Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Filsafat

Tuhan Bukan Ada di Mana-Mana, Tapi Ia Tidak Ada

Tuhan sering disebut ada di mana-mana: di udara, di hati manusia, di balik peristiwa, bahkan di dalam setiap hela napas. Tapi itu hanya pernyataan tanpa bukti. Dalam sains, keberadaan sesuatu harus bisa diverifikasi, diuji, dan diulang hasilnya. Tuhan tidak memenuhi syarat itu. Maka, secara metodologis dan epistemologis: Tuhan tidak ada. Kalimat "Tuhan ada di mana-mana" adalah bentuk pelarian dari ketidaktahuan. Itu jawaban klise dari pertanyaan yang tidak bisa dijawab. Jika Tuhan benar ada di mana-mana, seharusnya keberadaan-Nya bisa dideteksi. Tapi tak ada alat ukur, tak ada observasi, dan tak ada bukti empiris yang bisa memastikan bahwa Tuhan eksis, apalagi "di mana-mana". Neurosains menunjukkan bahwa pengalaman spiritual bisa dijelaskan lewat aktivitas otak. Ilusi kehadiran "entitas ilahi" muncul dari proses neurologis tertentu. Artinya, keberadaan Tuhan adalah produk dari sistem saraf manusia. Tuhan bukan entitas eksternal, tapi proyeksi internal. Den...

Iman Itu Nggak Ilmiah dan Nggak Logis, Tapi Ya Emang Begitu

Kalau kita jujur, iman itu nggak ilmiah dan nggak logis. Iman adalah percaya pada sesuatu yang belum tentu bisa dibuktikan. Dalam sains, sesuatu harus bisa diuji, diamati, dan dibuktikan secara berulang. Tapi dalam iman? Cukup percaya. Nggak perlu bukti, cukup keyakinan. Logika? Bisa iya, bisa enggak. Tapi mayoritas, iman justru menanggalkan logika demi percaya pada sesuatu yang lebih besar dari nalar. Berapa banyak orang percaya surga dan neraka? Padahal nggak ada satupun yang bisa menunjukkan bukti konkret soal tempat itu. Tapi mereka tetap percaya, karena katanya "harus yakin dulu baru paham". Nah, ini jelas beda jalur sama logika. Bertrand Russell, seorang filsuf Inggris, bilang: "Not wanting to die is not evidence for an afterlife." Artinya, keinginan akan sesuatu nggak bisa jadi bukti bahwa itu benar-benar ada. Dalam dunia filsafat, iman digolongkan sebagai bentuk kepercayaan non-rasional. Kierkegaard bahkan menyebut iman sebagai “lompatan ke dalam jurang.” Ma...

Ternyata Manusia Dilahirkan Bukan Diciptakan

Mari kita mulai dengan satu pertanyaan mendasar: adakah bukti empiris bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan? Jawabannya: tidak ada. Sampai detik ini, tidak ada satu pun data ilmiah atau eksperimen yang bisa membuktikan bahwa manusia pertama—entah disebut Adam atau yang lain—muncul karena ciptaan sosok ilahi. Cerita Adam hanyalah narasi mitologis yang tertulis dalam kitab suci, bukan dokumen sejarah atau hasil penelitian ilmiah. Dalam sains, sesuatu dianggap valid jika bisa diamati, diukur, dan direplikasi. Tapi penciptaan manusia versi agama tidak memenuhi tiga kriteria tersebut. Evolusi, sebagai teori ilmiah, memberikan penjelasan lebih masuk akal dan didukung bukti fosil, genetika, hingga kesamaan struktur biologis antar spesies. Charles Darwin tidak pernah menyebut Tuhan dalam proses itu—karena memang tidak ada kebutuhan untuk hipotesis semacam itu. Dr. Ryu Hasan sering menekankan bahwa “keyakinan bukan kebenaran.” Agama menawarkan narasi untuk menjawab rasa penasaran manusia tentang ...

