Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2024

Mengenal Luka, Merawat Sembuh

Luka itu seperti hujan. Datangnya bertahap, kadang rintik, kadang deras. Sembuhnya juga begitu, perlahan, setetes demi setetes. Kalau hatimu terluka, nggak usah buru-buru sembuh. Rasa sakit itu hadir dengan tujuan: mengajarkan sesuatu. Kadang, yang kita butuhkan bukan pelarian, tapi keberanian untuk duduk bareng luka itu. Rasakan sakitnya, dengarkan ceritanya. Dari situ, kita mulai mengerti kenapa kita terluka. Sembuh bukan soal kembali menjadi dirimu yang dulu. Luka itu mengubah kita, mau nggak mau. Sembuh adalah tentang menerima perubahan itu. Tentang berdamai dengan bagian diri yang baru, meski bentuknya nggak sempurna lagi. Rasa sakit yang kamu alami adalah pengingat bahwa kamu masih hidup, masih manusia. Kita nggak perlu maksain diri untuk baik-baik aja. Nggak harus langsung utuh lagi. Hidup itu soal proses, dan luka adalah salah satu jalannya. Tiap bagian yang kamu sembuhkan adalah bukti kekuatanmu, meski sebelumnya kamu sempat hancur. Jadi, kasih waktu buat dirimu sendiri. Luka ...

Mengapa Kita Begitu Sulit Tersenyum pada Perbedaan?

Di tengah keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa ini, ada pertanyaan mendasar yang sering menghantui: mengapa kita begitu sulit tersenyum pada perbedaan? Pertanyaan ini bukan sekadar renungan akademis, tetapi realitas yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan yang seharusnya menjadi kekayaan sering kali berubah menjadi sumber konflik dan ketegangan. Padahal, senyuman—gestur sederhana yang melambangkan penerimaan—bisa menjadi langkah awal menuju harmoni. Menyapa Perbedaan dengan Ketakutan Bayangkan seorang anak kecil yang pertama kali memasuki lingkungan baru. Ia cenderung diam, waspada, bahkan takut, karena segala sesuatu terasa asing. Dalam konteks yang lebih luas, manusia sering menghadapi perbedaan dengan respons serupa. Perbedaan suku, agama, budaya, atau keyakinan kerap memunculkan rasa takut yang tidak beralasan. Ketakutan ini muncul karena kita cenderung tidak memahami apa yang berbeda dari kita. Narasi ini sering diperkuat oleh stereotip yang diwariskan dari ge...

Slow Living, Sebuah Seni Hidup Melambat

Di dunia yang terus berlari, pernahkah kita berhenti dan bertanya, "Kenapa aku terburu-buru?" Kita bangun pagi dengan alarm, bergegas mengejar waktu, dan merasa bersalah ketika tidak produktif. Tapi, apakah hidup harus selalu tergesa-gesa? Slow living bukan tentang memperlambat semua hal, melainkan menyelaraskan ritme hidup kita dengan apa yang benar-benar penting. Seperti hujan yang turun perlahan, kehidupan menjadi lebih bermakna saat kita belajar menikmati setiap tetesnya. Bayangkan duduk di depan jendela, menikmati secangkir teh hangat tanpa terganggu notifikasi ponsel. Saat itulah, kita benar-benar hadir. Dulu, aku pikir hidup harus diisi dengan pencapaian demi pencapaian. Kalenderku penuh, tapi hati terasa kosong. Suatu hari, aku berhenti, memandang langit sore, dan menyadari: kesibukan tidak selalu berarti kemajuan. Ada kebahagiaan dalam hal-hal sederhana—melipat baju sambil mendengar musik, atau berbicara santai dengan orang tersayang. Hidup perlahan mengajarkan kita ...

Kesepian

Kesepian datang tanpa mengetuk pintu. Ia hadir di tengah malam yang sunyi, di sela-sela percakapan yang kosong, atau di antara tawa yang tak sungguh-sungguh. Kesepian bukan sekadar kehilangan orang lain; ia adalah kehilangan diri sendiri, kehilangan kemampuan untuk merasa utuh meski dunia di luar masih berdenyut. Ada saat ketika kita merasa ditinggalkan. Orang-orang pergi, kenangan memudar, dan hidup terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Namun, kesepian yang paling mengerikan adalah saat kita sadar bahwa orang yang kita cari untuk mengisi kekosongan itu adalah diri kita sendiri — diri yang telah kita abaikan terlalu lama. Sepi sering kali terlihat seperti musuh, mengintai di sudut-sudut pikiran. Tapi apa jadinya jika kita berhenti melarikan diri darinya? Apa jadinya jika kita duduk bersamanya, mengenalnya lebih dalam? Ternyata, kesepian tidak pernah berniat menyakiti. Ia hanya ingin mengajarkan kita bahwa diri kita adalah teman terbaik yang pernah kita miliki. Kesepian menawarkan r...

