Dalam dunia konseling, mendengarkan itu adalah inti. Seorang konselor, psikolog, atau terapis bekerja bukan untuk sekadar memberi solusi, tapi hadir—menjadi ruang aman bagi klien untuk bercerita, melepaskan beban, mengurai luka. Tapi di balik peran mulia itu, ada kenyataan yang nggak banyak dibahas: apa kabar hati dan pikiran si pendengar?
Saat mendengarkan curhat klien yang penuh trauma, kemarahan, dosa, hingga kisah pengkhianatan—mau tak mau, konselor menyerap emosi-emosi itu. Ini yang disebut dengan istilah emotional residue atau compassion fatigue. Dalam jangka panjang, pendengar bisa kelelahan, kebawa suasana, bahkan terpengaruh secara emosional. Sama seperti orang yang kebanyakan nyium bau sampah, lama-lama ikut bau.
Sigmund Freud pernah melakukan pendekatan unik: ia duduk membelakangi klien saat sesi konseling. Tujuannya bukan untuk tidak sopan, tapi untuk menjaga jarak dari ekspresi wajah, emosi, dan cerita personal klien agar tidak mengganggu dirinya secara pribadi. Freud sadar bahwa menjadi “penampung” tanpa batas bisa membuat batas profesional runtuh.
Kasus dalam tradisi keagamaan juga menarik untuk dikaitkan. Dalam praktik pengakuan dosa, seorang umat datang ke pendeta dan menceritakan seluruh beban dosanya. Pertanyaannya: bagaimana sang pendeta menanggung semua cerita gelap itu? Apakah tidak mempengaruhi mental dan pikirannya? Sama seperti konselor, mereka butuh batas, proteksi batin.
Psikolog Carl Rogers menekankan pentingnya unconditional positive regard, tapi ia juga menekankan bahwa seorang terapis harus punya self-awareness dan boundaries. Artinya, mendengar dengan empati, tapi tidak menyerap semuanya ke dalam diri. Seorang terapis harus paham kapan ia mulai kelelahan secara emosional, kapan harus supervisi, dan kapan perlu self-care.
Dr. Gabor Maté, pakar trauma, juga mengingatkan bahwa “we cannot help others heal unless we are in touch with our own pain.” Tapi itu bukan berarti menanggung semuanya. Itu berarti menyadari batas—kapan mendengarkan, dan kapan merawat diri sendiri.
Karena pada akhirnya, terapis juga manusia. Mereka bukan wadah tak terbatas. Maka, penting bagi setiap praktisi konseling untuk belajar teknik detachment, meditasi, journaling, dan supervisi rutin. Karena kesehatan mental mereka juga perlu dijaga—agar mereka bisa terus membantu orang lain dengan jernih dan utuh.
Komentar
Posting Komentar