Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Psikologi

Sampah Emosi dalam Konseling

Dalam dunia konseling, mendengarkan itu adalah inti. Seorang konselor, psikolog, atau terapis bekerja bukan untuk sekadar memberi solusi, tapi hadir—menjadi ruang aman bagi klien untuk bercerita, melepaskan beban, mengurai luka. Tapi di balik peran mulia itu, ada kenyataan yang nggak banyak dibahas: apa kabar hati dan pikiran si pendengar? Saat mendengarkan curhat klien yang penuh trauma, kemarahan, dosa, hingga kisah pengkhianatan—mau tak mau, konselor menyerap emosi-emosi itu. Ini yang disebut dengan istilah emotional residue atau compassion fatigue. Dalam jangka panjang, pendengar bisa kelelahan, kebawa suasana, bahkan terpengaruh secara emosional. Sama seperti orang yang kebanyakan nyium bau sampah, lama-lama ikut bau. Sigmund Freud pernah melakukan pendekatan unik: ia duduk membelakangi klien saat sesi konseling. Tujuannya bukan untuk tidak sopan, tapi untuk menjaga jarak dari ekspresi wajah, emosi, dan cerita personal klien agar tidak mengganggu dirinya secara pribadi. Freud sada...

Kalau Belum Bisa Let It Go, Cobain Let It Be dulu deh

Kita sering dikejar-kejar kata “let it go.” Disuruh cepat move on, disuruh melepaskan yang bikin sakit, diminta melupakan yang menyakitkan. Tapi kenyataannya, nggak semua hal bisa langsung kita lepas begitu aja. Ada luka yang masih hangat, ada rindu yang masih mengendap, dan ada kenangan yang menolak pergi. Di titik inilah kita bisa memilih satu sikap sederhana: let it be. Membiarkan bukan berarti menyerah. Let it be itu bentuk penerimaan bahwa belum semua hal harus selesai sekarang juga. Kadang kita butuh waktu untuk paham kenapa kita sedih, marah, atau kecewa. Haemin Sunim pernah bilang, “Tidak apa-apa jika kamu belum bisa melepaskan. Duduklah bersama rasa itu. Dengarkan ia.” Karena rasa yang belum selesai, tak bisa dipaksa selesai. Najwa Zebian juga menulis bahwa perasaan itu bukan untuk disapu bersih, tapi untuk dipeluk sampai reda. Jadi kalau belum sanggup let it go, biarkan dulu ia ada. Let it be. Biarkan ia hadir, kita amati, kita pahami. Sampai suatu hari, ketika hati sudah cuk...

Bagian Diri yang Tidak Bisa Dikendalikan

Pernah nggak, kamu tiba-tiba marah banget padahal sebelumnya baik-baik aja? Atau nangis sesenggukan hanya karena komentar kecil dari orang lain? Nah, itu bisa jadi karena salah satu bagian dirimu—yang disebut ego state—muncul ke permukaan dan mengambil alih. Dalam teori Transactional Analysis oleh Eric Berne, ego state adalah kondisi psikologis kita yang terbagi dalam tiga bagian utama: Parent (orangtua), Adult (dewasa), dan Child (anak-anak). Tapi makin ke sini, konsep ini berkembang. Banyak psikolog sepakat bahwa diri kita terdiri dari banyak sub-personality—ada “aku yang marah,” “aku yang benci,” “aku yang takut,” sampai “aku yang penurut.” Semua ini bisa muncul bergantian tergantung situasi dan kondisi. Misalnya, saat seseorang mengkritikmu, bisa jadi bagian “aku yang pernah disalahkan waktu kecil” langsung aktif dan bikin kamu defensif atau marah besar. Yang repot, bagian ini kadang muncul secara otomatis tanpa kamu sadari. Itulah kenapa disebut uncontrolled ego state—bagian diri ...

