Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Cerpen

Makna Kehilangan

Ketika mbak SPBU bilang, “Seratus ribu, ya, Pak,” dunia langsung berhenti sepersekian detik. Aku merogoh kantong celana—dan justru menemukan kehampaan. Karena uang itu tidak ada, seluruh rencana soreku langsung berantakan. Mau isi bensin, jemput anak les bahasa Inggris, lalu pulang tenang—semuanya runtuh hanya gara-gara selembar kertas biru yang hilang entah ke mana. Aku cek kantong belakang. Nihil. Karena panik, aku membongkar jaket sambil berdiri kikuk, membuat orang belakang mulai gelisah. Karena tidak mungkin mundur dari antrean, aku akhirnya bayar dengan koin receh cadangan. Malu? Tentu. Tapi terpaksa. Dalam perjalanan, rasa penasaran menggerogoti. Karena otak tidak bisa menerima kenyataan kehilangan itu, aku menepi dan menyusuri jalan yang tadi kulewati. Angin sore menerpa wajah, dan setiap daun yang bergerak seperti mengejek: “Uangmu jatuh ke mana, hah?” Hasilnya nol besar. Sampai rumah, aku langsung mengobrak-abrik semua sudut. Karena pikiranku bersikeras uang itu pasti ‘tersel...

Untung Bukan Pengurus Partai

Pagi itu, Karno memandangi layar ponsel dengan wajah masam. Di berandanya, wajah Danu terpampang jelas dalam foto—berdasi merah, tersenyum bersama deretan petinggi partai. Caption-nya berbunyi: “Bersama kawan seperjuangan, saatnya berbuat nyata lewat jalur politik.” “Lucu,” gumam Karno. “Dulu katanya politik itu najis.” Ia meneguk kopi sachet yang sudah dingin. Tangannya gemetar sedikit—bukan karena kafein, tapi karena kenangan yang tiba-tiba muncul: Danu yang dulu duduk di serambi masjid kampus, berapi-api bicara tentang amar makruf nahi mungkar, tentang menjaga kemurnian dakwah dari urusan dunia. Sekarang, Danu itu duduk di kursi kekuasaan. Siangnya, mereka bertemu di warung soto depan kantor kelurahan. Kebetulan, atau mungkin takdir yang gemar bercanda. Danu datang dengan mobil partai, Karno dengan motor tuanya yang berasap. “Karno!” seru Danu, senyum lebarnya seperti spanduk kampanye. “Lama nggak ketemu, Danu,” jawab Karno datar. Mereka duduk berhadapan. Awalnya basa-basi—tentang h...

Membersamai Ketika Sakit

Malam ini, lampu rumah sakit seperti mata-mata yang tak pernah tidur. Aku duduk di kursi plastik, menjaga istri yang baru saja keluar dari operasi kista. Semua terasa pelan—detak infus, nafasnya yang berat, sampai degup jantungku sendiri. Tidak ada keluarga yang datang. Tidak ada saudara yang menjenguk. Semua memang atas pilihanku. Aku tidak ingin ada wajah-wajah khawatir yang justru membuat beban semakin berat. Biarlah hanya aku yang tahu, betapa rapuhnya ia saat ini. “Papah, haus…” katanya lirih. Aku buru-buru mendekat, menyodorkan sedotan ke bibirnya. Tangannya gemetar, matanya sayu. Dan di momen itu, aku merasa seperti anak kecil yang ingin menangis tapi harus kuat. Sepanjang malam aku belajar jadi perawat, jadi penjaga, jadi teman bicara, bahkan jadi bantal untuknya bersandar. Kadang tubuhku protes—pinggang nyeri, mata perih karena kurang tidur. Tapi aku tetap di sini. Bagaimana mungkin aku pergi, sementara ia berjuang menahan sakit? Sesekali ponselku bergetar, pesan masuk dari te...

