Nggak semua luka kelihatan bentuknya. Kadang, yang paling dalam justru nggak berdarah, tapi membekas di dalam hati sejak kecil. Luka batin di masa kecil — entah karena dimarahi tanpa alasan, dibanding-bandingkan, diabaikan, atau dituntut sempurna — seringnya nggak selesai di masa itu. Ia ikut tumbuh, diam-diam, dan tiba-tiba muncul lagi saat kita dewasa.
Inner child adalah bagian dari diri kita yang membawa emosi, pengalaman, dan persepsi masa kecil. Psikolog dan praktisi parenting seperti Najelaa Shihab dan Seto Mulyadi (Kak Seto) pernah bilang, masa kanak-kanak adalah fondasi utama karakter dan mentalitas seseorang. Kalau masa itu penuh luka dan nggak pernah diakui atau disembuhkan, maka di masa dewasa kita mudah merasa overthinking, sulit percaya orang lain, atau gampang marah tanpa tahu kenapa.
Contohnya, orang yang dulu sering dimarahi karena menangis bisa tumbuh jadi orang dewasa yang menahan-nahan perasaan dan merasa bersalah saat sedih. Atau yang dulu sering dibandingkan, sekarang jadi keras ke diri sendiri dan takut gagal.
Solusinya? Hadapi inner child, bukan lari. Ajak ngobrol diri sendiri. Sadari bahwa kamu dulu cuma anak kecil yang butuh dimengerti. Terapi juga bisa bantu, termasuk journaling dan meditasi. Yang penting, jangan abaikan luka batin itu. Menerima masa lalu bukan berarti menyerah, tapi bentuk paling jujur dari usaha sembuh. Karena kalau kamu bisa memeluk anak kecil dalam dirimu, kamu sedang menyelamatkan versi dewasa dari dirimu juga.
Komentar
Posting Komentar