Belanja Karena Emosi, Bukan Kebutuhan

Kadang kita ke minimarket cuma niat beli sabun, eh pulangnya bawa keranjang isi snack, minuman kekinian, sampai lilin aromaterapi. Fenomena ini bukan kebetulan, tapi salah satu bentuk emotional spending — keputusan belanja yang lebih banyak dipicu perasaan daripada kebutuhan riil. Kita belanja bukan karena butuh, tapi karena “pengin” atau merasa “pantas dapet hadiah” setelah hari yang melelahkan. Ekonom sekaligus penulis buku “The Psychology of Money”, Morgan Housel, menyebut bahwa uang bukan hanya soal angka, tapi soal emosi dan perilaku. Banyak keputusan finansial buruk bukan karena kurangnya ilmu, tapi karena ketidakmampuan mengelola emosi. Ketika sedih, stres, atau bahkan terlalu bahagia, otak kita cenderung melemah dalam pengambilan keputusan rasional. Akibatnya, belanja jadi pelampiasan, bukan pemenuhan. Daniel Kahneman, peraih Nobel Ekonomi, dalam Thinking, Fast and Slow, menjelaskan bahwa otak punya dua sistem: cepat (emosional) dan lambat (rasional). Saat belanja impulsif, yan...

Latihan Mengamati Pikiran untuk Lepas dari Gangguan Kecemasan

Kecemasan itu sering datang tiba-tiba, seolah nggak ada angin, nggak ada hujan, tapi jantung mendadak deg-degan, pikiran kemana-mana. Rasanya seperti dikejar sesuatu, padahal kita lagi duduk diam. Salah satu cara sederhana tapi sering diremehkan untuk meredakannya adalah: mengamati pikiran. Mengamati pikiran bukan berarti menolak atau mengusirnya. Tapi duduk tenang, lalu melihat pikiran itu seperti awan yang lewat. Kita jadi penonton, bukan pemain. Psikolog seperti Jon Kabat-Zinn menyebut ini sebagai mindfulness, yaitu hadir utuh di momen sekarang tanpa menghakimi. Dan ternyata, ini ampuh untuk gangguan kecemasan, karena kita diajak berhenti bereaksi dan mulai menyadari. Osho, lewat meditasi aktifnya, bilang: "Jangan perangi pikiranmu. Biarkan mereka lewat. Duduk saja dan saksikan. Dalam pengamatan itu, muncul kebebasan." Kita diajak untuk tidak melawan pikiran, tapi berdamai dengannya. Masalahnya, kebanyakan dari kita terlalu sibuk terlibat dalam isi pikiran. Kita percaya ba...

Inner Child, Luka di Masa Kecil yang Terbawa saat Dewasa

Nggak semua luka kelihatan bentuknya. Kadang, yang paling dalam justru nggak berdarah, tapi membekas di dalam hati sejak kecil. Luka batin di masa kecil — entah karena dimarahi tanpa alasan, dibanding-bandingkan, diabaikan, atau dituntut sempurna — seringnya nggak selesai di masa itu. Ia ikut tumbuh, diam-diam, dan tiba-tiba muncul lagi saat kita dewasa. Inner child adalah bagian dari diri kita yang membawa emosi, pengalaman, dan persepsi masa kecil. Psikolog dan praktisi parenting seperti Najelaa Shihab dan Seto Mulyadi (Kak Seto) pernah bilang, masa kanak-kanak adalah fondasi utama karakter dan mentalitas seseorang. Kalau masa itu penuh luka dan nggak pernah diakui atau disembuhkan, maka di masa dewasa kita mudah merasa overthinking, sulit percaya orang lain, atau gampang marah tanpa tahu kenapa. Contohnya, orang yang dulu sering dimarahi karena menangis bisa tumbuh jadi orang dewasa yang menahan-nahan perasaan dan merasa bersalah saat sedih. Atau yang dulu sering dibandingkan, sekar...

Psikologi Uang

Uang itu nggak cuma soal berapa banyak yang kamu punya, tapi gimana cara kamu memandang dan mengelolanya. Itulah intinya dari buku The Psychology of Money karya Morgan Housel. Lewat kumpulan esai pendek, Housel menjelaskan bahwa keputusan kita soal uang lebih banyak dipengaruhi oleh emosi, pengalaman pribadi, dan cara kita melihat dunia—bukan rumus ekonomi atau teori investasi yang rumit. Misalnya, dua orang dengan pendapatan sama bisa punya kondisi keuangan yang sangat berbeda. Kenapa? Karena cara mereka memperlakukan uang berbeda. Ada yang boros demi gengsi, ada yang hemat karena trauma masa kecil. Housel bilang, kita semua punya "latar belakang finansial" yang membentuk perilaku kita hari ini. Maka nggak adil membandingkan diri kita dengan orang lain yang punya cerita hidup berbeda. Kebiasaan finansial yang sehat bukan soal jadi kaya raya, tapi soal bisa bertahan. “Survival > success,” tulis Housel. Itu kenapa dia menekankan pentingnya safety margin dalam keuangan: puny...