Teori Struktur menurut Pierre Bourdieu

Pierre Bourdieu, seorang filsuf dan sosiolog Prancis, memperkenalkan teori struktur, habitus, kapital, arena, dan pembeda yang sangat relevan bahkan dalam konteks kehidupan beragama saat ini. Menurut Bourdieu, setiap individu hidup dalam struktur sosial yang membentuk cara mereka berpikir dan bertindak. Struktur ini tidak terlihat, tetapi secara halus memengaruhi bagaimana kita memandang dunia, termasuk dalam beragama. Konsep habitus adalah pola berpikir, sikap, dan kebiasaan yang terbentuk dari pengalaman hidup, termasuk bagaimana seseorang menjalani dan mengekspresikan keyakinannya. Misalnya, seseorang yang besar dalam keluarga yang sangat religius akan memiliki habitus tertentu yang membuatnya terbiasa dengan ritual-ritual atau nilai-nilai tertentu dalam agamanya. Habitus ini membuat seseorang merasa bahwa cara beragamanya adalah yang "benar." Kemudian, ada kapital, yang tidak hanya berarti ekonomi tetapi juga mencakup kapital sosial, budaya, dan simbolik. Dalam kehidupan ...

Menjadi Dewasa itu Melelahkan ya?

Dewasa itu bukan cuma soal umur, tapi soal bagaimana hidup mulai mengubah cara kita memandang dunia. Dulu, waktu sekolah, tiap hari terasa kayak petualangan seru. Sepulang sekolah, nongkrong bareng teman-teman, main bola di lapangan, dan ketawa-ketiwi tanpa beban. Semua itu kayak film komedi yang nggak ada habisnya. Lalu, masuk masa kuliah, kita mulai semangat ikut organisasi, demo sana-sini, ngerasa jadi agen perubahan. Idealismenya menggebu-gebu. Berdebat sampai larut malam di warung kopi, ngerasa suara kita bakal mengubah negeri ini. Tapi sekarang? Semua keriangan itu berubah jadi rutinitas: kerja dari pagi sampai malam, pulang capek cuma pengen tidur, bangun lagi esok harinya. Weekend yang dulu penuh acara seru bareng teman, sekarang diisi ngurus cucian, bayar tagihan, atau ngajak anak jalan-jalan. Aktivisme yang dulu dibela mati-matian kini jadi kenangan masa muda, karena realitasnya, hidup nggak bisa sekadar berteriak “hidup rakyat!” Menjadi dewasa bukan berarti kita nggak boleh ...

Luka itu Valid dan Fokuslah untuk Sembuh

Ketika seseorang melukai kita, sering kali kita sibuk mencari tahu mengapa itu terjadi. Kita ingin penjelasan, alasan, atau mungkin rasa keadilan. Namun, pada kenyataannya, alasan di balik perbuatan mereka tidak lebih penting daripada kenyataan bahwa kita terluka. Dalam proses mencari alasan, kita bisa tersesat di lautan pertanyaan yang tak berujung, menyelam dalam kekhawatiran yang dalam hingga sulit untuk naik ke permukaan. Pernahkah kamu merasakan betapa melelahkannya mengulang kejadian itu dalam pikiran, berharap menemukan makna atau sebab yang bisa membuat rasa sakit terasa lebih masuk akal? Namun, meskipun kita terus mencari, jawabannya tidak pernah muncul dengan jelas. Semua hanya meninggalkan kita dalam kondisi lelah dan semakin terluka. Mirip seperti berusaha mencari sebutir debu di tengah samudera luas, pencarian itu tidak akan membawa kita ke mana-mana. Lebih baik kita berhenti mencari alasan dan mulai fokus pada penyembuhan. Menerima bahwa kita terluka bukanlah tanda kelema...

Kedamaian Apa yang Kamu Cari?

