Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Cerpen

Bayang-Bayang Kaibon Banten

Tahun 1832. Asap masih belum hilang dari reruntuhan Kaibon, istana megah yang dulu jadi kebanggaan Banten. Batu-batunya masih hangat, seperti menyimpan murka. Tak ada denting gamelan, tak ada suara dayang berbisik. Hanya desir angin dan langkah sepatu Belanda yang membelah puing-puing sejarah. Letnan van der Graaf berdiri mematung di depan sisa pilar Kaibon, tangan kirinya memegang sketsa istana yang kini tak berarti. “Tak ada kerajaan yang lebih besar dari pemerintah Hindia-Belanda,” ucapnya dingin, seolah membekukan waktu. Di balik reruntuhan, seorang pemuda Banten, Ra’i, mengintip. Napasnya pendek. Dadanya penuh amarah. Ia menyaksikan sendiri Kaibon dibakar, tempat ibunya dulu bekerja sebagai pelayan sultanah. Matanya menatap jauh ke arah benteng yang porak-poranda—Benteng Speelwijk. Tempat pertahanan terakhir, kini hanya rangka besi tua dan dinding jebol. Dihancurkan bukan oleh musuh asing, tapi oleh tipu daya dagang, manipulasi politik, dan perpecahan bangsawan sendiri. Runtuhnya ...

Teman yang Kita Dulu Sama-sama Susah

“Eh, itu Damar, kan?” gumam Tebe sambil memelototi layar ponselnya. Foto seorang pria berdasi, dengan senyum ramah di backdrop bertuliskan “Pelantikan Pejabat Eselon II”. Komentar di bawahnya seperti parade ucapan selamat. Tebe mendesah. Tangannya berhenti menggulir. Di tangannya ada gorengan setengah dingin yang sudah tak menggugah selera. Dulu, Damar itu temannya satu kelas di SMA. Duduk paling belakang, langganan nggak bawa PR, dan kalau ujian selalu nanya, “Lu udah belajar belum, Teb?” Sekarang? Damar jadi Kepala Dinas. Bukan iri, sih. Tapi… ya mungkin iya, dikit. Tebe masih jadi staf administrasi kontrak di perusahaan kecil, gaji pas-pasan, anak dua, cicilan motor belum lunas. Dulu mereka ngeluh bareng soal sepatu bolong dan warteg langganan. Tapi hidup kayak punya GPS masing-masing—dan jelas punya destinasi yang beda. Beberapa hari lalu, Tebe nekat DM Damar di Instagram. Cuma dibaca. Nggak dibalas. Waktu yang dulunya bisa bikin dua anak remaja ngobrol tentang hidup dan cinta mony...

Di Ingatanku, Kamu Masih Anak-Anak Meski Ragamu Semakin Menua

“Woy, Heru! Masih inget nggak, dulu kamu paling takut sama Bu Nurul, sampe ngompol di kelas?” Tawa pecah di teras rumah tua yang dulu jadi basecamp kami. Heru hanya nyengir. Sisa rambutnya mulai memutih, perutnya tak lagi ramping, dan geraknya sudah lambat. Tapi buat kami, Heru masih anak SMA yang suka nyontek PR Matematika dan jago main kelereng. Aku, Roni, dan Iqbal masih manggil dia “Heru kecil” walaupun sekarang dia punya tiga anak dan satu ginjal yang udah nggak berfungsi penuh. Dulu, dia paling cerewet, sekarang lebih banyak diam. Dulu, dia paling ngocol, sekarang sering lupa nama temen sekelas. “Aku tuh kadang ngerasa, kalian semua nggak pernah tua,” kata Heru pelan, matanya menerawang. “Ya karena kita udah tua bareng,” jawabku. “Tapi di kepala ini, kalian semua masih bocah. Masih pakai celana SMP, masih naik sepeda ke sekolah, masih rebutan jajan cilok di warung Mbah Salim.” Semua diam sejenak. Ada jeda yang menggantung antara nostalgia dan kenyataan. Seringkali, waktu nggak te...