Tuhan yang Tak Pernah Mengenalkan Diri

Coba deh pikirin pelan-pelan: kita sering banget nyebut nama Tuhan, berdoa, menyembah, bahkan berdebat tentang siapa Tuhan yang paling benar. Tapi pernah nggak sih, kita sadar bahwa Tuhan nggak pernah benar-benar memperkenalkan diri secara langsung? Kita kenal Tuhan lewat apa? Kitab suci, ajaran agama, petuah orang tua, dan ceramah-ceramah yang katanya bersumber dari wahyu. Tapi apakah itu benar-benar Tuhan? Atau cuma tafsir manusia tentang Tuhan? Dalam filsafat, ini mirip kayak kritiknya Feuerbach: “Tuhan adalah proyeksi ideal manusia.” Kita menciptakan gambaran Tuhan sesuai nilai dan kebutuhan kita. Bahkan Nietzsche lebih blak-blakan, katanya Tuhan sudah mati, karena manusia udah menggantikan Tuhan dengan ideologi dan rasionalitas. Tapi jauh sebelum itu, Socrates aja udah nyindir, bahwa pengakuan manusia tentang pengetahuan kadang cuma ilusi. Termasuk pengetahuan kita soal Tuhan. Kita bisa baca ratusan kitab, ikut ribuan ritual, tapi apakah kita sungguh-sungguh mengenal Tuhan? Atau c...

Menyambut Kematian

Kematian itu pasti, tapi tetap saja jadi hal yang paling kita hindari. Dalam bukunya Psikologi Kematian, Komaruddin Hidayat mengajak kita untuk berhenti memandang kematian sebagai momok menakutkan, dan mulai menjadikannya cermin untuk merefleksikan hidup. Ia bilang, justru karena kita sadar akan mati, maka hidup menjadi bermakna. Kalau hidup ini abadi, mungkin kita akan menunda segalanya dan tak pernah serius menjalani hari. Komaruddin menyoroti bahwa banyak orang takut mati bukan karena kematiannya itu sendiri, tapi karena ketidaksiapan menghadapi ketidakpastian setelahnya. Kita takut belum cukup amal, takut ditinggal orang tercinta, atau malah takut dilupakan. Padahal, kematian bukanlah akhir, tapi transisi. Dalam perspektif ini, mati bukan musibah, melainkan momen peralihan menuju tahap berikutnya yang penuh misteri. Di balik kesadaran akan kematian, manusia justru menemukan kedewasaan spiritual. Hidup jadi lebih tertata, lebih bermakna. Kita jadi berpikir ulang sebelum menyakiti or...

Ruh atau Jiwa dalam Tinjauan Sains dan Filsafat

Dalam sains modern, terutama dalam neurosains dan biologi evolusioner, istilah ruh atau jiwa nggak punya tempat yang pasti. Kalau kita tanya, “Di mana letak jiwa manusia?” para ilmuwan akan mengernyit, lalu menunjuk ke otak. Daniel Dennett, dalam bukunya Consciousness Explained, menyebut kesadaran dan apa yang kita kira sebagai “jiwa” itu sebenarnya hasil dari proses kompleks dalam otak—bukan entitas tak terlihat yang keluar-masuk tubuh. Begitu juga Stephen Hawking dalam The Grand Design, ia menolak ide bahwa manusia punya “jiwa abadi”. Baginya, manusia adalah sistem biologis yang tunduk pada hukum alam. Ketika tubuh mati, kesadaran berhenti. Ruh? Bagi sains, itu cuma mitos dari ketidaktahuan zaman dulu. Dalam filsafat, debatnya lebih panjang dan licin. David Hume, filsuf skeptis dari Skotlandia, bilang bahwa konsep “self” atau jiwa hanyalah kumpulan persepsi yang berubah-ubah. Tidak ada “aku” yang utuh dan tetap. Begitu juga Nietzsche, dalam Thus Spoke Zarathustra, menertawakan ide te...

Menyembah Tuhan yang Tak Bisa Diserupakan oleh Apapun

Katanya, Tuhan itu tidak bisa diserupakan oleh apapun. Tidak ada gambar, bentuk, suara, rasa, bahkan konsep yang bisa mewakilinya. Tapi kalau benar begitu, bukankah artinya Tuhan justru tidak ada? Karena dalam pengalaman manusia, hanya yang tidak ada lah yang tidak bisa diserupakan sama sekali. Kita bisa membayangkan segalanya—bahkan yang belum pernah kita lihat—tapi ketika diminta membayangkan Tuhan yang benar-benar "tak menyerupai apapun", pikiran kita kosong. Dalam logika filsafat, segala yang eksis bisa dikenali, dibedakan, dan diberi ciri, walau sekadar abstraksi. Tapi kalau Tuhan tak bisa dipegang oleh rasio, tak bisa diindra, tak bisa digambarkan, lalu bagaimana kita tahu Ia ada? Bukankah dalam relasi manusia, pengenalan adalah fondasi keberadaan? Oke, mungkin akan ada yang bilang, “Tuhan itu bukan objek yang bisa dikenali, Ia itu misteri.” Tapi bukankah terlalu mudah melemparkan segala yang tak bisa dijelaskan ke dalam kotak "misteri"? Osho pernah bilang, “T...