Kita sering mendambakan kedamaian pikiran. Rasanya wajar saat kita berpikir, "Saya harus lebih tenang, lebih damai." Tapi, pernahkah kita mempertanyakan ini: Bisakah pikiran benar-benar damai? Pikiran bisa mencoba menciptakan kedamaian, bahkan memaksakan diri untuk tenang, tetapi apakah itu berarti pikiran itu sendiri damai? Jika dipikirkan lebih dalam, pikiran pada dasarnya selalu sibuk. Ia terus bergerak, meloncat dari satu hal ke hal lain, merencanakan masa depan, menyesali masa lalu, atau khawatir tentang apa yang sedang terjadi. Bahkan ketika kita berusaha mencapai kedamaian, pikiran sibuk menciptakan strategi untuk “menjadi” tenang. Ironisnya, usaha untuk menjadi damai itu sendiri adalah bentuk kegelisahan. Ketenangan yang kita cari-cari sebenarnya tidak bisa dihasilkan oleh pikiran, karena pikiran itu sendiri adalah sumber kegelisahan. Jadi, pertanyaannya bukan tentang bagaimana membuat pikiran menjadi damai, melainkan menyadari sifat gelisah dari pikiran itu sendiri. ...

Bagi-Bagi Kekuasaan dalam Politik

Teori patronase adalah konsep yang menjelaskan bagaimana kekuasaan dibagi-bagikan setelah seorang pemimpin politik berhasil meraih posisi penting, seperti presiden. Dalam politik demokratis, patronase menjadi salah satu cara efektif untuk mempertahankan dukungan politik dengan memberikan imbalan berupa jabatan, posisi strategis, atau sumber daya lainnya kepada individu atau kelompok yang telah mendukung kemenangan pemimpin tersebut. Jean-François Bayart, seorang ilmuwan politik, pernah mengatakan, “Politik patronase adalah seni membagi kue kekuasaan.” Ungkapan ini menggambarkan bagaimana kekuasaan tidak didistribusikan berdasarkan kompetensi semata, tetapi juga melalui loyalitas politik. Dalam praktik patronase, jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan, seperti menteri, kepala lembaga negara, dan posisi strategis lainnya, diberikan kepada orang-orang yang merupakan bagian dari koalisi politik atau pendukung dekat sang pemimpin. Tujuan utama dari pemberian jabatan ini adalah untuk men...

Kritik Betrand Russel Terhadap Segala Sesuatu Ada Sebab dan Penciptanya

Bertrand Russell, seorang filsuf dan logikawan terkenal, secara tegas menolak gagasan bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan atau entitas supranatural. Dalam pandangannya, alam semesta tidak memerlukan pencipta dan hanya "ada begitu saja." Russell menolak argumen bahwa segala sesuatu harus memiliki sebab, yang menjadi dasar argumen penciptaan. Ia berpendapat bahwa meskipun benda-benda kecil di alam semesta, seperti meja atau rumah, memerlukan pembuat, tidak ada alasan untuk menerapkan logika yang sama pada alam semesta secara keseluruhan. Russell mengkritik argumen kosmologis yang menyatakan bahwa segala sesuatu membutuhkan sebab, termasuk alam semesta. Menurutnya, ini adalah asumsi yang tidak bisa dibuktikan. Russell menegaskan bahwa alam semesta mungkin tidak memiliki sebab pertama atau pencipta, dan itu bukanlah masalah yang harus dipecahkan. Baginya, alam semesta bisa saja "ada" tanpa memerlukan penjelasan lebih lanjut. Sebagai contoh kehidupan sehari-hari, Ru...

David Hume: Alam Semesta Tidak Diciptakan oleh Tuhan

David Hume, seorang filsuf Skotlandia, memiliki pandangan yang cukup unik dan radikal tentang alam semesta. Menurut Hume, gagasan bahwa alam semesta harus diciptakan oleh sesuatu atau seseorang, seperti Tuhan, hanyalah asumsi manusia yang didasarkan pada kebiasaan berpikir, bukan fakta yang terbukti. Dalam pandangan Hume, kita terbiasa melihat bahwa segala sesuatu di sekitar kita memiliki sebab, seperti meja yang dibuat oleh tukang kayu atau pohon yang tumbuh dari biji. Namun, Hume menolak pandangan ini ketika diterapkan pada alam semesta. Hume berpendapat bahwa tidak ada alasan kuat untuk percaya bahwa alam semesta harus memiliki pencipta. Mengapa kita harus berasumsi bahwa alam semesta bekerja dengan prinsip yang sama seperti benda-benda kecil yang ada di dalamnya? Bagi Hume, itu adalah bentuk antropomorfisme—memproyeksikan cara berpikir manusia ke dalam skala yang jauh lebih besar. Selain itu, Hume juga menekankan bahwa kita tidak memiliki pengalaman langsung dengan penciptaan alam ...

