Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Cerpen

Ternyata Begini Cara Cepat Naik Jabatan....

“Aku tuh heran, kenapa yang naik jabatan malah si Fadli?” Tebe nyeletuk sambil duduk di bangku kayu dekat garasi pabrik, bekas tempat naruh helm yang sekarang berubah jadi kursi curhat karyawan transportasi. Bowo, sopir paling senior di divisi itu, nyengir sambil ngelap spion truk boks. “Karena dia rajin, Be. Rajin nempel sama bos.” “Ya itu maksudku!” balas Tebe cepat. “Kita yang kerja bener, dateng pagi, pulang sore, ngurus surat jalan, malah nggak keangkat. Dia yang sering ngilang, malah naik gaji. Dunia kerja tuh emang dunia tipu-tipu.” Mesin truk meraung, tapi suara hati Tebe lebih bising. Ia bukan iri, katanya dalam hati. Cuma... kenapa rasanya perut mules tiap lihat Fadli ngopi sambil senyum-senyum di ruang HR? “Be, ridho itu bukan soal rela orang lain senang, tapi paham bahwa rezeki tiap orang udah punya jalurnya masing-masing,” Bowo akhirnya angkat bicara sambil jongkok ngiket tali sepatunya. Tebe diam. Rasa kesal mengendap kayak oli hitam di genangan belakang pabrik. Pas malam...

Apakah Kamu Dapat Ikhlas dengan Kemalangan?

“Aku tuh bukan nggak mau ikhlas, Yahya. Tapi kok ya kemalangan milih-milih ya, giliran aku yang disamperin tiap minggu,” gerutu Tebe sambil mengaduk teh manis yang udah dua kali diangetin ulang di dapur santri. Yahya ngakak. “Berarti kamu santri terpilih, Be. Ujian dulu baru naik kelas. Kayak sinetron.” Ramadhan tahun ini panasnya beda. Di pondok, suasana makin lengket antara puasa, hafalan, dan tugas nyuci piring. Tapi entah kenapa, buat Tebe, yang paling berat justru bukan itu. “Udah seminggu sendal hilang, motor rusak, nilai tafsir jeblok, terus... surat dari rumah isinya: ‘Bapakmu sakit, tapi tetap semangat ya!’ Lha? Aku malah bingung, ini yang sakit siapa yang butuh semangat siapa?” Yahya nyengir, “Jadi kamu marah sama takdir?” “Bukan marah. Cuma... ya kesel aja. Hidup kok kayak lomba apes.” Maghrib nyaris tiba. Di langgar pondok, suara adzan mulai berkumandang. Tebe ngelirik langit. Hatinya gerimis, meski mulutnya bisa nyengir. “Nggak apa-apa kan kalau aku belum ikhlas sepenuhnya...

Negara Ganti Kebijakan, Aku Tetap Makan

“Apa? Pajak naik lagi?!” Suara Pak Joni menggema di warung pecel lele. Aku menyesap teh hangat, malas menanggapi. “Dulu dibilang nggak bakal ada pajak tambahan, eh sekarang malah dinaikkan! Giliran rakyat kecil yang kena lagi,” lanjutnya sambil menyumpah-nyumpah. Aku mengaduk nasi, menghela napas pelan. Sudah biasa. Pemerintah bikin aturan, rakyat marah, lalu tetap hidup seperti biasa. Besok harga cabe bisa naik, orang-orang akan lupa pajak dan mulai ngomel soal tukang sayur. “Mas, menurutmu gimana?” Pak Joni menatapku, menunggu dukungan. Aku mengunyah dulu, lalu berkata, “Mau marah juga nggak bikin perut kenyang, Pak.” Dia mengernyit. “Maksudnya?” Aku menaruh sendok. “Negara ini sudah kayak cuaca. Hari ini panas, besok hujan, lusa entah badai atau kemarau. Mau ngeluh terus juga nggak bakal bikin hidup lebih enak.” Pak Joni mendengus. “Tapi kita rakyat kecil harus bersuara!” Aku mengangguk. “Benar. Tapi setelah suara kita didengar, lalu apa? Kita tetap harus kerja, tetap harus ...