Mengapa Ada Banyak Agama dan Beragam Nama untuk Tuhan

Kalau Tuhan itu satu, kenapa nama-Nya bisa beda-beda di tiap agama? Kenapa ada yang memanggil-Nya Allah, Yahweh, Brahman, Tao, sampai Zat Yang Maha Tinggi? Pertanyaan ini nggak cuma muncul di kelas filsafat, tapi juga di hati banyak orang yang sedang mencari makna spiritualitas. Salah satu sebabnya adalah manusia hidup dalam budaya dan konteks sejarah yang berbeda-beda. Tuhan yang dikenal di Timur Tengah tentu akan punya narasi, simbol, dan bahasa yang beda dengan Tuhan yang dikenal di India atau Tiongkok. Setiap peradaban mencoba menjelaskan yang tak bisa dijelaskan, memberi bentuk pada yang tak berbentuk. Jadilah Tuhan dalam rupa yang bisa mereka pahami—dalam mitos, kitab, puja-puji, dan ritual. Agama muncul bukan hanya sebagai sistem kepercayaan, tapi juga sebagai cara hidup dan tatanan sosial. Setiap agama menjawab kebutuhan zamannya: memberikan harapan, menegaskan moral, dan menciptakan keteraturan. Maka tak heran jika banyak agama lahir dari pengalaman spiritual yang berbeda n...

Imajinasi Manusia tentang Tuhan

Tuhan, dalam banyak hal, mungkin adalah makhluk paling misterius sekaligus paling akrab dalam pikiran manusia. Kita membicarakan-Nya, menyembah-Nya, bahkan bertengkar soal-Nya. Tapi siapa Dia, sungguh? Atau lebih tepatnya: apakah Dia benar-benar ada, atau kita hanya menciptakan-Nya karena kita butuh alasan untuk menjelaskan yang tak bisa kita pahami? Osho bilang, “Tuhan bukanlah orang, tapi pengalaman.” Sementara Jiddu Krishnamurti lebih tajam lagi—baginya, Tuhan adalah proyeksi dari pikiran yang ketakutan. Kita takut sendirian, takut mati, takut tak berarti. Maka kita ciptakan Tuhan: sosok maha tahu, maha sayang, sekaligus maha mengawasi. Kita bentuk Dia dalam rupa yang kita pahami—berjanggut, duduk di atas takhta, atau hadir sebagai cahaya. Padahal, seperti kata Ludwig Feuerbach, “Tuhan adalah cermin tempat manusia memproyeksikan kualitas terbaik dirinya.” Jika kita jujur, imajinasi tentang Tuhan lebih banyak dibentuk oleh budaya dan doktrin daripada pengalaman langsung. Seorang anak...

Dia yang Dipanggil sebagai Sang Nabi

Sang nabi. Dia yang katanya ditunjuk langsung oleh langit. Tapi apakah ia benar-benar dipilih? Atau dia hanya manusia biasa yang punya keberanian menyuarakan yang tak mampu diucap orang kebanyakan? Jean-Paul Sartre pernah berkata, “Manusia adalah makhluk bebas yang dikutuk untuk memilih.” Mungkin, nabi adalah mereka yang memilih jalan yang tak nyaman: merobek kenyamanan, menggugat kekuasaan, menertawakan kemapanan. Nabi bukan hanya jubah dan mukjizat. Kadang ia justru datang sebagai pengganggu. Seperti Socrates, yang disebut “lalat pengganggu Athena.” Ia tak membawa wahyu, tapi membawa pertanyaan. Dan itu sudah cukup menggelisahkan. Hannah Arendt menulis bahwa orang-orang yang membawa ide baru akan selalu dianggap mengancam. Maka, para nabi, baik yang religius maupun filosofis, sering kali dibunuh—bukan karena mereka salah, tapi karena mereka terlalu jujur. Dan ketika sebuah sistem telah berhasil menundukkan sang nabi, ia dikultuskan. Dari pengganggu jadi patung. Dari pengacau jadi pan...

