Ketika mbak SPBU bilang, “Seratus ribu, ya, Pak,” dunia langsung berhenti sepersekian detik. Aku merogoh kantong celana—dan justru menemukan kehampaan. Karena uang itu tidak ada, seluruh rencana soreku langsung berantakan. Mau isi bensin, jemput anak les bahasa Inggris, lalu pulang tenang—semuanya runtuh hanya gara-gara selembar kertas biru yang hilang entah ke mana. Aku cek kantong belakang. Nihil. Karena panik, aku membongkar jaket sambil berdiri kikuk, membuat orang belakang mulai gelisah. Karena tidak mungkin mundur dari antrean, aku akhirnya bayar dengan koin receh cadangan. Malu? Tentu. Tapi terpaksa. Dalam perjalanan, rasa penasaran menggerogoti. Karena otak tidak bisa menerima kenyataan kehilangan itu, aku menepi dan menyusuri jalan yang tadi kulewati. Angin sore menerpa wajah, dan setiap daun yang bergerak seperti mengejek: “Uangmu jatuh ke mana, hah?” Hasilnya nol besar. Sampai rumah, aku langsung mengobrak-abrik semua sudut. Karena pikiranku bersikeras uang itu pasti ‘tersel...