Langsung ke konten utama

Menyambut Kematian

Kematian itu pasti, tapi tetap saja jadi hal yang paling kita hindari. Dalam bukunya Psikologi Kematian, Komaruddin Hidayat mengajak kita untuk berhenti memandang kematian sebagai momok menakutkan, dan mulai menjadikannya cermin untuk merefleksikan hidup. Ia bilang, justru karena kita sadar akan mati, maka hidup menjadi bermakna. Kalau hidup ini abadi, mungkin kita akan menunda segalanya dan tak pernah serius menjalani hari.

Komaruddin menyoroti bahwa banyak orang takut mati bukan karena kematiannya itu sendiri, tapi karena ketidaksiapan menghadapi ketidakpastian setelahnya. Kita takut belum cukup amal, takut ditinggal orang tercinta, atau malah takut dilupakan. Padahal, kematian bukanlah akhir, tapi transisi. Dalam perspektif ini, mati bukan musibah, melainkan momen peralihan menuju tahap berikutnya yang penuh misteri.

Di balik kesadaran akan kematian, manusia justru menemukan kedewasaan spiritual. Hidup jadi lebih tertata, lebih bermakna. Kita jadi berpikir ulang sebelum menyakiti orang lain, sebelum membuang waktu, sebelum mengabaikan yang penting.

Melalui pendekatan psikologi dan filsafat, Komaruddin mengajak kita berdamai dengan kematian. Ia tak menawarkan jawaban pasti tentang apa yang terjadi setelahnya, tapi justru mengajak kita menikmati “ketidaktahuan” itu sebagai ruang kontemplasi.

Akhirnya, filsafat kematian bukan tentang menunggu ajal datang, tapi tentang menyiapkan hidup dengan lebih sadar. Karena siapa pun kita, sehebat apa pun pencapaian kita—pada akhirnya, kita semua akan menuju tempat yang sama: sunyi, sederhana, dan tak membawa apa-apa selain bekal batin.


Komentar

Tulisan Populer

Apa Beda Suka, Senang, dan Cinta?

Apa beda suka, senang, dan cinta? Selama anda masih belum bisa membedakan ketiga hal itu, maka anda akan salah dalam memaknai cinta. Saya ilustrasikan dalam cerita, Anda membeli hp Android karena melihat banyak teman-teman yang memilikinya dan terlihat keren, saat itu anda berada di wilayah SUKA. Dan suka merupakan wilayah NAFSU. Ketika anda mengetahui fitur, fasilitas dan manfaat Android yang lebih hebat dibandingkan HP jenis lain, maka saat itu anda berada diwilayah SENANG. Dan senang itu tidak menentu, dapat berubah-ubah tergantung kepada MOOD. Saat BOSAN, bersiaplah untuk mengganti HP jenis baru yang lebih canggih. Jadi jelaslah bahwa, Selama ini CINTA yang kita yakini sebagai cinta baru berada dalam wilayah SUKA dan SENANG. BOHONG! Jika anda berkata, gue JATUH CINTA pada pandangan pertama. Sesungguhnya saat itu anda sedang berkata, gue NAFSU dalam pandangan pertama. Mengapa demikian? Karena cinta yang anda maknai baru sebatas SUKA. Suka dengan wajahnya yang cantik, se...

Benturan antara Idealisme dan Realitas

Sendy, sosok aktivis pergerakan mahasiswa yang idealis dan bertanggung jawab dalam memegang amanah di organisasinya. Dalam aksi, dia sering menjadi koordinator lapangan, mempimpin aksi. Mulai dari kebijakan kampus hingga kebijakan pemerintah daerah dan pusat yang tidak memihak kepada rakyat maka Sendy pasti membelanya dengan mengadakan aksi jalanan. Kata-kata yang terlontar dari mulutnya saat orasi, seolah menghipnotis yang mendengarnya, karena di bawakan dengan semangat dan mampu menggerakan massa dengan baik. Selang 6 tahun, saat ia meninggalkan kehidupan kampus dan menjadi pengusaha. Sendy menjadi opportunis dan pragmatis. Mengapa? Karena uang lah yang menjadi segalanya, dan kepentingan lah yang menjadi prioritasnya. Bukan karena lupa nya idealisme yang ia pegang selama ia jadi mahasiswa, namun semuanya berubah ketika uang berbicara. Apalagi saat ini Sendy telah berkeluarga dengan Fenny, aktivis pergerakan mahasiswi yang satu organisasi dengannya. Sendy dan Fenny memiliki 3 ora...