasaan. Nabi adalah pemimpin spiritual, moral, dan politik yang tak tergantikan. Ketika ia wafat, umat harus mencari cara sendiri untuk tetap bertahan dan berkembang.
Dalam refleksi yang jujur, kita perlu mengakui bahwa sejarah Islam tidak hanya dipenuhi kisah heroik. Ada luka, konflik, dan pengkhianatan. Dan semua itu penting untuk dipelajari, bukan untuk menyalahkan, tapi untuk memahami bahwa kebenaran tidak selalu hitam putih.
Konflik para sahabat mengajarkan bahwa iman dan politik tidak selalu sejalan mulus. Ketaatan kepada Tuhan bisa tetap tulus, sementara cara mewujudkan visi itu bisa berbeda-beda. Ini adalah pengingat bahwa manusia bisa setia sekaligus salah arah. Bisa cinta Nabi, tapi tetap berselisih dengan sesama pengikut Nabi.
Seperti kata Ali bin Abi Thalib, "Kebenaran tidak diukur dari orangnya, tapi ukurlah orang dari kebenarannya." Esai ini tidak untuk menghakimi, tapi untuk membuka ruang bahwa sejarah Islam bukanlah cerita ideal yang sempurna. Ia adalah cermin dari realitas manusia yang rumit.
Dan mungkin, yang paling menyakitkan justru karena yang saling berselisih adalah mereka yang dulunya duduk berdampingan dengan sang Nabi. Tapi justru dari sinilah kita belajar: agama yang besar bukan yang lahir dari kesepakatan sempurna, melainkan dari kemampuan mengelola perbedaan dengan tetap memegang nilai.
Hari ini, ketika kita melihat umat Islam masih terpecah karena perbedaan mazhab, pandangan politik, atau bahkan sekadar cara ibadah, ingatlah bahwa perpecahan itu punya akar sejarah. Tapi juga punya peluang untuk dipelajari dan dicarikan jalan tengahnya.
Konflik para sahabat adalah babak penting dalam sejarah Islam. Penuh luka, tapi juga penuh pelajaran. Dan seperti luka lainnya, kita tidak perlu menutupinya rapat-rapat. Kita cukup merawatnya, agar tak bernanah dan jadi penyakit di masa depan.
Komentar
Posting Komentar