Hari itu, aku duduk berdua dengan ayah di teras rumah. Kami membicarakan tetangga yang baru saja menjual sawah demi berangkat haji. Tak ada yang salah dengan niat ibadah. Tapi ayah menggumam pelan, “Kalau buat haji harus ngutang, anak putus sekolah, apa iya itu yang Tuhan mau?” Pikiranku tak tenang sejak itu. Dalam tradisi kita, naik haji adalah puncak ibadah, semacam “gelar kehormatan” rohani. Namun, di dunia hari ini yang makin kompleks, aku mulai mempertanyakan: apakah pergi ke Mekkah lebih penting daripada menyekolahkan anak sampai kuliah? Lebih utama dari melunasi utang yang membebani orang lain? Apa Tuhan lebih mendengar doa dari Ka'bah dibanding dari dapur seorang ibu yang berjuang memberi makan anaknya? Secara filosofis, haji memang simbol penyatuan, pengorbanan, dan ketundukan pada Tuhan. Tapi simbol tak lebih penting dari makna. Jika makna itu bisa diwujudkan lewat tindakan konkret — menolong sesama, menyelesaikan tanggung jawab, mencintai keluarga — bukankah itu lebih sp...