Keributan di Linimasa

“Serius, Bro, kita penjarain aja biar kapok!” tulis akun dengan foto profil masjid, tapi kalau diintip isi feed-nya penuh jualan madu sunnah dan minyak zaitun. Aku ngakak. Bayangin, aku dipenjara cuma karena status di Facebook: “Partai Keadilan Sejahtera dan Jamaah Tarbiyah ini kok makin mirip fanbase K-Pop, ya? Ributnya nggak kira-kira.” Sejak itu linimasa kayak pasar malam. Ada yang teriak aku liberal, ada yang nuduh aku agen Yahudi, ada juga yang lebih kreatif: “Dia ini cebong bersarung!” Yang bikin ngakak lagi, ada kawan lama dari jamaah yang japri: “Mas, hati-hati ya. Serius, ada rencana laporan polisi. Tapi tenang, nggak jadi. Mereka masih inget, dulu ente yang bantu ngurus izin demo akbar di Senayan. Kalo nggak, acara bisa bubar sebelum mulai.” Aku cuma bisa garuk kepala. Jadi ternyata jasa masa lalu masih jadi jimat pengaman. Di medsos, drama makin seru. Akun-akun anonim bikin thread panjang, lengkap dengan potongan ayat, seakan-akan aku ini penjahat negara. Sementara aku? Lagi...

Pergi dan Jangan Kembali

Aku masih ingat malam itu, tepat di serambi masjid kampus, udara dingin, tapi kata-kata yang keluar lebih panas dari kopi yang belum sempat kuminum. “Kalau memang nggak cocok lagi, pergi saja. Tapi jangan kembali.” Kalimat itu datang dari seorang kawan seperjuangan, atau dulu kusebut begitu. Lucu, ya. Dulu kami sama-sama teriak soal ukhuwah, solidaritas, bahkan katanya sampai surga bareng-bareng. Tapi rupanya surga pun ada pintu keluarnya. Aku dianggap mengkhianati “jalan lurus” hanya karena mulai bertanya, hanya karena bilang bahwa hidup tidak bisa selalu dilihat hitam putih. Aku pergi tanpa drama, hanya meninggalkan buku-buku yang dulu kucatat penuh semangat. Bukan karena aku benci, tapi karena aku bosan dengan kaku. Bosan dengan klaim “kami paling benar”, seakan Tuhan punya satu cabang resmi di bumi, lengkap dengan kartu anggotanya. Sekarang aku berjalan sendiri, kadang tersandung, kadang bingung. Tapi anehnya, aku lebih tenang. Tidak lagi sibuk mengukur iman orang lain, tidak lagi ...

Aktivis Dakwah yang Berubah menjadi Kaum Liberal

Jadi gini. Hidup itu lucu. Dulu, waktu kuliah, Bima adalah definisi role model versi dakwah kampus: ngomongnya berat, jalannya lurus, dan kalau marah matanya bisa bikin mading rohis bergetar. Dia hafal ayat, hafal orasi, dan hafal nama semua tokoh pergerakan Islam abad 20. Pokoknya, kalau ada “serangan pemikiran” di kampus, dia yang maju duluan. Sekarang? Ya Tuhan. Yang tersisa dari “pejuang akidah” itu cuma akun Instagram dengan bio: Freedom is my only religion. Postingannya? Seperti kuliah filsafat yang ditulis anak magang—nggak jelas, tapi banyak yang merasa keren. Dia pernah nulis, “Tuhan mungkin mati, tapi kopi susu dan rokok linting akan selalu hidup.” Lalu upload foto dirinya di bar, lengkap dengan ekspresi look at me, I’m profound. Aku nggak tahu kapan tepatnya dia pindah keyakinan—atau pindah kesetiaan. Katanya sih, semua berawal waktu kerja di NGO internasional, ketemu orang-orang liberal dari lima benua. Dari situ, Bima mulai “melepaskan” semua beban moral kampus. Katanya, h...

Bayang-Bayang Kaibon Banten

Tahun 1832. Asap masih belum hilang dari reruntuhan Kaibon, istana megah yang dulu jadi kebanggaan Banten. Batu-batunya masih hangat, seperti menyimpan murka. Tak ada denting gamelan, tak ada suara dayang berbisik. Hanya desir angin dan langkah sepatu Belanda yang membelah puing-puing sejarah. Letnan van der Graaf berdiri mematung di depan sisa pilar Kaibon, tangan kirinya memegang sketsa istana yang kini tak berarti. “Tak ada kerajaan yang lebih besar dari pemerintah Hindia-Belanda,” ucapnya dingin, seolah membekukan waktu. Di balik reruntuhan, seorang pemuda Banten, Ra’i, mengintip. Napasnya pendek. Dadanya penuh amarah. Ia menyaksikan sendiri Kaibon dibakar, tempat ibunya dulu bekerja sebagai pelayan sultanah. Matanya menatap jauh ke arah benteng yang porak-poranda—Benteng Speelwijk. Tempat pertahanan terakhir, kini hanya rangka besi tua dan dinding jebol. Dihancurkan bukan oleh musuh asing, tapi oleh tipu daya dagang, manipulasi politik, dan perpecahan bangsawan sendiri. Runtuhnya ...