Bahagia Itu Tidak Sederhana

Bahagia, sering disebut sebagai sesuatu yang sederhana. Namun, sebenarnya, apakah benar sesederhana itu? Bahagia selalu digambarkan sebagai sebuah kondisi yang mudah diraih, sebuah perasaan yang datang tanpa syarat. Tetapi kenyataannya, kebahagiaan adalah teka-teki yang rumit. Kita mengejarnya seolah ia hanya selangkah di depan, namun semakin dikejar, semakin jauh ia menjauh. Kita berusaha meraih bahagia dengan mengumpulkan segala hal yang kita anggap bisa memberikannya: materi, cinta, pencapaian. Namun, begitu semua itu terkumpul, kita menyadari ada ruang kosong yang tak bisa diisi. Bahagia, seperti bayangan di cermin, tampak nyata namun tak bisa disentuh. Dalam pencarian itu, kita mungkin sesekali menemukannya, dalam tawa atau momen singkat. Tetapi ia segera menghilang, digantikan oleh keresahan baru. Bahagia tidak permanen, ia berubah, mengalir bersama waktu, tak pernah menetap. Mungkin itulah kenyataannya: bahagia tidak pernah dimaksudkan untuk kita genggam selamanya. Ia datang seb...

Bukan Kendali Diri, Tapi Pemahaman dan Pengamatan

Kita tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan ajaran tentang pentingnya kontrol. Agama, filsafat, para guru, dan bahkan keluarga kita, semua mengajarkan bahwa mengendalikan pikiran, emosi, dan tindakan adalah kunci menuju kehidupan yang lebih baik. Kita diajarkan untuk menahan amarah, menekan kesedihan, dan mengendalikan ketakutan. Namun, di balik semua itu, pernahkah kita benar-benar bertanya: siapa yang mengontrol? Siapa sebenarnya sang pengendali? Pertanyaan ini jarang diajukan karena kita begitu sibuk berusaha mengendalikan segala hal. Dalam narasi hidup, kita percaya bahwa "aku" yang mengontrol adalah entitas nyata, bahwa kita bisa menundukkan segala ketidakpastian dan kekacauan dengan disiplin pikiran. Namun, jika kita berhenti sejenak dan mengamati lebih dalam, kita mulai melihat bahwa "aku" yang mengontrol itu hanyalah sebuah konstruksi pikiran, dibentuk oleh masa lalu, pengalaman, serta kondisi sosial. Ironisnya, semakin kita berusaha mengendalikan, semaki...

Hidup Setelah Kematian Ideologis

Aku ingat hari itu dengan sangat jelas—hari ketika aku “meninggal.” Bukan meninggal dalam arti fisik, tapi lebih seperti kematian batin, kematian dari jati diriku yang dulu. Sore itu, di sebuah pertemuan terakhir di komunitas yang dulu selalu aku banggakan, aku menyadari sesuatu yang mengubah segalanya. Aku duduk di tengah-tengah mereka, mendengarkan ceramah yang sudah begitu akrab di telinga, tapi tiba-tiba rasanya asing, seperti mendengar bahasa yang tak lagi kupahami. Aku menatap sekeliling. Wajah-wajah yang dulu penuh semangat kini tampak hampa di mataku. Suara penceramah yang berapi-api tentang kebenaran mutlak terdengar bising, tidak lagi menyentuh hatiku seperti dulu. Dalam satu momen itu, aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang terlepas dari dalam diriku—seperti sebuah rantai yang putus. Aku mati di sana, bukan secara fisik, tapi secara ideologis. Aku tidak lagi menjadi bagian dari mereka. "Kenapa kau tidak merespons?" tanya seorang teman di sebelahku, mencoba menarik...

