Kalau Tuhan itu satu, kenapa nama-Nya bisa beda-beda di tiap agama? Kenapa ada yang memanggil-Nya Allah, Yahweh, Brahman, Tao, sampai Zat Yang Maha Tinggi? Pertanyaan ini nggak cuma muncul di kelas filsafat, tapi juga di hati banyak orang yang sedang mencari makna spiritualitas.
Salah satu sebabnya adalah manusia hidup dalam budaya dan konteks sejarah yang berbeda-beda. Tuhan yang dikenal di Timur Tengah tentu akan punya narasi, simbol, dan bahasa yang beda dengan Tuhan yang dikenal di India atau Tiongkok. Setiap peradaban mencoba menjelaskan yang tak bisa dijelaskan, memberi bentuk pada yang tak berbentuk. Jadilah Tuhan dalam rupa yang bisa mereka pahami—dalam mitos, kitab, puja-puji, dan ritual.
Agama muncul bukan hanya sebagai sistem kepercayaan, tapi juga sebagai cara hidup dan tatanan sosial. Setiap agama menjawab kebutuhan zamannya: memberikan harapan, menegaskan moral, dan menciptakan keteraturan. Maka tak heran jika banyak agama lahir dari pengalaman spiritual yang berbeda namun tetap menuju satu pusat: Tuhan yang tak terjangkau oleh akal.
Dalam kacamata filsafat, mungkin agama-agama ini adalah jendela berbeda menuju cahaya yang sama. Tuhan bisa disebut macam-macam karena manusia mencintai-Nya dengan cara yang beragam. Seperti yang dikatakan Karen Armstrong, “Tuhan bukanlah objek, tapi misteri.” Dan misteri itu selalu diterjemahkan dengan cara yang berbeda-beda.
Jadi, bukan soal mana yang paling benar. Tapi apakah kita cukup rendah hati untuk mengakui bahwa kebenaran bisa datang dari banyak arah. Sebab pada akhirnya, yang sejati bukan sebutannya, tapi pengalaman mengenal dan menghidupi-Nya.
Komentar
Posting Komentar