Pukul dua dini hari. Hujan masih menggantung di luar jendela, seperti sisa doa yang ditinggalkan tergesa.
"Aku mimpi mati," gumam Damar, tangannya masih memegang bungkus rokok yang belum sempat dibuka.
Ia duduk sendirian di kursi ruang tamu, menatap televisi yang sejak tadi mati. Bukan karena listrik padam. Tapi karena hidup kadang memang memilih diam sebagai bentuk bicara yang paling keras.
“Ada apa, Mar?” suara ibunya dari balik pintu kamar.
“Enggak. Cuma... tiba-tiba kepikiran, kalau aku mati malam ini, siapa yang bakal nyari jasadku?” katanya pelan.
Ibunya terdiam. Tidak menjawab. Karena orang tua tahu, kematian bukan sesuatu yang bisa dibantah dengan kata-kata.
Damar bangkit. Menyalakan televisi. Yang muncul hanya bayangan dirinya sendiri. Sekejap, ia merasa seperti sedang menonton tayangan ulang tentang hidupnya yang tak terlalu penting.
Tak ada pencapaian. Tak ada gelar. Tak ada cinta. Hanya kenangan-kenangan yang berlari-lari kecil di lorong waktu, menyodok pikirannya dengan tanya: "Sudah cukupkah kamu menjadi manusia?"
Kematian tak datang dengan drama. Tidak dengan suara malaikat atau arwah penasaran. Kadang, ia hanya berupa rasa sepi yang terlalu sunyi, terlalu dingin, hingga dada tak sanggup lagi menggigil.
Dan di pagi hari, saat ibunya membangunkannya untuk sahur, Damar tak membuka mata.
Tangannya masih memegang bungkus rokok yang belum terbuka.
Di televisi, berita duka bergulir, seperti hiburan terakhir bagi yang ditinggal.
"Kematian," tulis Agus Noor, "kadang hanya sejarak satu helaan nafas yang tertunda."
Komentar
Posting Komentar