Dia yang Bernama Tuhan

Kita menyebutnya Tuhan. Kadang dengan huruf kapital, kadang dengan penuh rasa takut, kadang dengan cinta yang membingungkan. Tapi apakah kita benar-benar tahu siapa Dia? Atau jangan-jangan, seperti kata Feuerbach, “Tuhan adalah proyeksi ideal manusia.” Apa yang kita bayangkan sebagai sempurna, kita letakkan pada sosok tak terlihat dan menyebutnya sebagai Tuhan. Tuhan dalam kepala kita, seringkali hanya versi besar dari ayah yang bijak atau raja yang adil—konsep yang sangat manusiawi. Nietzsche lebih keras lagi: “Tuhan telah mati,” katanya. Bukan berarti ia benar-benar tewas, tapi karena manusia telah membunuhnya lewat dogma, lewat ritual kosong yang menjauh dari pencarian makna sejati. Simone Weil pernah berkata, “Jarak paling jauh antara manusia dan Tuhan adalah ketika manusia merasa paling dekat.” Aneh, ya? Kita sering merasa mengenal Tuhan hanya karena rajin beribadah, tapi menolak mempertanyakan-Nya. Seolah rasa ingin tahu adalah dosa. Dekonstruksi konsep Tuhan bukan berarti menggu...

Logika tentang Tuhan

Dalam memahami Tuhan, manusia sering terjebak pada dikotomi antara iman dan logika. Sebagian menerima Tuhan sebagai dogma yang tak perlu dipertanyakan, sementara yang lain menolak keberadaan-Nya karena tak terukur oleh sains. Tuhan, dalam pendekatan rasional, bukanlah entitas yang dapat dijelaskan melalui mistik atau keajaiban semata. Ia adalah konsep yang lahir dari kebutuhan manusia untuk memahami apa yang tak terpahami. Dalam sejarahnya, manusia menciptakan Tuhan sebagai jawaban atas fenomena alam yang dulu sulit dinalar. Petir, hujan, kelahiran, kematian—semua itu dikaitkan dengan kekuatan adikodrati. Namun, seiring berkembangnya sains, penjelasan rasional menggantikan sebagian dari "mukjizat" ini. Namun, apakah berarti Tuhan tidak ada? Tidak sesederhana itu. Tuhan tetap menjadi simbol perjuangan manusia untuk memahami makna hidup. Ia adalah ide yang terus berkembang, mengikuti kemampuan akal manusia. Konsep Tuhan tidak boleh digunakan untuk membatasi pemikiran, melainkan...

Slow Living, Sebuah Seni Hidup Melambat

Di dunia yang terus berlari, pernahkah kita berhenti dan bertanya, "Kenapa aku terburu-buru?" Kita bangun pagi dengan alarm, bergegas mengejar waktu, dan merasa bersalah ketika tidak produktif. Tapi, apakah hidup harus selalu tergesa-gesa? Slow living bukan tentang memperlambat semua hal, melainkan menyelaraskan ritme hidup kita dengan apa yang benar-benar penting. Seperti hujan yang turun perlahan, kehidupan menjadi lebih bermakna saat kita belajar menikmati setiap tetesnya. Bayangkan duduk di depan jendela, menikmati secangkir teh hangat tanpa terganggu notifikasi ponsel. Saat itulah, kita benar-benar hadir. Dulu, aku pikir hidup harus diisi dengan pencapaian demi pencapaian. Kalenderku penuh, tapi hati terasa kosong. Suatu hari, aku berhenti, memandang langit sore, dan menyadari: kesibukan tidak selalu berarti kemajuan. Ada kebahagiaan dalam hal-hal sederhana—melipat baju sambil mendengar musik, atau berbicara santai dengan orang tersayang. Hidup perlahan mengajarkan kita ...