Teman yang Kita Dulu Sama-sama Susah

“Eh, itu Damar, kan?” gumam Tebe sambil memelototi layar ponselnya. Foto seorang pria berdasi, dengan senyum ramah di backdrop bertuliskan “Pelantikan Pejabat Eselon II”. Komentar di bawahnya seperti parade ucapan selamat. Tebe mendesah. Tangannya berhenti menggulir. Di tangannya ada gorengan setengah dingin yang sudah tak menggugah selera. Dulu, Damar itu temannya satu kelas di SMA. Duduk paling belakang, langganan nggak bawa PR, dan kalau ujian selalu nanya, “Lu udah belajar belum, Teb?” Sekarang? Damar jadi Kepala Dinas. Bukan iri, sih. Tapi… ya mungkin iya, dikit. Tebe masih jadi staf administrasi kontrak di perusahaan kecil, gaji pas-pasan, anak dua, cicilan motor belum lunas. Dulu mereka ngeluh bareng soal sepatu bolong dan warteg langganan. Tapi hidup kayak punya GPS masing-masing—dan jelas punya destinasi yang beda. Beberapa hari lalu, Tebe nekat DM Damar di Instagram. Cuma dibaca. Nggak dibalas. Waktu yang dulunya bisa bikin dua anak remaja ngobrol tentang hidup dan cinta mony...

Di Ingatanku, Kamu Masih Anak-Anak Meski Ragamu Semakin Menua

“Woy, Heru! Masih inget nggak, dulu kamu paling takut sama Bu Nurul, sampe ngompol di kelas?” Tawa pecah di teras rumah tua yang dulu jadi basecamp kami. Heru hanya nyengir. Sisa rambutnya mulai memutih, perutnya tak lagi ramping, dan geraknya sudah lambat. Tapi buat kami, Heru masih anak SMA yang suka nyontek PR Matematika dan jago main kelereng. Aku, Roni, dan Iqbal masih manggil dia “Heru kecil” walaupun sekarang dia punya tiga anak dan satu ginjal yang udah nggak berfungsi penuh. Dulu, dia paling cerewet, sekarang lebih banyak diam. Dulu, dia paling ngocol, sekarang sering lupa nama temen sekelas. “Aku tuh kadang ngerasa, kalian semua nggak pernah tua,” kata Heru pelan, matanya menerawang. “Ya karena kita udah tua bareng,” jawabku. “Tapi di kepala ini, kalian semua masih bocah. Masih pakai celana SMP, masih naik sepeda ke sekolah, masih rebutan jajan cilok di warung Mbah Salim.” Semua diam sejenak. Ada jeda yang menggantung antara nostalgia dan kenyataan. Seringkali, waktu nggak te...

Dika Bukan Lelaki Baik, Katanya

“Aku cuma khawatir, Nis. Mas Dika itu udah nggak pernah ikut pengajian, postingannya soal agama juga makin aneh. Dia ngajarin anak-anakmu pluralisme, feminisme, bahkan nulis status soal ‘Tuhan tak butuh dibela’. Apa kamu yakin rumah tangga kamu aman?” Kalimat itu meletup dari mulut Sinta, mantan ketua halaqoh kampus, saat mampir ke rumah Nisa, hari Sabtu siang yang awalnya tenang. Dari ruang kerja, Dika mendengarnya tanpa sengaja. Laptopnya terbuka, anak bungsunya tidur di pangkuan, dan kertas tagihan sekolah baru saja selesai ia lunasi. Sudah bukan pertama kali. Komentar seperti itu sudah akrab mampir lewat WA, DM, dan mulut-mulut teman lama yang katanya "sayang" padanya. Tapi kali ini agak keterlaluan. Sinta langsung menuding rumah tangga Nisa retak cuma karena ideologi suaminya tak lagi satu arah dengan komunitas lamanya. “Aku tahu kamu dulunya ketua BEM syar’i. Tapi sekarang, aku lihat suamimu... terlalu liar.” Nisa mengangkat alis. “Liar? Maksudmu, karena dia nggak lagi ...