Mungkin Pencarianku Tidak Perlu Diteruskan

“Apa kamu sudah menemukan yang paling benar?” tanya Wawan sambil menyeruput kopinya. Aku terdiam. Sudah seminggu ini aku sibuk membaca, menonton ceramah, dan bertanya ke sana kemari. Tapi semakin banyak yang kudengar, semakin bingung aku dibuatnya. "Ahlussunnah wal Jamaah yang paling benar!" kata seorang ustadz di YouTube. "Tidak! Kembali ke Quran dan Sunnah tanpa bid’ah, itulah yang benar!" sergah yang lain. "Kalian semua sesat! Yang benar cuma kami!" suara seorang dai garis keras memenuhi pikiranku. Aku mengacak rambut. "Kenapa semuanya merasa paling benar, ya?" gumamku. Wawan terkekeh. “Gus Dur pernah bilang, ‘Agama itu bukan untuk saling menyalahkan, tapi untuk saling memahami.’” Aku mendongak. “Jadi?” “Jadi, ya sudah, ibadah saja yang benar. Kalau ujungnya cuma debat tanpa akhlak, buat apa?” Wawan mengangkat bahu. Aku menghela napas panjang. Dalam pencarianku, aku terlalu sibuk bertanya siapa yang paling benar, sampai lupa bertanya:...

Tuhan dan Logika yang Tidak Tuntas

"Kalau Tuhan memang ada, kenapa dia membiarkan penderitaan terjadi?" Suara Damar memenuhi ruangan kecil itu. Tangannya memegang rokok yang sudah hampir habis, asapnya mengepul ke langit-langit kamar kos. Aku menatapnya sebentar, mencoba mencari jawaban yang tidak klise. "Karena mungkin Tuhan bukan tentang menghentikan penderitaan, tapi tentang memberi kita keberanian untuk melewati semuanya," jawabku pelan. Damar tertawa kecil, suara cemooh yang lebih terdengar seperti keputusasaan. "Klise banget. Jadi menurut lo, Tuhan cuma alasan manusia buat nggak ngerasa sendirian? Semacam penghiburan?" Aku terdiam. Apa salahnya jika memang begitu? Damar melanjutkan, "Gue rasa, Tuhan itu kayak jawaban ujian yang kita nggak tahu. Kalau lo nggak ngerti soal, lo tinggal nulis ‘Tuhan’ aja, beres." Pikiranku melayang pada malam-malam panjang yang pernah kulewati. Waktu aku kehilangan pekerjaan, dihantam kenyataan hidup yang kejam, aku memang mencari Tuhan—bukan ka...

Aliran Islam Mana yang Paling Benar?

"Ustaz, aliran Islam mana yang paling benar?" tanya seorang pemuda berkopiah putih di tengah majelis. Suasana pengajian mendadak hening, hanya suara kipas angin tua yang terdengar. Ustaz itu tersenyum tipis, menarik napas panjang sebelum menjawab, "Tentu aliran yang saya ajarkan ini. Karena inilah jalan yang lurus, satu-satunya yang akan menyelamatkan kalian di akhirat nanti." Aku, yang duduk di barisan belakang, mengerutkan kening. Jawaban itu terasa mutlak, seperti menutup ruang bagi pemikiran lain. Aku teringat ceramah Quraish Shihab yang kutonton di televisi seminggu lalu. Ketika mendapat pertanyaan serupa, beliau menjawab dengan tenang, "Semua boleh jadi benar, karena manusia hanya berusaha memahami Tuhan lewat keterbatasan mereka." Setelah pengajian selesai, aku mendekati pemuda tadi. "Apa menurutmu jawaban ustaz tadi masuk akal?" tanyaku. Dia menatapku dengan mata berbinar, penuh keyakinan. "Tentu saja, Mas. Kalau nggak percaya sama u...