Memahami Diri Sendiri = Menjadi Apa Adanya

"Untuk memahami diri sendiri, kamu harus tahu siapa dirimu sebenarnya, bukan siapa yang kamu pikir seharusnya." Kalimat ini, jika dipikirkan dalam-dalam, mengajarkan kita untuk berhenti berpura-pura atau berusaha menjadi orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali hidup dengan ekspektasi, baik dari diri sendiri maupun dari orang lain, tentang siapa yang seharusnya kita jadi. Kita menetapkan standar yang seringkali tidak realistis dan akhirnya menjauhkan diri dari kenyataan. Bayangkan seseorang yang terus-menerus merasa harus sukses dengan cara tertentu—harus menjadi kaya, terkenal, atau selalu dipuji. Padahal, jauh di dalam dirinya, ada keinginan yang berbeda, mungkin lebih sederhana, lebih damai. Dia menjalani hidup bukan sebagai dirinya yang sebenarnya, tetapi sebagai bayangan dari apa yang dianggap "ideal" oleh masyarakat atau lingkungan. Memahami diri berarti mengenali siapa kita tanpa filter, tanpa ilusi. Ini bukan perjalanan yang mudah, karena ki...

Merayakan Kematian Saat ini dan Di Sini

Ketika kita mencintai kehidupan sepenuhnya dan hidup dengan penuh kesadaran di momen sekarang, perspektif terhadap kematian bisa berubah secara mendasar. Alih-alih melihatnya sebagai sesuatu yang harus ditakuti, kita mulai memandangnya sebagai bagian alami dari perjalanan manusia. Hidup sepenuh hati berarti menerima bahwa setiap momen memiliki nilai intrinsik, dan kematian hanyalah fase berikutnya.  Dengan cara ini, kematian tidak lagi terasa seperti akhir yang menakutkan, melainkan seperti perpindahan menuju dimensi lain—sebuah perjalanan yang layak dirayakan. Kita memahami bahwa apa yang kita sebut kematian sebenarnya adalah kelanjutan dari eksistensi, mungkin dalam bentuk atau realitas yang baru. Sebagai bagian dari siklus alam, kematian mengingatkan kita akan keindahan ketidakpastian hidup, namun tanpa perlu tenggelam dalam kecemasan. Orang yang hidup dalam cinta akan saat ini menyadari bahwa dengan menerima ketidaktahuan tentang apa yang akan datang, mereka bisa menyambut kema...

Untungnya Saya Gak Terjebak Masuk Anggota Partai

Beberapa tahun belakangan ini, ajakan untuk masuk ke partai politik datang silih berganti, seolah saya ini punya bakat terpendam jadi politisi. Mulai dari PKS, Partai Demokrat, Partai Gelora, sampai Partai Buruh, semua pernah mencoba “merayu” saya untuk gabung. Awalnya saya pikir, kenapa enggak? Politik kan urusan serius, bisa jadi kontribusi saya dibutuhkan. Tapi semakin saya diajak ngobrol sama anggota-anggota partai ini, saya semakin yakin: politik praktis ternyata bukan untuk saya. Contohnya waktu saya diajak ngobrol dengan orang dari PKS. Pembicaraan awalnya memang santai—tentang pentingnya anak muda terlibat dalam politik. Tapi lama-lama saya merasa seperti diajak ikut semacam jenjang pengkaderan yang ketat. Ada semacam tekanan halus, seperti kalau saya gak ikut, saya gak cinta negeri. Hmm... rasanya kok jadi terlalu serius? Kemudian datang ajakan dari Partai Demokrat. Kali ini, yang disodorkan lebih ke arah “politisi muda berprestasi.” Mereka bilang, partai ini punya banyak pelu...

Pindah Lagi

Sudah 2 tahun saya berada di posisi dan bagian saat ini dan jalan hidup selalu menawarkan perjalanan tidak terduga, saya pindah lagi ke tempat awal saya berkarir bekerja. 10 tahun bekerja, pindah dari satu bagian dan ke bagian lainnya, cukup menambah jumlah pengalaman bekerja yang meski satu perusahaan namun punya berbagai pengalaman di tempatkan di berbagai posisi dan bagian. Saya ini prajurit tempur yang siap dilempar di tempat mana saja, mungkin pimpinan perusahaan melihat saya punya kemampuan yang menjadikan layak pindah ke sana sini. Saya pikir ini sudah jatah saya mendapatkan posisi yang baru ini, setelah 8 tahun meninggalkan tempat di mana saya mulai berkarir di perusahaan ini. Dalam proses seleksinya, saya melakukan psikotes bersama 5 orang lainnya dan takdir baik mengamanahkan saya di posisi ini dengan tawaran kalau tidak sanggup akan diberikan kepada orang lain namun jika mampun saya tidak boleh pindah lagi ke tempat sebelumnya. Saya melihat wadah rezeki saya membesar dan ada...

