Sudah tiga malam Uwi duduk di atas lemari, diam-diam, melihat anak dan suaminya tidur. Bukan karena tidak punya tempat lain, tapi karena sejak jadi hantu, ia tak tahu harus ke mana. Jangankan tahu arah surga, nembus plafon saja masih takut nyangkut.
Dulu, sebelum mati, Uwi sering bilang dalam hati, “Kalau aku mati, bagaimana suamiku? Bagaimana anak-anak makan? Apa mereka masih pakai baju yang aku lipat?”
Tapi ternyata, waktu mati beneran, yang bikin sesak bukan soal cucian kotor atau dapur kosong. Tapi melihat kenyataan bahwa hidup tetap berjalan… tanpa dirinya.
Suaminya sempat sedih. Dua minggu. Setelah itu, mulai rajin pakai minyak rambut. Uwi tahu arah ceritanya.
Benar saja. Tiga bulan kemudian, datang perempuan baru. Bawa rendang, senyum sok sopan. Anak Uwi dipanggil "sayang" dengan suara yang terlalu manis, seperti teh yang kelamaan direndam.
Uwi hanya bisa mengambang di langit-langit ruang tamu, sambil sesekali ngusir nyamuk, padahal dia tak bisa digigit lagi.
Namun yang tak disangka: suaminya tiba-tiba menyusul. Jatuh di kamar mandi karena sabun cuci yang licin.
Dan begitulah, malam itu, Uwi yang jadi hantu melihat suaminya berdiri linglung di samping jasadnya sendiri.
“Wih, kamu juga?” katanya.
“Iya,” jawab suaminya sambil menggaruk kepala yang sudah tidak gatal.
Mereka diam. Lalu tertawa. Mungkin kematian memang begini: lucu, aneh, dan penuh kejutan.
Dan Uwi akhirnya bisa bilang, “Ya udah, yuk... ngambang bareng.”
Komentar
Posting Komentar