Kadang kita duduk sendirian di kamar, atau berjalan di trotoar kota yang ramai, tapi entah kenapa merasa kosong. Itu kesepian — rasa terpisah dari sesuatu yang dulu mengisi kita. Kesepian biasanya lahir dari kehilangan, entah orang, tempat, atau perasaan yang dulu kita miliki. Ia membawa kenangan, perbandingan, dan harapan yang tak tercapai.
Tapi ada bentuk “sendiri” yang lain. Bukan kesepian, bukan juga sekadar menikmati waktu me-time. Ini adalah keadaan yang tidak disentuh pikiran, tidak dibentuk oleh tradisi, kata-kata, atau pengaruh orang lain. Jiddu Krishnamurti menyebutnya sebagai keadaan murni yang tidak berasal dari ingatan atau pengenalan.
Bayangkan berdiri di tepi pantai saat senja, tanpa memikirkan siapa yang sedang menunggu, atau foto apa yang harus diunggah. Tidak ada “aku” yang sedang membandingkan diri dengan orang lain. Yang ada hanya suara ombak, angin asin, dan keberadaan yang utuh. Itulah “sendiri” yang dimaksud.
Kesendirian ini adalah berkat, karena ia membebaskan kita dari tuntutan untuk menjadi sesuatu. Tidak ada lagi topeng, pencitraan, atau upaya untuk memenuhi ekspektasi. Di titik itu, kita tidak sedang mencari validasi atau perlindungan dari luar, tapi berdiam dalam ruang batin yang tidak memerlukan penjelasan.
Ironisnya, kita tidak bisa “mencari” keadaan ini. Ia muncul ketika kita berhenti berlari, berhenti menempel pada ingatan, dan berhenti takut pada kata “sendiri.” Di sana, kita menemukan bahwa yang kita sebut kesendirian sejati bukanlah kekosongan — tapi kebebasan.
Komentar
Posting Komentar