Bayangan di Cermin

"Dia cuma beruntung!" seru Reza, mematikan video YouTube yang menampilkan Fikri, teman lamanya, sedang diwawancarai sebagai pengusaha sukses. "Kalau dulu gue dapet peluang kayak dia, gue juga bisa kayak gitu!" Reza bersandar di kursinya, menatap layar laptop yang kosong. Di kepalanya, bayangan masa lalu berputar. Fikri dulu hanya anak biasa di kampus, tidak menonjol, sering pinjam catatan, bahkan sering diejek. Dan sekarang? Dia jadi bintang, dengan mobil mewah dan bisnis yang disebut-sebut inspiratif. Reza membuka media sosial Fikri. Ia memindai foto-foto sukses itu dengan pandangan sinis. "Ah, siapa juga yang nggak bisa kalau modalnya gede!" gumamnya. Dalam pikirannya, ia yakin bahwa Fikri tidak sehebat itu—hanya kebetulan berada di tempat dan waktu yang tepat. Namun, semakin ia mencari celah untuk menjelekkan Fikri, semakin ia merasa kecil. Setiap foto dan video yang dilihatnya menjadi pengingat akan keputusan-keputusan yang ia lewatkan. Malam itu, Reza...

Perjalanan Tanpa Nama

“Jadi, kamu nggak percaya Tuhan?” tanya Raka sambil menyeruput kopinya. Pertanyaan itu datang tiba-tiba, tanpa aba-aba, seperti petir di siang bolong. Aku hanya tersenyum kecil, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Di dalam café kecil di pinggir Jakarta, obrolan semacam ini terasa terlalu besar. “Bukan nggak percaya, Rak,” jawabku akhirnya. “Aku cuma nggak tahu agama mana yang benar-benar sesuai untukku.” Raka mengangguk, tapi aku tahu dia tidak benar-benar paham. Aku menatap layar laptopku yang penuh dengan artikel-artikel spiritual, filsafat, dan kisah-kisah pencarian makna. “Kamu agnostik?” desaknya lagi. “Bukan,” jawabku tegas. “Aku nggak sibuk mikir ada Tuhan atau nggak. Aku lebih fokus ke apa yang membuat hidup ini bermakna.” Dia tertawa kecil, mungkin mengejek atau mungkin hanya karena dia tidak tahu harus berkata apa. “Kayaknya kamu bagian dari The Nones, ya? Orang-orang yang nggak ikut agama, dengan tetap nyari makna dan harmoni hidup.” Aku terdiam, merenung sejenak. Mungkin...

Hidup Setelah Kematian Ideologis

Aku ingat hari itu dengan sangat jelas—hari ketika aku “meninggal.” Bukan meninggal dalam arti fisik, tapi lebih seperti kematian batin, kematian dari jati diriku yang dulu. Sore itu, di sebuah pertemuan terakhir di komunitas yang dulu selalu aku banggakan, aku menyadari sesuatu yang mengubah segalanya. Aku duduk di tengah-tengah mereka, mendengarkan ceramah yang sudah begitu akrab di telinga, tapi tiba-tiba rasanya asing, seperti mendengar bahasa yang tak lagi kupahami. Aku menatap sekeliling. Wajah-wajah yang dulu penuh semangat kini tampak hampa di mataku. Suara penceramah yang berapi-api tentang kebenaran mutlak terdengar bising, tidak lagi menyentuh hatiku seperti dulu. Dalam satu momen itu, aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang terlepas dari dalam diriku—seperti sebuah rantai yang putus. Aku mati di sana, bukan secara fisik, tapi secara ideologis. Aku tidak lagi menjadi bagian dari mereka. "Kenapa kau tidak merespons?" tanya seorang teman di sebelahku, mencoba menarik...

Kenapa Enggak Nikah-Nikah?

“Kenapa nggak nikah-nikah, Sahal?” tanya Wawan sambil melipat sajadah di beranda masjid. Kami baru saja selesai salat Ashar di Masjid Al-Falah, Jakarta, tahun 2007. Sahal, sahabat kami yang punya usaha rental motor paling laris di kota ini, hanya tersenyum tipis.  Beberapa menit sebelumnya, kami sedang bersantai di masjid setelah lelah mengelilingi kota. Sahal datang dengan motor bebeknya yang selalu mengkilap, ciri khas pengusaha sukses di bidang rental motor. “Aku tuh sibuk, Wan. Rental motor butuh perhatian lebih,” jawab Sahal sambil mengunyah kurma. “Lagipula, nikah itu nggak wajib, kan?” Wawan tertawa kecil. “Ya memang nggak wajib, tapi kan enak kalau ada yang ngurusin. Masa hidup sendiri terus?” Sahal hanya mengangkat bahu. “Aku nggak sendiri kok, ada motor-motor kesayanganku,” jawabnya sambil tertawa. “Lagipula, hidup sendiri itu lebih bebas. Mau ke mana saja, nggak perlu izin.” Kami semua tertawa mendengar jawaban Sahal. Sebenarnya, banyak yang penasaran kenapa dia tidak pe...

