Kematian itu pasti, tapi tetap saja jadi hal yang paling kita hindari. Dalam bukunya Psikologi Kematian, Komaruddin Hidayat mengajak kita untuk berhenti memandang kematian sebagai momok menakutkan, dan mulai menjadikannya cermin untuk merefleksikan hidup. Ia bilang, justru karena kita sadar akan mati, maka hidup menjadi bermakna. Kalau hidup ini abadi, mungkin kita akan menunda segalanya dan tak pernah serius menjalani hari.
Komaruddin menyoroti bahwa banyak orang takut mati bukan karena kematiannya itu sendiri, tapi karena ketidaksiapan menghadapi ketidakpastian setelahnya. Kita takut belum cukup amal, takut ditinggal orang tercinta, atau malah takut dilupakan. Padahal, kematian bukanlah akhir, tapi transisi. Dalam perspektif ini, mati bukan musibah, melainkan momen peralihan menuju tahap berikutnya yang penuh misteri.
Di balik kesadaran akan kematian, manusia justru menemukan kedewasaan spiritual. Hidup jadi lebih tertata, lebih bermakna. Kita jadi berpikir ulang sebelum menyakiti orang lain, sebelum membuang waktu, sebelum mengabaikan yang penting.
Melalui pendekatan psikologi dan filsafat, Komaruddin mengajak kita berdamai dengan kematian. Ia tak menawarkan jawaban pasti tentang apa yang terjadi setelahnya, tapi justru mengajak kita menikmati “ketidaktahuan” itu sebagai ruang kontemplasi.
Akhirnya, filsafat kematian bukan tentang menunggu ajal datang, tapi tentang menyiapkan hidup dengan lebih sadar. Karena siapa pun kita, sehebat apa pun pencapaian kita—pada akhirnya, kita semua akan menuju tempat yang sama: sunyi, sederhana, dan tak membawa apa-apa selain bekal batin.
Komentar
Posting Komentar