Hantu yang Tidak Tahu Arah Surga

Sudah tiga malam Uwi duduk di atas lemari, diam-diam, melihat anak dan suaminya tidur. Bukan karena tidak punya tempat lain, tapi karena sejak jadi hantu, ia tak tahu harus ke mana. Jangankan tahu arah surga, nembus plafon saja masih takut nyangkut. Dulu, sebelum mati, Uwi sering bilang dalam hati, “Kalau aku mati, bagaimana suamiku? Bagaimana anak-anak makan? Apa mereka masih pakai baju yang aku lipat?” Tapi ternyata, waktu mati beneran, yang bikin sesak bukan soal cucian kotor atau dapur kosong. Tapi melihat kenyataan bahwa hidup tetap berjalan… tanpa dirinya. Suaminya sempat sedih. Dua minggu. Setelah itu, mulai rajin pakai minyak rambut. Uwi tahu arah ceritanya. Benar saja. Tiga bulan kemudian, datang perempuan baru. Bawa rendang, senyum sok sopan. Anak Uwi dipanggil "sayang" dengan suara yang terlalu manis, seperti teh yang kelamaan direndam. Uwi hanya bisa mengambang di langit-langit ruang tamu, sambil sesekali ngusir nyamuk, padahal dia tak bisa digigit lagi. Namun yan...

Kalau Aku Mati, Siapa yang Bayar Galon?

Tebe lagi nyetrika baju anak-anaknya sambil nyalahin hidup. Bukan karena setrikaan panasnya bocor, tapi karena pikirannya udah mendidih duluan. “Kalau aku mati, siapa yang bayar galon?!” Kalimat itu nggak penting buat orang normal. Tapi buat Tebe, itu kayak pertanyaan filsafat hidup. Berat, ngilu, dan bikin lambungnya kumat. Pikiran soal mati itu kayak tamu tak diundang yang nongol tiap malam. Kadang pas lagi ngaduk susu buat si bungsu, kadang pas lagi ngupil di kamar mandi. Tebe cemas. Cemas banget. Bukan takut neraka, tapi takut tagihan listrik lupa dibayar kalau dia mati mendadak. “Teb, kamu kenapa sih sekarang jadi pendiam? Dulu mah kamu kayak keran bocor, ngomong terus,” tanya istrinya sambil ngelipet celana. Tebe cuma senyum kecut. Nggak tega jawab, kalau dalam pikirannya, tiap detik tuh kayak film pendek berjudul: “Pemakaman Ayah dan Anak-anaknya yang Kebingungan Bawa Kartu Keluarga.” Saking cemasnya, Tebe sampai nyari artikel: “Cara Menyiapkan Anak-anak Jika Ayah Mati Mendadak....

Aku Mimpi Mati

Pukul dua dini hari. Hujan masih menggantung di luar jendela, seperti sisa doa yang ditinggalkan tergesa. "Aku mimpi mati," gumam Damar, tangannya masih memegang bungkus rokok yang belum sempat dibuka. Ia duduk sendirian di kursi ruang tamu, menatap televisi yang sejak tadi mati. Bukan karena listrik padam. Tapi karena hidup kadang memang memilih diam sebagai bentuk bicara yang paling keras. “Ada apa, Mar?” suara ibunya dari balik pintu kamar. “Enggak. Cuma... tiba-tiba kepikiran, kalau aku mati malam ini, siapa yang bakal nyari jasadku?” katanya pelan. Ibunya terdiam. Tidak menjawab. Karena orang tua tahu, kematian bukan sesuatu yang bisa dibantah dengan kata-kata. Damar bangkit. Menyalakan televisi. Yang muncul hanya bayangan dirinya sendiri. Sekejap, ia merasa seperti sedang menonton tayangan ulang tentang hidupnya yang tak terlalu penting. Tak ada pencapaian. Tak ada gelar. Tak ada cinta. Hanya kenangan-kenangan yang berlari-lari kecil di lorong waktu, menyodok pikirannya...

Ternyata Begini Cara Cepat Naik Jabatan....

