Dalam sains modern, terutama dalam neurosains dan biologi evolusioner, istilah ruh atau jiwa nggak punya tempat yang pasti. Kalau kita tanya, “Di mana letak jiwa manusia?” para ilmuwan akan mengernyit, lalu menunjuk ke otak. Daniel Dennett, dalam bukunya Consciousness Explained, menyebut kesadaran dan apa yang kita kira sebagai “jiwa” itu sebenarnya hasil dari proses kompleks dalam otak—bukan entitas tak terlihat yang keluar-masuk tubuh.
Begitu juga Stephen Hawking dalam The Grand Design, ia menolak ide bahwa manusia punya “jiwa abadi”. Baginya, manusia adalah sistem biologis yang tunduk pada hukum alam. Ketika tubuh mati, kesadaran berhenti. Ruh? Bagi sains, itu cuma mitos dari ketidaktahuan zaman dulu.
Dalam filsafat, debatnya lebih panjang dan licin. David Hume, filsuf skeptis dari Skotlandia, bilang bahwa konsep “self” atau jiwa hanyalah kumpulan persepsi yang berubah-ubah. Tidak ada “aku” yang utuh dan tetap. Begitu juga Nietzsche, dalam Thus Spoke Zarathustra, menertawakan ide tentang jiwa abadi dan lebih memilih tubuh serta insting sebagai pusat kehidupan manusia.
Jadi, dari kacamata sains dan filsafat kontemporer, jiwa bukan sesuatu yang “ada” secara objektif. Ia hidup di bahasa, budaya, dan keyakinan. Dalam laboratorium? Nggak terdeteksi. Dalam pikiran? Masih bisa diperdebatkan. Mungkin yang kita sebut “jiwa” cuma simbol—cerminan dari kerinduan manusia pada makna yang lebih besar dari sekadar daging dan tulang.
Komentar
Posting Komentar