Teori Struktur menurut Pierre Bourdieu

Pierre Bourdieu, seorang filsuf dan sosiolog Prancis, memperkenalkan teori struktur, habitus, kapital, arena, dan pembeda yang sangat relevan bahkan dalam konteks kehidupan beragama saat ini. Menurut Bourdieu, setiap individu hidup dalam struktur sosial yang membentuk cara mereka berpikir dan bertindak. Struktur ini tidak terlihat, tetapi secara halus memengaruhi bagaimana kita memandang dunia, termasuk dalam beragama. Konsep habitus adalah pola berpikir, sikap, dan kebiasaan yang terbentuk dari pengalaman hidup, termasuk bagaimana seseorang menjalani dan mengekspresikan keyakinannya. Misalnya, seseorang yang besar dalam keluarga yang sangat religius akan memiliki habitus tertentu yang membuatnya terbiasa dengan ritual-ritual atau nilai-nilai tertentu dalam agamanya. Habitus ini membuat seseorang merasa bahwa cara beragamanya adalah yang "benar." Kemudian, ada kapital, yang tidak hanya berarti ekonomi tetapi juga mencakup kapital sosial, budaya, dan simbolik. Dalam kehidupan ...

Kritik Betrand Russel Terhadap Segala Sesuatu Ada Sebab dan Penciptanya

Bertrand Russell, seorang filsuf dan logikawan terkenal, secara tegas menolak gagasan bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan atau entitas supranatural. Dalam pandangannya, alam semesta tidak memerlukan pencipta dan hanya "ada begitu saja." Russell menolak argumen bahwa segala sesuatu harus memiliki sebab, yang menjadi dasar argumen penciptaan. Ia berpendapat bahwa meskipun benda-benda kecil di alam semesta, seperti meja atau rumah, memerlukan pembuat, tidak ada alasan untuk menerapkan logika yang sama pada alam semesta secara keseluruhan. Russell mengkritik argumen kosmologis yang menyatakan bahwa segala sesuatu membutuhkan sebab, termasuk alam semesta. Menurutnya, ini adalah asumsi yang tidak bisa dibuktikan. Russell menegaskan bahwa alam semesta mungkin tidak memiliki sebab pertama atau pencipta, dan itu bukanlah masalah yang harus dipecahkan. Baginya, alam semesta bisa saja "ada" tanpa memerlukan penjelasan lebih lanjut. Sebagai contoh kehidupan sehari-hari, Ru...

David Hume: Alam Semesta Tidak Diciptakan oleh Tuhan

David Hume, seorang filsuf Skotlandia, memiliki pandangan yang cukup unik dan radikal tentang alam semesta. Menurut Hume, gagasan bahwa alam semesta harus diciptakan oleh sesuatu atau seseorang, seperti Tuhan, hanyalah asumsi manusia yang didasarkan pada kebiasaan berpikir, bukan fakta yang terbukti. Dalam pandangan Hume, kita terbiasa melihat bahwa segala sesuatu di sekitar kita memiliki sebab, seperti meja yang dibuat oleh tukang kayu atau pohon yang tumbuh dari biji. Namun, Hume menolak pandangan ini ketika diterapkan pada alam semesta. Hume berpendapat bahwa tidak ada alasan kuat untuk percaya bahwa alam semesta harus memiliki pencipta. Mengapa kita harus berasumsi bahwa alam semesta bekerja dengan prinsip yang sama seperti benda-benda kecil yang ada di dalamnya? Bagi Hume, itu adalah bentuk antropomorfisme—memproyeksikan cara berpikir manusia ke dalam skala yang jauh lebih besar. Selain itu, Hume juga menekankan bahwa kita tidak memiliki pengalaman langsung dengan penciptaan alam ...

Membangun Pemikiran Rasional bersama Tan Malaka

Tan Malaka, seorang tokoh penting dalam sejarah perjuangan Indonesia, memperkenalkan Madilog—sebuah metode berpikir yang menggabungkan Materialisme, Dialektika, dan Logika. Madilog adalah upaya Tan untuk mendorong bangsa Indonesia berpikir lebih kritis dan rasional di tengah tantangan penjajahan dan ketertinggalan. Dalam bukunya "Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika", Tan Malaka mengajarkan bahwa pemikiran harus didasarkan pada kenyataan material yang nyata, bukan pada mitos atau dogma. Ia menulis, “Kita harus mendasarkan cara berpikir pada kenyataan objektif, bukan pada hal-hal gaib atau takhayul” (Madilog, 1943). Tan menekankan pentingnya observasi dan pengalaman sebagai dasar pengetahuan, menolak segala bentuk pemikiran yang tidak memiliki dasar empiris. Metode dialektika dalam Madilog bertujuan untuk memahami perubahan sosial sebagai proses yang dinamis dan kontradiktif. Tan Malaka percaya bahwa sejarah bergerak melalui konflik antara kekuatan-kekuatan yang saling be...