“Aku tuh heran, kenapa yang naik jabatan malah si Fadli?” Tebe nyeletuk sambil duduk di bangku kayu dekat garasi pabrik, bekas tempat naruh helm yang sekarang berubah jadi kursi curhat karyawan transportasi. Bowo, sopir paling senior di divisi itu, nyengir sambil ngelap spion truk boks. “Karena dia rajin, Be. Rajin nempel sama bos.” “Ya itu maksudku!” balas Tebe cepat. “Kita yang kerja bener, dateng pagi, pulang sore, ngurus surat jalan, malah nggak keangkat. Dia yang sering ngilang, malah naik gaji. Dunia kerja tuh emang dunia tipu-tipu.” Mesin truk meraung, tapi suara hati Tebe lebih bising. Ia bukan iri, katanya dalam hati. Cuma... kenapa rasanya perut mules tiap lihat Fadli ngopi sambil senyum-senyum di ruang HR? “Be, ridho itu bukan soal rela orang lain senang, tapi paham bahwa rezeki tiap orang udah punya jalurnya masing-masing,” Bowo akhirnya angkat bicara sambil jongkok ngiket tali sepatunya. Tebe diam. Rasa kesal mengendap kayak oli hitam di genangan belakang pabrik. Pas malam...

Apakah Kamu Dapat Ikhlas dengan Kemalangan?

“Aku tuh bukan nggak mau ikhlas, Yahya. Tapi kok ya kemalangan milih-milih ya, giliran aku yang disamperin tiap minggu,” gerutu Tebe sambil mengaduk teh manis yang udah dua kali diangetin ulang di dapur santri. Yahya ngakak. “Berarti kamu santri terpilih, Be. Ujian dulu baru naik kelas. Kayak sinetron.” Ramadhan tahun ini panasnya beda. Di pondok, suasana makin lengket antara puasa, hafalan, dan tugas nyuci piring. Tapi entah kenapa, buat Tebe, yang paling berat justru bukan itu. “Udah seminggu sendal hilang, motor rusak, nilai tafsir jeblok, terus... surat dari rumah isinya: ‘Bapakmu sakit, tapi tetap semangat ya!’ Lha? Aku malah bingung, ini yang sakit siapa yang butuh semangat siapa?” Yahya nyengir, “Jadi kamu marah sama takdir?” “Bukan marah. Cuma... ya kesel aja. Hidup kok kayak lomba apes.” Maghrib nyaris tiba. Di langgar pondok, suara adzan mulai berkumandang. Tebe ngelirik langit. Hatinya gerimis, meski mulutnya bisa nyengir. “Nggak apa-apa kan kalau aku belum ikhlas sepenuhnya...

Negara Ganti Kebijakan, Aku Tetap Makan

“Apa? Pajak naik lagi?!” Suara Pak Joni menggema di warung pecel lele. Aku menyesap teh hangat, malas menanggapi. “Dulu dibilang nggak bakal ada pajak tambahan, eh sekarang malah dinaikkan! Giliran rakyat kecil yang kena lagi,” lanjutnya sambil menyumpah-nyumpah. Aku mengaduk nasi, menghela napas pelan. Sudah biasa. Pemerintah bikin aturan, rakyat marah, lalu tetap hidup seperti biasa. Besok harga cabe bisa naik, orang-orang akan lupa pajak dan mulai ngomel soal tukang sayur. “Mas, menurutmu gimana?” Pak Joni menatapku, menunggu dukungan. Aku mengunyah dulu, lalu berkata, “Mau marah juga nggak bikin perut kenyang, Pak.” Dia mengernyit. “Maksudnya?” Aku menaruh sendok. “Negara ini sudah kayak cuaca. Hari ini panas, besok hujan, lusa entah badai atau kemarau. Mau ngeluh terus juga nggak bakal bikin hidup lebih enak.” Pak Joni mendengus. “Tapi kita rakyat kecil harus bersuara!” Aku mengangguk. “Benar. Tapi setelah suara kita didengar, lalu apa? Kita tetap harus kerja, tetap harus ...

Mungkin Pencarianku Tidak Perlu Diteruskan

“Apa kamu sudah menemukan yang paling benar?” tanya Wawan sambil menyeruput kopinya. Aku terdiam. Sudah seminggu ini aku sibuk membaca, menonton ceramah, dan bertanya ke sana kemari. Tapi semakin banyak yang kudengar, semakin bingung aku dibuatnya. "Ahlussunnah wal Jamaah yang paling benar!" kata seorang ustadz di YouTube. "Tidak! Kembali ke Quran dan Sunnah tanpa bid’ah, itulah yang benar!" sergah yang lain. "Kalian semua sesat! Yang benar cuma kami!" suara seorang dai garis keras memenuhi pikiranku. Aku mengacak rambut. "Kenapa semuanya merasa paling benar, ya?" gumamku. Wawan terkekeh. “Gus Dur pernah bilang, ‘Agama itu bukan untuk saling menyalahkan, tapi untuk saling memahami.’” Aku mendongak. “Jadi?” “Jadi, ya sudah, ibadah saja yang benar. Kalau ujungnya cuma debat tanpa akhlak, buat apa?” Wawan mengangkat bahu. Aku menghela napas panjang. Dalam pencarianku, aku terlalu sibuk bertanya siapa yang paling benar, sampai lupa bertanya:...

