“Apa kamu sudah menemukan yang paling benar?” tanya Wawan sambil menyeruput kopinya.
Aku terdiam. Sudah seminggu ini aku sibuk membaca, menonton ceramah, dan bertanya ke sana kemari. Tapi semakin banyak yang kudengar, semakin bingung aku dibuatnya.
"Ahlussunnah wal Jamaah yang paling benar!" kata seorang ustadz di YouTube.
"Tidak! Kembali ke Quran dan Sunnah tanpa bid’ah, itulah yang benar!" sergah yang lain.
"Kalian semua sesat! Yang benar cuma kami!" suara seorang dai garis keras memenuhi pikiranku.
Aku mengacak rambut. "Kenapa semuanya merasa paling benar, ya?" gumamku.
Wawan terkekeh. “Gus Dur pernah bilang, ‘Agama itu bukan untuk saling menyalahkan, tapi untuk saling memahami.’”
Aku mendongak. “Jadi?”
“Jadi, ya sudah, ibadah saja yang benar. Kalau ujungnya cuma debat tanpa akhlak, buat apa?” Wawan mengangkat bahu.
Aku menghela napas panjang. Dalam pencarianku, aku terlalu sibuk bertanya siapa yang paling benar, sampai lupa bertanya: apakah aku sudah berbuat baik? Apakah aku sudah menjalani agama dengan hati yang damai?
Mungkin, kebenaran bukan soal aliran mana yang paling benar. Mungkin, seperti kata Quraish Shihab, “Islam bukan hanya satu warna, tapi taman dengan berbagai bunga.” Dan aku tidak perlu mencabut bunga lain hanya untuk merasa bunga yang kupilih adalah yang terbaik.
Aku tersenyum. “Jadi, yang paling benar itu…”
“Yang membawa hatimu lebih dekat pada Tuhan, tanpa membuatmu membenci manusia.” Wawan menepuk bahuku.
Aku tertawa kecil. Mungkin pencarianku tidak perlu lagi diteruskan.
Komentar
Posting Komentar