Kadang kita ke minimarket cuma niat beli sabun, eh pulangnya bawa keranjang isi snack, minuman kekinian, sampai lilin aromaterapi. Fenomena ini bukan kebetulan, tapi salah satu bentuk emotional spending — keputusan belanja yang lebih banyak dipicu perasaan daripada kebutuhan riil. Kita belanja bukan karena butuh, tapi karena “pengin” atau merasa “pantas dapet hadiah” setelah hari yang melelahkan.
Ekonom sekaligus penulis buku “The Psychology of Money”, Morgan Housel, menyebut bahwa uang bukan hanya soal angka, tapi soal emosi dan perilaku. Banyak keputusan finansial buruk bukan karena kurangnya ilmu, tapi karena ketidakmampuan mengelola emosi. Ketika sedih, stres, atau bahkan terlalu bahagia, otak kita cenderung melemah dalam pengambilan keputusan rasional. Akibatnya, belanja jadi pelampiasan, bukan pemenuhan.
Daniel Kahneman, peraih Nobel Ekonomi, dalam Thinking, Fast and Slow, menjelaskan bahwa otak punya dua sistem: cepat (emosional) dan lambat (rasional). Saat belanja impulsif, yang aktif biasanya sistem cepat. Kita nggak sempat mikir panjang, langsung ambil barang karena merasa “ini bikin aku bahagia.”
Cerita klasiknya: orang habis putus cinta beli sepatu mahal, bukan buat jalan-jalan, tapi biar ngerasa berharga kembali. Padahal, besoknya nyesel karena limit kartu kredit jebol.
Solusinya? Coba jeda. Tunda 24 jam sebelum beli barang yang nggak direncanakan. Tulis daftar belanja. Dan paling penting, sadari bahwa bahagia itu bukan dari barang, tapi dari ketenangan kepala dan dompet.
Belanja boleh, tapi jangan sampai dompet jadi korban mood swing.
Komentar
Posting Komentar