Psikologi Hantu

Hantu itu menarik. Bukan karena bentuknya—yang kadang absurd kayak pocong nyangkut pagar atau kuntilanak di kamar mandi—tapi karena eksistensinya lebih sering muncul di pikiran daripada di kenyataan. Dalam psikologi, hantu bisa dibilang bukan makhluk, tapi proyeksi. Proyeksi dari ketakutan, trauma, dan keyakinan kolektif yang diwariskan turun-temurun. Carl Jung pernah menyebut tentang collective unconscious—pikiran bawah sadar bersama yang dimiliki semua manusia. Dari situlah simbol-simbol muncul, termasuk gambaran tentang makhluk halus. Kita diajari sejak kecil bahwa hantu itu ada. Kita dengar cerita dari orang tua, nonton film horor, atau lihat berita mistis. Lama-lama, otak kita membuat pola: tempat gelap = serem = ada hantu. Padahal belum tentu. Psikolog Richard Wiseman dalam penelitiannya menyebut bahwa pengalaman melihat hantu seringkali muncul dari sugesti kuat, tekanan emosional, atau bahkan faktor lingkungan seperti suara frekuensi rendah (infrasound) yang bikin otak kita mera...

Psikologi Hari Libur Kerja

Hari libur kerja itu kayak oase di tengah gurun kesibukan. Setelah lima atau enam hari berkutat dengan target, rapat, tekanan deadline, dan segala keruwetan dunia kerja, satu-dua hari libur bisa jadi penyelamat kewarasan. Libur itu bukan cuma soal nggak masuk kerja, tapi momen buat ngereset ulang kepala dan badan yang udah mulai aus. Bagi banyak pekerja, libur adalah kesempatan buat "jadi manusia lagi". Bukan robot yang harus standby dari pagi sampai sore, tapi seseorang yang bisa bangun tanpa alarm, duduk lama tanpa merasa bersalah, dan tertawa bersama teman atau keluarga tanpa dihantui notifikasi kerja. Libur juga jadi waktu paling ideal buat me time. Entah itu nonton film favorit, baca buku, ngopi sambil melamun, atau sekadar tidur sepuasnya. Psikolog organisasi, Sabine Sonnentag, pernah bilang bahwa hari libur penting untuk memulihkan energi dan mencegah burnout. Tanpa jeda yang cukup, performa kerja justru bisa turun dan stres jadi menumpuk. Dalam narasi hidup modern yan...

Menamai Emosi, Menenangkan Diri

Terkadang kita marah, tapi bilang ke orang lain: “Enggak apa-apa kok.” Padahal hati panas, kepala penuh omelan dalam hati. Di situlah sering masalah dimulai: kita nggak kenal benar apa yang sedang kita rasakan. Nah, ternyata dalam dunia psikologi, ada satu teknik sederhana tapi berdampak besar: melabelkan emosi. Cukup dengan menyebut perasaan yang muncul dengan jujur — “aku sedang marah,” “aku merasa kesepian,” atau “aku takut gagal.” Teknik ini dipakai di banyak terapi modern, seperti Mindfulness-Based Therapy, ACT, dan DBT. Tujuannya bukan buat menghakimi atau menolak emosi, tapi menyadari dan menerima bahwa emosi itu hadir. Begitu kita menyebut nama emosi dengan sadar, otak bagian amigdala yang biasanya bikin kita reaktif, perlahan jadi tenang. Otak rasional jadi lebih aktif. Kita jadi bisa memilih merespons dengan kepala dingin, bukan meledak atau memendam. Misalnya, saat rasa cemas datang menjelang presentasi, daripada mengabaikannya, coba katakan dalam hati: “Aku sedang cemas sek...

