Beberapa waktu belakangan, saya mulai jarang update status di media sosial. Bukan karena nggak punya cerita atau hidup saya tiba-tiba datar-datar saja, tapi karena saya merasa butuh diam. Puasa, bukan dari makanan, tapi dari hasrat ingin dilihat, ingin dikomentari, ingin eksis. Ternyata, dampaknya nggak main-main. Saya jadi lebih bisa mengendalikan diri atas apa yang benar-benar perlu dibagikan ke publik, dan mana yang cukup jadi milik pribadi. Dulu, rasanya gatal banget kalau habis makan enak nggak di-story-in, kalau habis jalan-jalan nggak upload foto. Tapi sekarang, saya mulai ngerasa: nggak semua hal harus diumumkan. Ada kenikmatan tersendiri dalam menyimpan sesuatu hanya untuk diri sendiri. Seperti menyimpan surat cinta dalam laci, bukan buat dibaca orang lain, tapi biar hati ini punya ruang yang nggak bisa disentuh siapa-siapa. Puasa media sosial ini juga ngajarin saya soal privasi. Bukan sekadar menutup diri, tapi memilih dengan sadar: mana yang pantas jadi konsumsi publik, dan ...