Homo Sacer dan Politik Indonesia

Dalam konteks politik Indonesia saat ini, konsep homo sacer, yang diperkenalkan oleh filsuf Giorgio Agamben, dapat menjadi refleksi yang tajam terhadap kondisi para individu yang terpinggirkan oleh kekuasaan. Homo sacer adalah sosok yang, meskipun dianggap sebagai manusia, tidak memiliki hak-hak yang dijamin oleh hukum; ia bisa dikesampingkan, dilupakan, dan diperlakukan sewenang-wenang tanpa adanya konsekuensi. Politik dinasti di Indonesia adalah contoh nyata bagaimana kekuasaan sering kali diwariskan dalam lingkaran elite, meninggalkan mereka yang tidak berada dalam lingkaran tersebut sebagai homo sacer—terpinggirkan, tak diperhitungkan, dan tidak memiliki akses ke kekuasaan yang seharusnya menjadi milik semua warga negara. Pilkada yang seharusnya menjadi ajang demokrasi, sering kali hanya menjadi panggung bagi keluarga atau kelompok tertentu untuk memperkuat dominasi mereka.  Lihat saja bagaimana para kandidat kepala daerah yang hampir selalu berasal dari keluarga elite politik ...

Plot Twist Anies Baswedan dan Aksi 212 Bela Islam

Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta yang pernah melambung berkat dukungan besar dalam Pilkada 2017, kini berada di persimpangan jalan. Setelah ditinggalkan oleh partai-partai yang dulu setia mendukungnya, Anies kini berada dalam situasi yang penuh ironi. Di satu sisi, ia menanti dukungan dari PDI Perjuangan, partai yang dulu berada di seberang arena. Lebih menarik lagi, kabar yang beredar mengatakan bahwa Anies bisa saja dipasangkan dengan Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok—sosok yang menjadi pusat penolakan dalam aksi bela Islam 212. Cerita ini terdengar seperti lelucon politik yang tidak lucu. Anies yang dulu berdiri di atas panggung kemenangan, didukung oleh massa besar 212 yang menolak Ahok karena dianggap menista agama, kini berada dalam posisi di mana ia harus mempertimbangkan kemungkinan bekerja sama dengan orang yang pernah ia kalahkan. Ironis? Tentu saja. Tapi begitulah politik, selalu penuh kejutan. Pakar politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan, "Politi...

Akrobatik Politik di Pilkada DKI 2024

Pilkada DKI 2024 semakin dekat, dan panggung politik Jakarta kembali diramaikan dengan aksi akrobatik yang bikin kita geleng-geleng kepala. Di dunia politik, segala hal bisa terjadi—bahkan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Realitas politik di Indonesia sering kali seperti pertunjukan sirkus, di mana para politisi dengan cekatan menjungkirbalikkan keadaan demi memenangkan calon mereka. Di sini, tak ada musuh abadi, hanya kepentingan yang abadi. Siapa yang dulu jadi musuh besar, sekarang bisa jadi teman seperjuangan, duduk manis bersama sambil mengatur strategi. Lihat saja bagaimana aksi bela Islam 212 beberapa tahun lalu mengguncang Jakarta. Dulu, kita menyaksikan tokoh-tokoh yang berdiri di garis depan aksi tersebut, berteriak lantang melawan musuh politik mereka, seakan tak ada celah untuk kompromi. Tapi sekarang? Ajaib! Mereka yang dulu berhadapan langsung di medan perang politik kini bisa berpelukan, saling mendukung, dan berbagi panggung untuk memenangkan Pilkada. Siapa yang ...

