Beberapa waktu lalu, aku ngobrol sama seorang teman yang bilang, “Aku nggak percaya Tuhan sebagai sosok, tapi aku percaya pada ketuhanan.” Awalnya aku bingung. Tapi setelah dia jelasin, aku paham maksudnya: yang dia maksud bukan menolak nilai-nilai luhur, tapi menolak membayangkan Tuhan sebagai “pribadi” di awan yang memantau hidup kita.
Ketuhanan, kata dia, adalah praktik. Ia bukan soal menghafal nama-nama suci atau memikirkan bentuk Tuhan yang tak pernah kita lihat. Ketuhanan itu ya… ketika kita berlaku adil meski tidak ada yang melihat, ketika kita menolong orang tanpa pamrih, ketika kita menjaga janji walau itu merugikan diri sendiri. Sifat-sifat yang sering kita sebut sebagai “sifat Tuhan”—penyayang, pengampun, adil—itu yang harus kita hidupkan.
Kalau dipikir, banyak orang yang percaya Tuhan tapi jarang menghidupi ketuhanan. Rajin ibadah, tapi mudah marah. Hafal kitab suci, tapi suka menipu. Ketuhanan, dalam arti ini, menjadi lebih nyata daripada Tuhan yang sekadar jadi konsep atau nama dalam buku.
Aku mulai merasa, mungkin dunia akan lebih baik kalau orang fokus pada ketuhanan—pada esensi nilai—daripada sibuk memperdebatkan sosok Tuhan. Karena ketuhanan bisa dirasakan dan dibuktikan lewat tindakan. Ia tidak butuh patung, gambar, atau bahkan definisi pasti.
Ketuhanan tidak menjawab pertanyaan “siapa Tuhan?” tapi menjawab “bagaimana hidup kita seharusnya?”. Dan mungkin, di situlah Tuhan—entah ada atau tidak sebagai sosok—menemukan wujud-Nya: di hati manusia yang mempraktikkan kasih, keadilan, dan kebaikan setiap hari.
Komentar
Posting Komentar