Tuhan sering disebut ada di mana-mana: di udara, di hati manusia, di balik peristiwa, bahkan di dalam setiap hela napas. Tapi itu hanya pernyataan tanpa bukti. Dalam sains, keberadaan sesuatu harus bisa diverifikasi, diuji, dan diulang hasilnya. Tuhan tidak memenuhi syarat itu. Maka, secara metodologis dan epistemologis: Tuhan tidak ada.
Kalimat "Tuhan ada di mana-mana" adalah bentuk pelarian dari ketidaktahuan. Itu jawaban klise dari pertanyaan yang tidak bisa dijawab. Jika Tuhan benar ada di mana-mana, seharusnya keberadaan-Nya bisa dideteksi. Tapi tak ada alat ukur, tak ada observasi, dan tak ada bukti empiris yang bisa memastikan bahwa Tuhan eksis, apalagi "di mana-mana".
Neurosains menunjukkan bahwa pengalaman spiritual bisa dijelaskan lewat aktivitas otak. Ilusi kehadiran "entitas ilahi" muncul dari proses neurologis tertentu. Artinya, keberadaan Tuhan adalah produk dari sistem saraf manusia. Tuhan bukan entitas eksternal, tapi proyeksi internal. Dengan kata lain: Tuhan tidak ada, kecuali dalam pikiran manusia.
Konsep Tuhan adalah konstruksi budaya, bukan realitas objektif. Ia dibentuk oleh bahasa, mitos, dan kebutuhan psikologis untuk merasa aman di tengah ketidakpastian. Keberadaan Tuhan dalam setiap agama pun berbeda-beda—semua diciptakan oleh komunitas tertentu dengan latar sejarah dan sosial mereka.
Jadi, menyimpulkan bahwa Tuhan bukan ada di mana-mana, tapi memang tidak ada, bukan berarti menolak etika, nilai, atau empati. Justru dari kesadaran bahwa kita sendirilah yang bertanggung jawab, kita bisa hidup lebih jujur, rasional, dan manusiawi. Karena satu hal yang pasti: realitas tidak butuh Tuhan untuk tetap berjalan.
Komentar
Posting Komentar