Dika Bukan Lelaki Baik, Katanya

“Aku cuma khawatir, Nis. Mas Dika itu udah nggak pernah ikut pengajian, postingannya soal agama juga makin aneh. Dia ngajarin anak-anakmu pluralisme, feminisme, bahkan nulis status soal ‘Tuhan tak butuh dibela’. Apa kamu yakin rumah tangga kamu aman?” Kalimat itu meletup dari mulut Sinta, mantan ketua halaqoh kampus, saat mampir ke rumah Nisa, hari Sabtu siang yang awalnya tenang. Dari ruang kerja, Dika mendengarnya tanpa sengaja. Laptopnya terbuka, anak bungsunya tidur di pangkuan, dan kertas tagihan sekolah baru saja selesai ia lunasi. Sudah bukan pertama kali. Komentar seperti itu sudah akrab mampir lewat WA, DM, dan mulut-mulut teman lama yang katanya "sayang" padanya. Tapi kali ini agak keterlaluan. Sinta langsung menuding rumah tangga Nisa retak cuma karena ideologi suaminya tak lagi satu arah dengan komunitas lamanya. “Aku tahu kamu dulunya ketua BEM syar’i. Tapi sekarang, aku lihat suamimu... terlalu liar.” Nisa mengangkat alis. “Liar? Maksudmu, karena dia nggak lagi ...

Hantu yang Tidak Tahu Arah Surga

Sudah tiga malam Uwi duduk di atas lemari, diam-diam, melihat anak dan suaminya tidur. Bukan karena tidak punya tempat lain, tapi karena sejak jadi hantu, ia tak tahu harus ke mana. Jangankan tahu arah surga, nembus plafon saja masih takut nyangkut. Dulu, sebelum mati, Uwi sering bilang dalam hati, “Kalau aku mati, bagaimana suamiku? Bagaimana anak-anak makan? Apa mereka masih pakai baju yang aku lipat?” Tapi ternyata, waktu mati beneran, yang bikin sesak bukan soal cucian kotor atau dapur kosong. Tapi melihat kenyataan bahwa hidup tetap berjalan… tanpa dirinya. Suaminya sempat sedih. Dua minggu. Setelah itu, mulai rajin pakai minyak rambut. Uwi tahu arah ceritanya. Benar saja. Tiga bulan kemudian, datang perempuan baru. Bawa rendang, senyum sok sopan. Anak Uwi dipanggil "sayang" dengan suara yang terlalu manis, seperti teh yang kelamaan direndam. Uwi hanya bisa mengambang di langit-langit ruang tamu, sambil sesekali ngusir nyamuk, padahal dia tak bisa digigit lagi. Namun yan...

Kalau Aku Mati, Siapa yang Bayar Galon?

Tebe lagi nyetrika baju anak-anaknya sambil nyalahin hidup. Bukan karena setrikaan panasnya bocor, tapi karena pikirannya udah mendidih duluan. “Kalau aku mati, siapa yang bayar galon?!” Kalimat itu nggak penting buat orang normal. Tapi buat Tebe, itu kayak pertanyaan filsafat hidup. Berat, ngilu, dan bikin lambungnya kumat. Pikiran soal mati itu kayak tamu tak diundang yang nongol tiap malam. Kadang pas lagi ngaduk susu buat si bungsu, kadang pas lagi ngupil di kamar mandi. Tebe cemas. Cemas banget. Bukan takut neraka, tapi takut tagihan listrik lupa dibayar kalau dia mati mendadak. “Teb, kamu kenapa sih sekarang jadi pendiam? Dulu mah kamu kayak keran bocor, ngomong terus,” tanya istrinya sambil ngelipet celana. Tebe cuma senyum kecut. Nggak tega jawab, kalau dalam pikirannya, tiap detik tuh kayak film pendek berjudul: “Pemakaman Ayah dan Anak-anaknya yang Kebingungan Bawa Kartu Keluarga.” Saking cemasnya, Tebe sampai nyari artikel: “Cara Menyiapkan Anak-anak Jika Ayah Mati Mendadak....

Aku Mimpi Mati

Pukul dua dini hari. Hujan masih menggantung di luar jendela, seperti sisa doa yang ditinggalkan tergesa. "Aku mimpi mati," gumam Damar, tangannya masih memegang bungkus rokok yang belum sempat dibuka. Ia duduk sendirian di kursi ruang tamu, menatap televisi yang sejak tadi mati. Bukan karena listrik padam. Tapi karena hidup kadang memang memilih diam sebagai bentuk bicara yang paling keras. “Ada apa, Mar?” suara ibunya dari balik pintu kamar. “Enggak. Cuma... tiba-tiba kepikiran, kalau aku mati malam ini, siapa yang bakal nyari jasadku?” katanya pelan. Ibunya terdiam. Tidak menjawab. Karena orang tua tahu, kematian bukan sesuatu yang bisa dibantah dengan kata-kata. Damar bangkit. Menyalakan televisi. Yang muncul hanya bayangan dirinya sendiri. Sekejap, ia merasa seperti sedang menonton tayangan ulang tentang hidupnya yang tak terlalu penting. Tak ada pencapaian. Tak ada gelar. Tak ada cinta. Hanya kenangan-kenangan yang berlari-lari kecil di lorong waktu, menyodok pikirannya...