Berhenti Membandingkan Nasib

Di tongkrongan, sering banget kita dengar obrolan soal pencapaian hidup. "Eh, bro, lo udah punya rumah belum?" atau "Gue baru aja naik jabatan, lo kapan?" Itu sih udah jadi makanan sehari-hari. Meski kesannya sepele, percakapan kayak gini bisa bikin orang lain ngerasa minder atau nggak nyaman. Setiap orang punya perjalanan hidupnya masing-masing. Ada yang udah sukses di usia muda, ada yang masih berjuang keras. Membandingkan pencapaian kita sama orang lain cuma bakal nambah tekanan, baik buat diri sendiri maupun orang lain. Lebih baik saling menghargai dan mendukung, bukan saling merendahkan. Masalahnya, kita sering lupa kalo hidup ini adalah proses naik turun. Nggak ada yang selalu di atas atau di bawah. Pas kita lagi di atas, ingetlah bahwa suatu saat kita bisa turun. Begitu juga sebaliknya, pas kita lagi di bawah, jangan putus asa, karena ada kemungkinan kita bisa naik lagi. Solusinya, coba deh lebih bijak dalam berbicara dan bersikap. Daripada pamer pencapaian, ...

Fenomena Hijrah, Lebih Dekat dengan Agama atau Menjadi Sosok yang Menyebalkan?

Titik hijrah seseorang bisa menjadi momen penting dalam hidup. Banyak yang mengalami perubahan besar, baik dari segi pemikiran maupun penampilan, ketika mereka merasa lebih dekat dengan agama. Mereka mulai mengenakan pakaian yang lebih sesuai dengan ajaran agama, menghindari hal-hal yang dianggap tidak islami, dan lebih sering mengajak orang lain untuk mengikuti jalan yang mereka yakini paling benar. Perubahan ini sering kali didorong oleh keinginan tulus untuk menjadi lebih baik dan mendapatkan hidayah. Namun, hijrah tidak selalu menjadi patokan bahwa seseorang otomatis menjadi lebih baik. Kadang, orang yang baru berhijrah bisa menjadi sosok yang menyebalkan karena merasa paling benar sendiri. Mereka mungkin cenderung menyalahkan dan menghakimi orang lain yang belum berhijrah, tanpa mempertimbangkan perjalanan spiritual setiap individu berbeda-beda. Sebagai contoh, seorang teman yang dulu dikenal santai dan fleksibel tiba-tiba berubah drastis setelah berhijrah. Dia kini sering memberi...

Kenapa Enggak Nikah-Nikah?

“Kenapa nggak nikah-nikah, Sahal?” tanya Wawan sambil melipat sajadah di beranda masjid. Kami baru saja selesai salat Ashar di Masjid Al-Falah, Jakarta, tahun 2007. Sahal, sahabat kami yang punya usaha rental motor paling laris di kota ini, hanya tersenyum tipis.  Beberapa menit sebelumnya, kami sedang bersantai di masjid setelah lelah mengelilingi kota. Sahal datang dengan motor bebeknya yang selalu mengkilap, ciri khas pengusaha sukses di bidang rental motor. “Aku tuh sibuk, Wan. Rental motor butuh perhatian lebih,” jawab Sahal sambil mengunyah kurma. “Lagipula, nikah itu nggak wajib, kan?” Wawan tertawa kecil. “Ya memang nggak wajib, tapi kan enak kalau ada yang ngurusin. Masa hidup sendiri terus?” Sahal hanya mengangkat bahu. “Aku nggak sendiri kok, ada motor-motor kesayanganku,” jawabnya sambil tertawa. “Lagipula, hidup sendiri itu lebih bebas. Mau ke mana saja, nggak perlu izin.” Kami semua tertawa mendengar jawaban Sahal. Sebenarnya, banyak yang penasaran kenapa dia tidak pe...

Membaca Realitas Politik

Politik itu ibarat panggung sandiwara. Tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanya peluang dan kesempatan. Di balik senyuman dan pelukan hangat, tersimpan ambisi dan strategi yang siap berputar arah kapan saja.  Contohnya, kemarin mereka musuh bebuyutan, saling sindir di media, tapi hari ini duduk satu meja, makan bersama sambil berunding. Begitulah politik, tempat di mana segala sesuatu bisa berubah dengan cepat, tergantung pada kepentingan dan keuntungan yang bisa diraih.  Ari Dwipayana, seorang pakar politik ternama di Indonesia, pernah berkata, "Politik adalah seni kemungkinan." Ini berarti, di dunia politik, yang penting bukan siapa teman atau musuhmu, melainkan bagaimana kamu bisa memanfaatkan setiap momen untuk mencapai tujuan. Kawan hari ini bisa jadi lawan besok, begitu juga sebaliknya. Semua itu tergantung pada peluang yang ada di depan mata. Ketika ada kesempatan untuk meraih kekuasaan atau mendapatkan keuntungan tertentu, orang-orang di dunia politik tida...