Tidak Ada Rotan, Thoriq pun Sudah Haji

“Aku ini sudah naik haji sejak umur 2 bulan,” ujar Haji Thoriq dengan bangga di depan kamera podcast. Kami, tim Podcast Ngaco, nyaris terpingkal mendengar pernyataannya. Beberapa menit sebelumnya, Haji Thoriq datang dengan semangat luar biasa. “Hari ini, aku bakal bikin kalian takjub!” serunya. Saat siaran dimulai, dia langsung menyampaikan klaim nyelenehnya. “Serius, Haji? Gimana ceritanya bisa naik haji di umur 2 bulan?” tanya Reza, host kami, dengan senyum setengah tertahan. Haji Thoriq mengangguk. “Waktu itu bapak-ibuku pergi haji, dan aku ikut—meskipun masih di perut ibu. Jadi, secara teknis, aku ini sudah naik haji sejak di kandungan!” Gelak tawa memenuhi studio kecil kami. “Wah, hebat juga, Haji. Jadi pengalaman hajimu lebih dini daripada kita yang baru naik haji setelah dewasa?” tanyaku, mencoba terlihat serius. “Tentu saja,” jawab Haji Thoriq sambil tersenyum lebar. “Pengalaman spiritualku lebih awal daripada kalian.”

Nggak Apa-apa Jelek yang Penting Tobrut!?

"Tiket habis, Bro. Ternyata yang nonton konser hari ini bukan cuma aku sama kamu,” kataku sambil merogoh kantong celana. Di antrean panjang yang melingkar di sekitar stadion, aku dan Arap terjebak dalam suasana yang serba riuh. Kami terpaksa mengalihkan rencana, mencoba mencari hiburan lain di tengah kekecewaan. Arap merogoh saku dan mengeluarkan sebatang rokok. "Yah, mau gimana lagi. Kita nongkrong aja di tempat biasa. Siapa tahu ada cewek cakep lewat,” katanya setengah bercanda, sambil menyulut rokoknya. Kembali ke dua jam sebelumnya, suasana di kampus baru saja usai saat aku dan Arap memutuskan untuk berburu tiket konser mendadak. Sialnya, tiket itu habis sebelum kami sempat mengantre. “Ya sudah, ke warung Bu Wowiek aja. Di sana pasti ada cerita baru,” usul Arap, mencoba menghidupkan kembali semangat yang sempat luntur. Di warung Bu Wowiek, suasana lebih lengang. Hanya beberapa pelanggan tetap yang duduk sambil menikmati kopi. Kami segera memilih tempat duduk di pojokan, m...

Cek Khodam

“Ada getaran listrik kecil di jari-jari saya,” ujarku dengan mata terpejam, mencoba terdengar mistis sambil memegang cincin batu akik milik Pak Kumis. Suara bisik-bisik di warung kopi langsung berhenti, dan semua mata tertuju pada kami. “Benar, benar! Khodamnya sakti!” seru Pak Kumis dengan wajah cerah, seakan-akan aku baru saja memverifikasi kebenaran universal. Di sudut warung, Bu Sumiyati tampak gelisah, menunggu gilirannya. Kembali ke pagi itu, Pak Kumis datang ke rumah dengan langkah terburu-buru. "Coba kamu cek, ada khodam nggak di batu akik ini?" tanyanya, menyerahkan cincin berukuran jumbo seperti bola bekel. Matanya bersinar penuh harapan, seolah-olah aku seorang dukun terkenal. Aku sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang khodam. Tetapi melihat antusiasme Pak Kumis, aku memutuskan untuk sedikit berimprovisasi. “Setahu saya, khodam itu tidak bisa dilihat begitu saja, Pak. Tapi saya coba rasakan,” jawabku, menerima cincinnya dengan penuh kesungguhan yang nyaris membuatku...