Ternyata Begini Cara Cepat Naik Jabatan....

“Aku tuh heran, kenapa yang naik jabatan malah si Fadli?” Tebe nyeletuk sambil duduk di bangku kayu dekat garasi pabrik, bekas tempat naruh helm yang sekarang berubah jadi kursi curhat karyawan transportasi. Bowo, sopir paling senior di divisi itu, nyengir sambil ngelap spion truk boks. “Karena dia rajin, Be. Rajin nempel sama bos.” “Ya itu maksudku!” balas Tebe cepat. “Kita yang kerja bener, dateng pagi, pulang sore, ngurus surat jalan, malah nggak keangkat. Dia yang sering ngilang, malah naik gaji. Dunia kerja tuh emang dunia tipu-tipu.” Mesin truk meraung, tapi suara hati Tebe lebih bising. Ia bukan iri, katanya dalam hati. Cuma... kenapa rasanya perut mules tiap lihat Fadli ngopi sambil senyum-senyum di ruang HR? “Be, ridho itu bukan soal rela orang lain senang, tapi paham bahwa rezeki tiap orang udah punya jalurnya masing-masing,” Bowo akhirnya angkat bicara sambil jongkok ngiket tali sepatunya. Tebe diam. Rasa kesal mengendap kayak oli hitam di genangan belakang pabrik. Pas malam...

Apakah Kamu Dapat Ikhlas dengan Kemalangan?

“Aku tuh bukan nggak mau ikhlas, Yahya. Tapi kok ya kemalangan milih-milih ya, giliran aku yang disamperin tiap minggu,” gerutu Tebe sambil mengaduk teh manis yang udah dua kali diangetin ulang di dapur santri. Yahya ngakak. “Berarti kamu santri terpilih, Be. Ujian dulu baru naik kelas. Kayak sinetron.” Ramadhan tahun ini panasnya beda. Di pondok, suasana makin lengket antara puasa, hafalan, dan tugas nyuci piring. Tapi entah kenapa, buat Tebe, yang paling berat justru bukan itu. “Udah seminggu sendal hilang, motor rusak, nilai tafsir jeblok, terus... surat dari rumah isinya: ‘Bapakmu sakit, tapi tetap semangat ya!’ Lha? Aku malah bingung, ini yang sakit siapa yang butuh semangat siapa?” Yahya nyengir, “Jadi kamu marah sama takdir?” “Bukan marah. Cuma... ya kesel aja. Hidup kok kayak lomba apes.” Maghrib nyaris tiba. Di langgar pondok, suara adzan mulai berkumandang. Tebe ngelirik langit. Hatinya gerimis, meski mulutnya bisa nyengir. “Nggak apa-apa kan kalau aku belum ikhlas sepenuhnya...

Negara Ganti Kebijakan, Aku Tetap Makan

“Apa? Pajak naik lagi?!” Suara Pak Joni menggema di warung pecel lele. Aku menyesap teh hangat, malas menanggapi. “Dulu dibilang nggak bakal ada pajak tambahan, eh sekarang malah dinaikkan! Giliran rakyat kecil yang kena lagi,” lanjutnya sambil menyumpah-nyumpah. Aku mengaduk nasi, menghela napas pelan. Sudah biasa. Pemerintah bikin aturan, rakyat marah, lalu tetap hidup seperti biasa. Besok harga cabe bisa naik, orang-orang akan lupa pajak dan mulai ngomel soal tukang sayur. “Mas, menurutmu gimana?” Pak Joni menatapku, menunggu dukungan. Aku mengunyah dulu, lalu berkata, “Mau marah juga nggak bikin perut kenyang, Pak.” Dia mengernyit. “Maksudnya?” Aku menaruh sendok. “Negara ini sudah kayak cuaca. Hari ini panas, besok hujan, lusa entah badai atau kemarau. Mau ngeluh terus juga nggak bakal bikin hidup lebih enak.” Pak Joni mendengus. “Tapi kita rakyat kecil harus bersuara!” Aku mengangguk. “Benar. Tapi setelah suara kita didengar, lalu apa? Kita tetap harus kerja, tetap harus ...

