Kalau kita jujur, iman itu nggak ilmiah dan nggak logis. Iman adalah percaya pada sesuatu yang belum tentu bisa dibuktikan. Dalam sains, sesuatu harus bisa diuji, diamati, dan dibuktikan secara berulang. Tapi dalam iman? Cukup percaya. Nggak perlu bukti, cukup keyakinan. Logika? Bisa iya, bisa enggak. Tapi mayoritas, iman justru menanggalkan logika demi percaya pada sesuatu yang lebih besar dari nalar.
Berapa banyak orang percaya surga dan neraka? Padahal nggak ada satupun yang bisa menunjukkan bukti konkret soal tempat itu. Tapi mereka tetap percaya, karena katanya "harus yakin dulu baru paham". Nah, ini jelas beda jalur sama logika. Bertrand Russell, seorang filsuf Inggris, bilang: "Not wanting to die is not evidence for an afterlife." Artinya, keinginan akan sesuatu nggak bisa jadi bukti bahwa itu benar-benar ada.
Dalam dunia filsafat, iman digolongkan sebagai bentuk kepercayaan non-rasional. Kierkegaard bahkan menyebut iman sebagai “lompatan ke dalam jurang.” Maksudnya, saat logika berhenti, iman mulai bekerja. Di titik ketika semua bukti gagal menjelaskan, manusia butuh sandaran—dan itu yang dinamakan iman.
Tapi apakah itu salah? Nggak juga. Iman memang nggak ilmiah dan nggak logis, tapi berfungsi. Buat sebagian orang, iman jadi penguat, jadi alasan untuk terus hidup dan berbuat baik. Tapi ya jangan salah tempat: kalau urusan teknologi, kesehatan, dan sains, jangan pakai iman. Pakai akal. Karena iman nggak bisa diuji di laboratorium, tapi akal bisa.
Jadi, iman itu bukan soal benar atau salah. Tapi soal kebutuhan. Dan ya... kadang kita butuh percaya, walau tanpa bukti.
Komentar
Posting Komentar