Tuhan dan Logika yang Tidak Tuntas

"Kalau Tuhan memang ada, kenapa dia membiarkan penderitaan terjadi?" Suara Damar memenuhi ruangan kecil itu. Tangannya memegang rokok yang sudah hampir habis, asapnya mengepul ke langit-langit kamar kos. Aku menatapnya sebentar, mencoba mencari jawaban yang tidak klise. "Karena mungkin Tuhan bukan tentang menghentikan penderitaan, tapi tentang memberi kita keberanian untuk melewati semuanya," jawabku pelan. Damar tertawa kecil, suara cemooh yang lebih terdengar seperti keputusasaan. "Klise banget. Jadi menurut lo, Tuhan cuma alasan manusia buat nggak ngerasa sendirian? Semacam penghiburan?" Aku terdiam. Apa salahnya jika memang begitu? Damar melanjutkan, "Gue rasa, Tuhan itu kayak jawaban ujian yang kita nggak tahu. Kalau lo nggak ngerti soal, lo tinggal nulis ‘Tuhan’ aja, beres." Pikiranku melayang pada malam-malam panjang yang pernah kulewati. Waktu aku kehilangan pekerjaan, dihantam kenyataan hidup yang kejam, aku memang mencari Tuhan—bukan ka...

Aliran Islam Mana yang Paling Benar?

"Ustaz, aliran Islam mana yang paling benar?" tanya seorang pemuda berkopiah putih di tengah majelis. Suasana pengajian mendadak hening, hanya suara kipas angin tua yang terdengar. Ustaz itu tersenyum tipis, menarik napas panjang sebelum menjawab, "Tentu aliran yang saya ajarkan ini. Karena inilah jalan yang lurus, satu-satunya yang akan menyelamatkan kalian di akhirat nanti." Aku, yang duduk di barisan belakang, mengerutkan kening. Jawaban itu terasa mutlak, seperti menutup ruang bagi pemikiran lain. Aku teringat ceramah Quraish Shihab yang kutonton di televisi seminggu lalu. Ketika mendapat pertanyaan serupa, beliau menjawab dengan tenang, "Semua boleh jadi benar, karena manusia hanya berusaha memahami Tuhan lewat keterbatasan mereka." Setelah pengajian selesai, aku mendekati pemuda tadi. "Apa menurutmu jawaban ustaz tadi masuk akal?" tanyaku. Dia menatapku dengan mata berbinar, penuh keyakinan. "Tentu saja, Mas. Kalau nggak percaya sama u...

Bayangan di Cermin

"Dia cuma beruntung!" seru Reza, mematikan video YouTube yang menampilkan Fikri, teman lamanya, sedang diwawancarai sebagai pengusaha sukses. "Kalau dulu gue dapet peluang kayak dia, gue juga bisa kayak gitu!" Reza bersandar di kursinya, menatap layar laptop yang kosong. Di kepalanya, bayangan masa lalu berputar. Fikri dulu hanya anak biasa di kampus, tidak menonjol, sering pinjam catatan, bahkan sering diejek. Dan sekarang? Dia jadi bintang, dengan mobil mewah dan bisnis yang disebut-sebut inspiratif. Reza membuka media sosial Fikri. Ia memindai foto-foto sukses itu dengan pandangan sinis. "Ah, siapa juga yang nggak bisa kalau modalnya gede!" gumamnya. Dalam pikirannya, ia yakin bahwa Fikri tidak sehebat itu—hanya kebetulan berada di tempat dan waktu yang tepat. Namun, semakin ia mencari celah untuk menjelekkan Fikri, semakin ia merasa kecil. Setiap foto dan video yang dilihatnya menjadi pengingat akan keputusan-keputusan yang ia lewatkan. Malam itu, Reza...