Mungkin Pencarianku Tidak Perlu Diteruskan

“Apa kamu sudah menemukan yang paling benar?” tanya Wawan sambil menyeruput kopinya. Aku terdiam. Sudah seminggu ini aku sibuk membaca, menonton ceramah, dan bertanya ke sana kemari. Tapi semakin banyak yang kudengar, semakin bingung aku dibuatnya. "Ahlussunnah wal Jamaah yang paling benar!" kata seorang ustadz di YouTube. "Tidak! Kembali ke Quran dan Sunnah tanpa bid’ah, itulah yang benar!" sergah yang lain. "Kalian semua sesat! Yang benar cuma kami!" suara seorang dai garis keras memenuhi pikiranku. Aku mengacak rambut. "Kenapa semuanya merasa paling benar, ya?" gumamku. Wawan terkekeh. “Gus Dur pernah bilang, ‘Agama itu bukan untuk saling menyalahkan, tapi untuk saling memahami.’” Aku mendongak. “Jadi?” “Jadi, ya sudah, ibadah saja yang benar. Kalau ujungnya cuma debat tanpa akhlak, buat apa?” Wawan mengangkat bahu. Aku menghela napas panjang. Dalam pencarianku, aku terlalu sibuk bertanya siapa yang paling benar, sampai lupa bertanya:...

Tuhan dan Logika yang Tidak Tuntas

"Kalau Tuhan memang ada, kenapa dia membiarkan penderitaan terjadi?" Suara Damar memenuhi ruangan kecil itu. Tangannya memegang rokok yang sudah hampir habis, asapnya mengepul ke langit-langit kamar kos. Aku menatapnya sebentar, mencoba mencari jawaban yang tidak klise. "Karena mungkin Tuhan bukan tentang menghentikan penderitaan, tapi tentang memberi kita keberanian untuk melewati semuanya," jawabku pelan. Damar tertawa kecil, suara cemooh yang lebih terdengar seperti keputusasaan. "Klise banget. Jadi menurut lo, Tuhan cuma alasan manusia buat nggak ngerasa sendirian? Semacam penghiburan?" Aku terdiam. Apa salahnya jika memang begitu? Damar melanjutkan, "Gue rasa, Tuhan itu kayak jawaban ujian yang kita nggak tahu. Kalau lo nggak ngerti soal, lo tinggal nulis ‘Tuhan’ aja, beres." Pikiranku melayang pada malam-malam panjang yang pernah kulewati. Waktu aku kehilangan pekerjaan, dihantam kenyataan hidup yang kejam, aku memang mencari Tuhan—bukan ka...

Aliran Islam Mana yang Paling Benar?

"Ustaz, aliran Islam mana yang paling benar?" tanya seorang pemuda berkopiah putih di tengah majelis. Suasana pengajian mendadak hening, hanya suara kipas angin tua yang terdengar. Ustaz itu tersenyum tipis, menarik napas panjang sebelum menjawab, "Tentu aliran yang saya ajarkan ini. Karena inilah jalan yang lurus, satu-satunya yang akan menyelamatkan kalian di akhirat nanti." Aku, yang duduk di barisan belakang, mengerutkan kening. Jawaban itu terasa mutlak, seperti menutup ruang bagi pemikiran lain. Aku teringat ceramah Quraish Shihab yang kutonton di televisi seminggu lalu. Ketika mendapat pertanyaan serupa, beliau menjawab dengan tenang, "Semua boleh jadi benar, karena manusia hanya berusaha memahami Tuhan lewat keterbatasan mereka." Setelah pengajian selesai, aku mendekati pemuda tadi. "Apa menurutmu jawaban ustaz tadi masuk akal?" tanyaku. Dia menatapku dengan mata berbinar, penuh keyakinan. "Tentu saja, Mas. Kalau nggak percaya sama u...