Skeptis tentang Keberadaan Tuhan

Di kota Serang, Banten hiduplah seorang pria bernama Bagas. Bagas adalah seorang skeptis, selalu mempertanyakan segala sesuatu, termasuk keberadaan Tuhan. Meskipun begitu, dia selalu berbuat baik kepada orang lain. Baginya, kebaikan adalah tanggung jawab manusia, bukan perintah dari entitas yang tidak terlihat. Suatu sore yang mendung, Bagas berjalan di tepi sungai yang membelah kota. Pikiran-pikirannya seperti biasa, tenggelam dalam debat internal tentang eksistensi dan moralitas. Tiba-tiba, hujan turun dengan deras. Bagas segera berlindung di bawah jembatan yang sunyi, hanya terdengar suara air yang bergemuruh. Di sana, ia bertemu seorang lelaki tua dengan jubah panjang, duduk tenang di sudut jembatan. Wajah lelaki itu memancarkan kedamaian yang kontras dengan kekacauan hujan di sekitarnya. Bagas, terdorong oleh rasa ingin tahu, mendekat dan menyapa, “Apa yang membuatmu begitu tenang di tengah badai ini?” Lelaki tua itu tersenyum, tatapannya menembus jiwa Bagas. “Aku adalah pengembar...

Tuhan dan Tukang Kerupuk

Di suatu sudut pasar yang ramai, ada sebuah warung kopi sederhana yang selalu penuh dengan obrolan seru setiap pagi. Warung itu milik Pak Surip, seorang pria setengah baya yang senyumnya selalu merekah meski hidupnya sederhana. Di sinilah berbagai cerita kehidupan bercampur dengan aroma kopi hitam pekat. Suatu pagi, Warno, penjual kerupuk keliling, duduk di salah satu bangku kayu warung tersebut. Hatinya gundah, sebab dagangannya makin hari makin sepi pembeli. Di hadapannya, cangkir kopi yang dipesannya tak disentuh, hanya mengepulkan asap tipis. Pak Surip, yang tengah membersihkan meja, melihat Warno termenung. “Pagi-pagi kok murung, No? Nggak biasanya,” tanyanya sembari duduk di depan Warno. Warno mengangkat wajahnya yang lelah, menghela napas panjang. “Begini, Pak. Dagangan makin sepi. Utang menumpuk. Hidup kok rasanya berat banget. Kadang, saya berpikir, Tuhan itu ngerti nggak sih, susahnya hidup ini?” Pak Surip tersenyum, menepuk bahu Warno dengan ramah. “Kalau begitu, kenapa ngga...

Jangan Takut, Kamu Pasti Akan Mati

Suatu sore di sebuah kampung kecil, Pak Damar, seorang petani berusia lanjut, duduk di teras rumahnya yang sederhana. Matanya menatap ke kejauhan, menembus batas ladang jagung yang menguning, lalu menghilang di cakrawala. Ditemani segelas teh hangat, Pak Damar tampak termenung, memikirkan sesuatu yang mendalam. Hari itu, Adi, cucu kesayangannya, datang berkunjung. Adi duduk di sebelah kakeknya, ikut menikmati ketenangan sore itu. “Kek, apa yang sedang Kakek pikirkan?” tanya Adi, memecah kesunyian. Pak Damar tersenyum tipis, menatap Adi dengan mata yang penuh kasih. “Adi, apakah kamu takut mati?” tanyanya lembut, sambil menggenggam tangan cucunya. Adi tertegun, tidak menyangka akan pertanyaan itu. “Kenapa Kakek tanya begitu?” “Jangan takut, kamu pasti akan mati,” jawab Pak Damar dengan nada yang tenang namun mengandung filosofi mendalam. “Kematian itu seperti malam yang datang setelah siang, tak perlu ditakuti, karena ia adalah bagian dari perjalanan.” Adi terdiam, mencoba mencerna kata...

Open BO Via Michat

Mendengar teman yang udah sering Open BO via aplikasi michat membuat saya penasaran untuk melakukan observasi mendownload dan melihat isinya apa dan bagaimana sih, lho kok bisa jual beli kelamin secara terbuka ada di media sosial. Pertama kali teman saya download michat, dia menceritakan harus memalsukan nama dan data pribadi dahulu agar tidak ada teman yang mendeteksinya. Tidak perlu memberikan data dan nama asli di aplikasi yang isinya kebanyakan Open BO tersebut, dia seperti ingin mengajarkan dan mengajak saya untuk segera punya akun di aplikasi michat dan Open BO. Setelah itu menjelaskan dengan detail bagaimana cara main dan interaksi antar pengguna akun michat, oh ok ada pohon pesan yang bisa memilih text atau voice note, terus ada pencari pengguna michat yang ada di lokasi sekitar kita dan di sana dengan terang-terangan menawarkan rate harga jual dirinya. Teman saya mengatakan untuk di daerang Serang, Cilegon dan sekitarnya harga normal minimal 300 ribu, kalau kita punya skill y...