Menelusuri Keinginan

Mengendalikan keinginan adalah kunci untuk menemukan kedamaian batin, dan Ki Ageng Suryamentaram, seorang filsuf Jawa terkemuka, menyodorkan cara inovatif untuk melakukannya melalui konsep nyawang karep. Inti dari ajaran ini adalah pengamatan netral terhadap keinginan, di mana seseorang memandang keinginan sebagai entitas terpisah, bukan sebagai pengendali hidupnya. Ki Ageng menjelaskan dalam Pangajaran Kawruh Jiwa bahwa dengan “nyawang,” kita berdiri di luar lingkaran keinginan kita. “Ketika kita nyawang, kita melihat keinginan sebagai sesuatu yang terpisah,” tulisnya, mendorong kita untuk menjadi pengamat yang tenang. Pandangan ini membantu kita mengerti bahwa keinginan adalah bagian dari pengalaman manusia, namun tidak seharusnya mendominasi kehidupan kita. Dalam praktiknya, nyawang karep mengajarkan kita untuk menghadapi dorongan batin dengan rasa ingin tahu dan tanpa keterikatan. Ki Ageng meyakini bahwa dengan demikian, kita bisa meraih kebijaksanaan sejati. Ia menegaskan bahwa “k...

Mati Sebelum Mati

Dalam tradisi sufisme Islam di Jawa, Syekh Siti Jenar dikenal dengan ajarannya yang mendalam dan kontemplatif mengenai hubungan antara manusia dan Sang Pencipta. Salah satu konsep paling berpengaruh dan kontroversial dalam ajarannya adalah mati sebelum mati (maut qabla al-maut). Konsep ini mengajak setiap individu untuk mencapai pemahaman spiritual yang lebih tinggi melalui kematian ego dan transformasi batin sebelum kematian fisik. Ajaran ini tidak hanya menantang cara berpikir konvensional tentang kehidupan dan kematian tetapi juga menawarkan cara untuk memahami makna sejati dari eksistensi manusia. 𝐊𝐨𝐧𝐬𝐞𝐩 𝐌𝐚𝐭𝐢 𝐒𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐌𝐚𝐭𝐢 Syekh Siti Jenar mengajarkan bahwa kematian bukanlah akhir, tetapi transisi menuju kesadaran yang lebih tinggi. Baginya, mati sebelum mati adalah proses spiritual di mana seseorang membebaskan diri dari keterikatan duniawi dan egois, mencapai keadaan kesadaran di mana keberadaan diri larut dalam kehadiran Ilahi. Dalam kitab Suluk Linglung yang...

Ketuhanan untuk Mengenal Tuhan Tidak Ada

Apakah Tuhan itu ada? Pertanyaan ini telah menggelitik pikiran manusia sejak zaman purba. Kita hidup dalam masyarakat yang begitu terobsesi dengan konsep Tuhan sebagai sosok otoritas yang mengatur segala urusan manusia. Namun, mari kita renungkan, apakah Tuhan benar-benar ada, ataukah itu hanya anggapan manusia? Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali melihat Tuhan sebagai entitas yang jauh di atas sana, mengawasi dan menghakimi setiap langkah kita. Kita menciptakan Tuhan dalam gambaran kita sendiri, memberikan-Nya sifat-sifat manusiawi seperti kemarahan, cinta, dan keadilan. Namun, apakah ini bukan sekadar refleksi dari ketakutan dan harapan kita sendiri? Jiddu Krishnamurti pernah mengatakan, “Truth is a pathless land.” Kebenaran adalah tanah tanpa jalan. Kita tidak dapat menemukannya melalui dogma atau kepercayaan yang diteruskan secara turun-temurun. Kebenaran harus ditemukan melalui pemahaman dan kesadaran diri. Bayangkan sebuah percakapan di sebuah desa. Seorang pria bertany...