Bayangan di Cermin

"Dia cuma beruntung!" seru Reza, mematikan video YouTube yang menampilkan Fikri, teman lamanya, sedang diwawancarai sebagai pengusaha sukses. "Kalau dulu gue dapet peluang kayak dia, gue juga bisa kayak gitu!" Reza bersandar di kursinya, menatap layar laptop yang kosong. Di kepalanya, bayangan masa lalu berputar. Fikri dulu hanya anak biasa di kampus, tidak menonjol, sering pinjam catatan, bahkan sering diejek. Dan sekarang? Dia jadi bintang, dengan mobil mewah dan bisnis yang disebut-sebut inspiratif. Reza membuka media sosial Fikri. Ia memindai foto-foto sukses itu dengan pandangan sinis. "Ah, siapa juga yang nggak bisa kalau modalnya gede!" gumamnya. Dalam pikirannya, ia yakin bahwa Fikri tidak sehebat itu—hanya kebetulan berada di tempat dan waktu yang tepat. Namun, semakin ia mencari celah untuk menjelekkan Fikri, semakin ia merasa kecil. Setiap foto dan video yang dilihatnya menjadi pengingat akan keputusan-keputusan yang ia lewatkan. Malam itu, Reza...

Perjalanan Tanpa Nama

“Jadi, kamu nggak percaya Tuhan?” tanya Raka sambil menyeruput kopinya. Pertanyaan itu datang tiba-tiba, tanpa aba-aba, seperti petir di siang bolong. Aku hanya tersenyum kecil, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Di dalam café kecil di pinggir Jakarta, obrolan semacam ini terasa terlalu besar. “Bukan nggak percaya, Rak,” jawabku akhirnya. “Aku cuma nggak tahu agama mana yang benar-benar sesuai untukku.” Raka mengangguk, tapi aku tahu dia tidak benar-benar paham. Aku menatap layar laptopku yang penuh dengan artikel-artikel spiritual, filsafat, dan kisah-kisah pencarian makna. “Kamu agnostik?” desaknya lagi. “Bukan,” jawabku tegas. “Aku nggak sibuk mikir ada Tuhan atau nggak. Aku lebih fokus ke apa yang membuat hidup ini bermakna.” Dia tertawa kecil, mungkin mengejek atau mungkin hanya karena dia tidak tahu harus berkata apa. “Kayaknya kamu bagian dari The Nones, ya? Orang-orang yang nggak ikut agama, dengan tetap nyari makna dan harmoni hidup.” Aku terdiam, merenung sejenak. Mungkin...

Hidup Setelah Kematian Ideologis

Aku ingat hari itu dengan sangat jelas—hari ketika aku “meninggal.” Bukan meninggal dalam arti fisik, tapi lebih seperti kematian batin, kematian dari jati diriku yang dulu. Sore itu, di sebuah pertemuan terakhir di komunitas yang dulu selalu aku banggakan, aku menyadari sesuatu yang mengubah segalanya. Aku duduk di tengah-tengah mereka, mendengarkan ceramah yang sudah begitu akrab di telinga, tapi tiba-tiba rasanya asing, seperti mendengar bahasa yang tak lagi kupahami. Aku menatap sekeliling. Wajah-wajah yang dulu penuh semangat kini tampak hampa di mataku. Suara penceramah yang berapi-api tentang kebenaran mutlak terdengar bising, tidak lagi menyentuh hatiku seperti dulu. Dalam satu momen itu, aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang terlepas dari dalam diriku—seperti sebuah rantai yang putus. Aku mati di sana, bukan secara fisik, tapi secara ideologis. Aku tidak lagi menjadi bagian dari mereka. "Kenapa kau tidak merespons?" tanya seorang teman di sebelahku, mencoba menarik...

Kenapa Enggak Nikah-Nikah?

“Kenapa nggak nikah-nikah, Sahal?” tanya Wawan sambil melipat sajadah di beranda masjid. Kami baru saja selesai salat Ashar di Masjid Al-Falah, Jakarta, tahun 2007. Sahal, sahabat kami yang punya usaha rental motor paling laris di kota ini, hanya tersenyum tipis.  Beberapa menit sebelumnya, kami sedang bersantai di masjid setelah lelah mengelilingi kota. Sahal datang dengan motor bebeknya yang selalu mengkilap, ciri khas pengusaha sukses di bidang rental motor. “Aku tuh sibuk, Wan. Rental motor butuh perhatian lebih,” jawab Sahal sambil mengunyah kurma. “Lagipula, nikah itu nggak wajib, kan?” Wawan tertawa kecil. “Ya memang nggak wajib, tapi kan enak kalau ada yang ngurusin. Masa hidup sendiri terus?” Sahal hanya mengangkat bahu. “Aku nggak sendiri kok, ada motor-motor kesayanganku,” jawabnya sambil tertawa. “Lagipula, hidup sendiri itu lebih bebas. Mau ke mana saja, nggak perlu izin.” Kami semua tertawa mendengar jawaban Sahal. Sebenarnya, banyak yang penasaran kenapa dia tidak pe...

