Hari libur kerja itu kayak oase di tengah gurun kesibukan. Setelah lima atau enam hari berkutat dengan target, rapat, tekanan deadline, dan segala keruwetan dunia kerja, satu-dua hari libur bisa jadi penyelamat kewarasan. Libur itu bukan cuma soal nggak masuk kerja, tapi momen buat ngereset ulang kepala dan badan yang udah mulai aus.
Bagi banyak pekerja, libur adalah kesempatan buat "jadi manusia lagi". Bukan robot yang harus standby dari pagi sampai sore, tapi seseorang yang bisa bangun tanpa alarm, duduk lama tanpa merasa bersalah, dan tertawa bersama teman atau keluarga tanpa dihantui notifikasi kerja. Libur juga jadi waktu paling ideal buat me time. Entah itu nonton film favorit, baca buku, ngopi sambil melamun, atau sekadar tidur sepuasnya. Psikolog organisasi, Sabine Sonnentag, pernah bilang bahwa hari libur penting untuk memulihkan energi dan mencegah burnout. Tanpa jeda yang cukup, performa kerja justru bisa turun dan stres jadi menumpuk.
Dalam narasi hidup modern yang serba cepat, hari libur adalah momen untuk melambat. Buat sebagian orang, hari libur mungkin terasa terlalu singkat, tapi justru di situlah nilainya—mengingatkan bahwa hidup bukan cuma soal produktivitas, tapi juga soal menikmati waktu. Refleksi kecil, ngobrol santai, dan istirahat cukup bisa jadi sumber energi yang bikin kita siap menghadapi minggu berikutnya.
Jadi, kalau libur datang, rayakan secukupnya. Bukan untuk kabur dari hidup, tapi buat kembali ke hidup dengan cara yang lebih waras.
Komentar
Posting Komentar