Sadar Realitas

Realitas adalah apa yang kita alami saat ini; detik yang nyata dan terasa di depan mata. Namun, manusia sering kali absen dari momen tersebut. Pikiran kita melayang ke masa lalu yang penuh penyesalan atau ke masa depan yang penuh kekhawatiran. Akibatnya, kita tidak benar-benar hadir dalam hidup yang sedang terjadi. Ketika makan, sering kali kita terjebak memikirkan tugas yang belum selesai. Saat bersama teman, pikiran malah sibuk mengurai masalah yang belum tentu penting. Akhirnya, momen-momen berharga berlalu tanpa kita nikmati. Kita sering terjebak dalam kebiasaan overthinking, menciptakan kesulitan yang sebenarnya tidak ada. Narasi kehidupan yang kita bangun sering kali terlalu rumit. Kita lupa bahwa hidup, pada dasarnya, adalah serangkaian momen sederhana. Ketenangan tidak berasal dari menyelesaikan semua masalah, tetapi dari kemampuan untuk benar-benar hadir di saat ini. Dengan melambat dan fokus pada momen sekarang, kita dapat melihat keindahan yang ada di sekitar: rasa makanan, ...

Bayang-Bayang Ketakutan

Takut adalah bayangan yang seringkali lebih besar dari kenyataan. Ia lahir dari ketidaktahuan, membayangi pikiran kita dengan kemungkinan-kemungkinan yang bahkan belum terjadi. Kita hidup di bawah bayang-bayang rasa takut: takut gagal, takut kehilangan, takut menghadapi hal-hal yang tidak kita mengerti. Namun, sesungguhnya, ketakutan itu sendiri tidak nyata. Ia hanya ilusi yang dipelihara oleh pikiran kita yang terlalu terbiasa dengan ketidakpastian. Bayangkan saat kamu kecil, takut pada kegelapan. Dalam gelap, bayangan menjadi monster, suara kecil menjadi ancaman. Tapi, saat lampu dinyalakan, kamu menyadari bahwa tidak ada apa-apa. Gelap itu netral; ketakutanmu adalah proyeksi dari pikiranmu. Begitu pula hidup. Ketika kamu mulai memahami apa yang membuatmu takut, kamu akan menyadari bahwa ketakutan itu hanyalah refleksi dari ketidaktahuanmu. Namun, memahami tidak mudah. Ini bukan soal menemukan jawaban instan, tapi soal keberanian untuk melihat ketakutanmu dari dekat, mempelajarinya t...

Luka itu Valid dan Fokuslah untuk Sembuh

Ketika seseorang melukai kita, sering kali kita sibuk mencari tahu mengapa itu terjadi. Kita ingin penjelasan, alasan, atau mungkin rasa keadilan. Namun, pada kenyataannya, alasan di balik perbuatan mereka tidak lebih penting daripada kenyataan bahwa kita terluka. Dalam proses mencari alasan, kita bisa tersesat di lautan pertanyaan yang tak berujung, menyelam dalam kekhawatiran yang dalam hingga sulit untuk naik ke permukaan. Pernahkah kamu merasakan betapa melelahkannya mengulang kejadian itu dalam pikiran, berharap menemukan makna atau sebab yang bisa membuat rasa sakit terasa lebih masuk akal? Namun, meskipun kita terus mencari, jawabannya tidak pernah muncul dengan jelas. Semua hanya meninggalkan kita dalam kondisi lelah dan semakin terluka. Mirip seperti berusaha mencari sebutir debu di tengah samudera luas, pencarian itu tidak akan membawa kita ke mana-mana. Lebih baik kita berhenti mencari alasan dan mulai fokus pada penyembuhan. Menerima bahwa kita terluka bukanlah tanda kelema...

Kedamaian Apa yang Kamu Cari?

Kita sering mendambakan kedamaian pikiran. Rasanya wajar saat kita berpikir, "Saya harus lebih tenang, lebih damai." Tapi, pernahkah kita mempertanyakan ini: Bisakah pikiran benar-benar damai? Pikiran bisa mencoba menciptakan kedamaian, bahkan memaksakan diri untuk tenang, tetapi apakah itu berarti pikiran itu sendiri damai? Jika dipikirkan lebih dalam, pikiran pada dasarnya selalu sibuk. Ia terus bergerak, meloncat dari satu hal ke hal lain, merencanakan masa depan, menyesali masa lalu, atau khawatir tentang apa yang sedang terjadi. Bahkan ketika kita berusaha mencapai kedamaian, pikiran sibuk menciptakan strategi untuk “menjadi” tenang. Ironisnya, usaha untuk menjadi damai itu sendiri adalah bentuk kegelisahan. Ketenangan yang kita cari-cari sebenarnya tidak bisa dihasilkan oleh pikiran, karena pikiran itu sendiri adalah sumber kegelisahan. Jadi, pertanyaannya bukan tentang bagaimana membuat pikiran menjadi damai, melainkan menyadari sifat gelisah dari pikiran itu sendiri. ...