Tidak Ada Rotan, Thoriq pun Sudah Haji

“Aku ini sudah naik haji sejak umur 2 bulan,” ujar Haji Thoriq dengan bangga di depan kamera podcast. Kami, tim Podcast Ngaco, nyaris terpingkal mendengar pernyataannya. Beberapa menit sebelumnya, Haji Thoriq datang dengan semangat luar biasa. “Hari ini, aku bakal bikin kalian takjub!” serunya. Saat siaran dimulai, dia langsung menyampaikan klaim nyelenehnya. “Serius, Haji? Gimana ceritanya bisa naik haji di umur 2 bulan?” tanya Reza, host kami, dengan senyum setengah tertahan. Haji Thoriq mengangguk. “Waktu itu bapak-ibuku pergi haji, dan aku ikut—meskipun masih di perut ibu. Jadi, secara teknis, aku ini sudah naik haji sejak di kandungan!” Gelak tawa memenuhi studio kecil kami. “Wah, hebat juga, Haji. Jadi pengalaman hajimu lebih dini daripada kita yang baru naik haji setelah dewasa?” tanyaku, mencoba terlihat serius. “Tentu saja,” jawab Haji Thoriq sambil tersenyum lebar. “Pengalaman spiritualku lebih awal daripada kalian.”

Nggak Apa-apa Jelek yang Penting Tobrut!?

"Tiket habis, Bro. Ternyata yang nonton konser hari ini bukan cuma aku sama kamu,” kataku sambil merogoh kantong celana. Di antrean panjang yang melingkar di sekitar stadion, aku dan Arap terjebak dalam suasana yang serba riuh. Kami terpaksa mengalihkan rencana, mencoba mencari hiburan lain di tengah kekecewaan. Arap merogoh saku dan mengeluarkan sebatang rokok. "Yah, mau gimana lagi. Kita nongkrong aja di tempat biasa. Siapa tahu ada cewek cakep lewat,” katanya setengah bercanda, sambil menyulut rokoknya. Kembali ke dua jam sebelumnya, suasana di kampus baru saja usai saat aku dan Arap memutuskan untuk berburu tiket konser mendadak. Sialnya, tiket itu habis sebelum kami sempat mengantre. “Ya sudah, ke warung Bu Wowiek aja. Di sana pasti ada cerita baru,” usul Arap, mencoba menghidupkan kembali semangat yang sempat luntur. Di warung Bu Wowiek, suasana lebih lengang. Hanya beberapa pelanggan tetap yang duduk sambil menikmati kopi. Kami segera memilih tempat duduk di pojokan, m...

Cek Khodam

“Ada getaran listrik kecil di jari-jari saya,” ujarku dengan mata terpejam, mencoba terdengar mistis sambil memegang cincin batu akik milik Pak Kumis. Suara bisik-bisik di warung kopi langsung berhenti, dan semua mata tertuju pada kami. “Benar, benar! Khodamnya sakti!” seru Pak Kumis dengan wajah cerah, seakan-akan aku baru saja memverifikasi kebenaran universal. Di sudut warung, Bu Sumiyati tampak gelisah, menunggu gilirannya. Kembali ke pagi itu, Pak Kumis datang ke rumah dengan langkah terburu-buru. "Coba kamu cek, ada khodam nggak di batu akik ini?" tanyanya, menyerahkan cincin berukuran jumbo seperti bola bekel. Matanya bersinar penuh harapan, seolah-olah aku seorang dukun terkenal. Aku sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang khodam. Tetapi melihat antusiasme Pak Kumis, aku memutuskan untuk sedikit berimprovisasi. “Setahu saya, khodam itu tidak bisa dilihat begitu saja, Pak. Tapi saya coba rasakan,” jawabku, menerima cincinnya dengan penuh kesungguhan yang nyaris membuatku...