“Apa? Pajak naik lagi?!” Suara Pak Joni menggema di warung pecel lele. Aku menyesap teh hangat, malas menanggapi.
“Dulu dibilang nggak bakal ada pajak tambahan, eh sekarang malah dinaikkan! Giliran rakyat kecil yang kena lagi,” lanjutnya sambil menyumpah-nyumpah.
Aku mengaduk nasi, menghela napas pelan. Sudah biasa. Pemerintah bikin aturan, rakyat marah, lalu tetap hidup seperti biasa. Besok harga cabe bisa naik, orang-orang akan lupa pajak dan mulai ngomel soal tukang sayur.
“Mas, menurutmu gimana?” Pak Joni menatapku, menunggu dukungan.
Aku mengunyah dulu, lalu berkata, “Mau marah juga nggak bikin perut kenyang, Pak.”
Dia mengernyit. “Maksudnya?”
Aku menaruh sendok. “Negara ini sudah kayak cuaca. Hari ini panas, besok hujan, lusa entah badai atau kemarau. Mau ngeluh terus juga nggak bakal bikin hidup lebih enak.”
Pak Joni mendengus. “Tapi kita rakyat kecil harus bersuara!”
Aku mengangguk. “Benar. Tapi setelah suara kita didengar, lalu apa? Kita tetap harus kerja, tetap harus makan, tetap harus bayar ini-itu. Kalau capek urusin kebijakan yang terus berubah, kenapa nggak fokus ke yang lebih dekat?”
Dia terdiam.
Aku melanjutkan, “Bantu anak biar sekolahnya lancar, jaga badan biar nggak sakit, kerja biar dapur tetap ngebul. Itu lebih pasti daripada marah-marah soal aturan yang minggu depan bisa berubah lagi.”
Pak Joni termenung, lalu menyeruput es teh. “Kamu benar. Negara bisa berubah tiap ganti pemimpin. Kita tetap rakyat, tetap cari makan.”
Aku tersenyum. Di luar, dunia terus ribut. Tapi di sini, di meja makan sederhana, hidup tetap berjalan.
Komentar
Posting Komentar