Melihat Keinginan dari Jauh

Pernah merasa keinginan terus mengejar kamu? Ki Ageng Suryamentaram punya trik jitu buat ngatasin itu: nyawang karep. Apa sih nyawang karep? Sederhananya, ini tentang memberi jarak pada keinginan kita. Bayangin keinginanmu seperti bola yang berlari ke arahmu. Alih-alih mengejarnya, coba berdiri dan amati dari jauh. Menurut Ki Ageng, keinginan itu sering bikin kita gak bisa mikir jernih. Dengan nyawang karep, kita diajak buat jadi penonton dari keinginan kita sendiri. Misalnya, pas lagi pengen banget beli gadget baru, coba tarik napas, tenangkan diri, dan lihat keinginan itu seperti kamu lihat orang lain pengen sesuatu. Apakah bener-bener penting? Atau cuma karena iklan keren? Ini bikin kita gak langsung hanyut sama nafsu. Jadi gimana caranya? Pas lagi ngerasa keinginan itu muncul, bayangin kamu lagi di atas gunung, ngelihat lembah di bawah. Lembah itu keinginanmu. Dari situ, kamu bisa lihat dengan lebih jelas tanpa terlibat langsung. Menurut Ki Ageng, “Ketika kita nyawang, kita berdiri...

Maafkan Diri Sendiri

Najwa Zebian dalam salah satu ungkapannya mengingatkan kita bahwa seringkali kita terjebak dalam kenangan yang berulang, menghakimi diri sendiri atas tindakan di masa lalu yang kini kita sadari seharusnya bisa lebih baik.  Kita menyalahkan diri sendiri atas keputusan yang pernah diambil tanpa memahami bahwa masa lalu hanyalah bagian dari proses bertahan hidup. Dengan menerima masa lalu sepenuhnya berarti melepaskan diri dari harapan tentang bagaimana seharusnya hal-hal terjadi. Kita sering kali memutar ulang kenangan yang menyakitkan, mencari-cari apa yang salah, dan berandai-andai jika kita bertindak berbeda. Namun, mengurung diri dalam penyesalan tidak akan mengubah apa yang telah terjadi. Sebaliknya, ini hanya memperpanjang penderitaan dan menghalangi kita dari kemajuan dan pertumbuhan. Najwa Zebian mendorong kita untuk melihat masa lalu sebagai bagian dari proses pembelajaran, bukan sebagai beban yang harus ditanggung selamanya. Versi masa lalu diri kita hanyalah seorang pejuan...

Bersahabat dengan Emosi

Dalam hidup, kita sering kali dihadapkan dengan emosi negatif seperti trauma, kebencian, dan kemarahan. Emosi-emosi ini bisa begitu kuat dan sulit dikendalikan. Ketika kita berusaha menekan atau melawannya, emosi tersebut justru menjadi semakin gelisah dan muncul kembali dengan lebih intens. Dalam pandangan Haemin Sunim, alih-alih melawan emosi negatif, kita perlu bersahabat dengan emosi tersebut, menyadarinya, dan membiarkannya mengalir dengan sendirinya. Emosi negatif adalah bagian dari kehidupan kita yang tak terelakkan. Ketika kita mengalami trauma atau kemarahan, kita sering merasa terjebak dalam lingkaran perasaan yang menyakitkan. Kita mencoba untuk melawan atau menekan perasaan tersebut, namun seringkali upaya ini justru membuat kita semakin tenggelam dalam emosi tersebut. "Semakin kita mencoba mengendalikannya, semakin ia menjadi gelisah dan muncul kembali," kata Haemin Sunim. Maka dari itu, penting bagi kita untuk belajar bersahabat dengan emosi kita. Salah satu car...