Saya di Tuduh Tukang Santet

Mengingat kisah ini sungguh bikin senyum senyum sendiri. Bukan karena lucu tapi karena kekonyolan yang di buat oleh penuduh tersebut. Apalagi penuduh tersebut dalam level yang bisa di sebut murobbiah atau ustadzah di suatu pengajian, masih lugu dengan gampangnya menuduh tanpa bukti bahkan tanpa konfirmasi alias tabayun. Bukankah di pengajian yang isinya kebaikkan itu harusnya di dahulukan baik sangka (husnudzon) ketimbang menuduh nuduh gitu? Meskipun saya punya sahabat dukun atau paranormal bukan berarti otomatis saya memiliki kemampuan dukun seperti santet. Kalau makan santet, saya pernah dan suka banget malah (santet ayam dan santet kambing. Haha). Jadi setelah si cinta disuruh oleh murobbiah nya untuk menolak lamaran (khitbah) saya karena saya ini tukang santet, si cinta malah enggak peduli dan saya pun meminta agar berhenti mengaji di pengajian yang di bina oleh murobbiah nya itu. Dan hingga saat ini saya tidak pernah bisa yang namanya santet. Sangat salah tuduhan yang tidak me...

Emih, Berbahagialah di Surga Nya

31 Januari 2016 Sms dari mamah terkirim di ponsel saya, innalillah emih (panggilan nenek saya) meninggal. Terkejut akan hal ini, saya menelpon mamah dan bapak. Saat itu saya kerja shift malam,langsung minta izin kepada atasan untuk menguburkan di rangkasbitung (jalupang),tempat kelahiran saya 1989 yang lalu. Terkenang, satu minggu sebelum kepergian emih. Saya dan keluarga menjenguknya. Bapa bilang, takut emih engga ada umur lagi,harus di sempetin ngejenguk. Emih di rawat di rsud rangkasbitung tepatnya di ruangan khusus poli jantung,harus satu persatu masuknya. Melihat kondisinya saya tak kuasa menahan tangis. Bayangkan infus, selang oksigen, banyak kabel yang menenpel di tubuhnya di sekitarnya ada alat alat medis indikator detak jantung dan saya tidak begitu paham fungsinya. Emih bertanya, ini siapa? Ini obi, mih.. Ke sini obi naek motor? Engga mih, naek mobil bareng bapak dan yang lainnya. Semoga emih cepet sehat ya, supaya bisa kumpul kumpul lagi. Obi sekarang jadi item muka...

Sang Penghafal Quran, Tukang Service Jam Tangan di Halte Depan Kampus Serang

Tidak asing melihat wajah ramah ini. Setiap berjumpa dengannya saya selalu menyempatkan bersalaman, bertukar senyum dan mengucapkan assalamualaikum. Selain jenggotnya yang menjuntai panjang, ternyata beliau hobi membaca al quran di sela sela menunggu pelanggan yang ingin menservice jam tangan dan membeli pulsa. Saya curi curi pandang saat mulutnya komat kamit yang hanya dapat di dengar oleh telinga nya sambil memegang hp nya yang telah di instal quran. Di samping itu beliau pun sering menyapa ramah tiap orang yang duduk di halte sembari menunggu bus. Sesekali waktu shalat di masjid kampus Serang, saya berkesempatan bermakmum dengan beliau. Terdengar kemampuannya membaca al quran fasih dan hafalan nya pun baik dengan membaca ayat ayat yang cukup panjang. Dari sini saya mengetahui dengan pasti bahwa beliau adalah penghafal quran. Dari sini kita mengambil pelajaran bahwa istiqomah membaca al quran di waktu sibuk dan senggang itu sulit, kecuali bagi yang mau menyempatkannya. Lebih suli...