“Eh, itu Damar, kan?” gumam Tebe sambil memelototi layar ponselnya. Foto seorang pria berdasi, dengan senyum ramah di backdrop bertuliskan “Pelantikan Pejabat Eselon II”. Komentar di bawahnya seperti parade ucapan selamat.
Tebe mendesah. Tangannya berhenti menggulir. Di tangannya ada gorengan setengah dingin yang sudah tak menggugah selera. Dulu, Damar itu temannya satu kelas di SMA. Duduk paling belakang, langganan nggak bawa PR, dan kalau ujian selalu nanya, “Lu udah belajar belum, Teb?”
Sekarang? Damar jadi Kepala Dinas.
Bukan iri, sih. Tapi… ya mungkin iya, dikit. Tebe masih jadi staf administrasi kontrak di perusahaan kecil, gaji pas-pasan, anak dua, cicilan motor belum lunas. Dulu mereka ngeluh bareng soal sepatu bolong dan warteg langganan. Tapi hidup kayak punya GPS masing-masing—dan jelas punya destinasi yang beda.
Beberapa hari lalu, Tebe nekat DM Damar di Instagram. Cuma dibaca. Nggak dibalas. Waktu yang dulunya bisa bikin dua anak remaja ngobrol tentang hidup dan cinta monyet, sekarang kayak jarak antarplanet.
Tapi di tengah rasa rendah diri itu, Tebe sadar satu hal: Damar bisa jadi pejabat, tapi dia sendiri bisa jadi ayah yang tiap malam mendongeng buat anaknya, suami yang nggak pernah pulang larut, dan manusia yang masih bisa tidur nyenyak tanpa utang kehormatan.
Mungkin kita memang nggak harus sama-sama berhasil, asal kita tetap jadi orang baik di jalan kita masing-masing.
Komentar
Posting Komentar