Hantu itu menarik. Bukan karena bentuknya—yang kadang absurd kayak pocong nyangkut pagar atau kuntilanak di kamar mandi—tapi karena eksistensinya lebih sering muncul di pikiran daripada di kenyataan. Dalam psikologi, hantu bisa dibilang bukan makhluk, tapi proyeksi. Proyeksi dari ketakutan, trauma, dan keyakinan kolektif yang diwariskan turun-temurun.
Carl Jung pernah menyebut tentang collective unconscious—pikiran bawah sadar bersama yang dimiliki semua manusia. Dari situlah simbol-simbol muncul, termasuk gambaran tentang makhluk halus. Kita diajari sejak kecil bahwa hantu itu ada. Kita dengar cerita dari orang tua, nonton film horor, atau lihat berita mistis. Lama-lama, otak kita membuat pola: tempat gelap = serem = ada hantu. Padahal belum tentu.
Psikolog Richard Wiseman dalam penelitiannya menyebut bahwa pengalaman melihat hantu seringkali muncul dari sugesti kuat, tekanan emosional, atau bahkan faktor lingkungan seperti suara frekuensi rendah (infrasound) yang bikin otak kita merasa "ada sesuatu". Sementara Christopher French, ahli psikologi anomali dari Goldsmiths, University of London, bilang bahwa penampakan hantu bisa dijelaskan lewat ilusi optik, gangguan tidur (seperti sleep paralysis), hingga efek zat kimia di otak.
Artinya, hantu lebih banyak "hidup" di pikiran kita. Bukan berarti semua orang halu, tapi keyakinan yang terus-menerus dibentuk bisa menciptakan “realitas” sendiri. Jadi, hantu mungkin bukan makhluk dari alam lain, tapi dari imajinasi kolektif kita sendiri yang begitu kuat, sampai terasa nyata. Dan kadang, ketakutan itu justru lebih serem daripada hantunya.
Komentar
Posting Komentar