Kader Partai Politik yang Kalah Pamor dengan Popularitas dan Modal Besar

Di balik gegap gempita Pemilihan Kepala Daerah, ada cerita getir tentang seorang kader partai yang gagal meraih posisi kepala daerah. Sejak awal, dia mengikuti jenjang kaderisasi dengan semangat membara. Berangkat dari sekolah partai, merambah ke dunia kampus, dan akhirnya mendalami politik secara serius. Namun, kenyataan politik seringkali tak seindah teori di buku-buku pelajaran. Kader ini, meski berpengalaman dan berdedikasi, kalah pamor dari para calon yang lebih populer dan punya modal amunisi politik yang lebih besar. Ironisnya, lawan-lawan politiknya lebih dikenal sebagai selebritas dan figur publik yang sering muncul di layar kaca. Popularitas mereka mengalahkan segala bentuk pengalaman dan kompetensi yang telah dibangun dengan susah payah oleh sang kader. Selain itu, politik adalah soal kedekatan dengan para elite partai. Tanpa dukungan kuat dari atas, kader ini seolah berjalan di jalan terjal tanpa sandaran. Para elite lebih memilih mendukung figur yang bisa menaikkan citra p...

Kelucuan Marshel Widianto, Popularitas Mengalahkan Kualitas?

Majunya pelawak Marshel Widianto sebagai calon wakil wali kota Tangerang Selatan menimbulkan banyak perdebatan. Sebagai seorang komedian, Marshel mungkin dikenal luas oleh masyarakat dan memiliki daya tarik tersendiri. Namun, dalam konteks politik, pertanyaan utama adalah apakah popularitas semata cukup untuk memimpin sebuah kota dengan segala kompleksitasnya. Marshel tidak memiliki kapasitas politik yang mumpuni. Rekam jejaknya di dunia politik nyaris tidak ada, dan pengalamannya lebih banyak berkisar pada dunia hiburan. Selain itu, ia pernah tersandung kasus pembelian konten porno, yang menunjukkan ketidakmatangan dalam mengambil keputusan. Sering datang telat saat mengisi acara hiburan televisi juga mencerminkan kurangnya disiplin, yang menjadi salah satu kualitas penting dalam kepemimpinan. Pemilihan kepala daerah seharusnya menyuguhkan kualitas pemimpin terbaik yang mampu membawa perubahan positif. Namun, yang sering kita saksikan adalah lebih mengutamakan popularitas. Pemimpin di...

Koalisi PKS dan Gerindra: Langkah Strategis di Pilkada Banten dan Kota Serang

Di dunia politik, strategi adalah segalanya. Setelah satu dekade menjadi oposisi di Banten dan Kota Serang, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tampaknya mengubah taktiknya. Kini, PKS merapat ke Partai Gerindra, partai yang sedang berkuasa. Langkah ini bisa dilihat sebagai upaya PKS untuk membangun kembali pengaruh dan kekuatannya di kancah politik lokal. Mengapa PKS memilih untuk berkoalisi dengan Gerindra? Sederhananya, politik adalah tentang kekuatan dan peluang. Setelah 10 tahun berada di luar pemerintahan, PKS mungkin melihat bahwa bekerja sama dengan partai yang sedang berkuasa bisa membuka jalan bagi mereka untuk lebih berpengaruh dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan. Koalisi ini bukan tanpa tantangan. Para pendukung PKS yang setia mungkin merasa kecewa melihat partai mereka bergandengan tangan dengan partai yang dulu mereka kritik. Namun, dari sudut pandang strategis, langkah ini masuk akal. Dengan Gerindra sebagai mitra, PKS bisa mendapatkan akses ke sumber daya d...

Percaya atau Mencari?

Banyak orang percaya, tapi mereka bukan pencari. Mereka merasa cukup dengan kepercayaannya, tanpa perlu bertanya lebih jauh. Ini adalah pilihan yang nyaman, tentu saja. Percaya berarti tidak perlu repot mencari, tidak perlu repot berpikir lebih dalam. Percaya adalah jalan pintas untuk menghindari pencarian yang sering kali penuh ketidakpastian dan keraguan. Kenapa begitu? Karena orang yang percaya sering kali ingin dibebaskan dari tanggung jawab mencari. Mereka ingin diselamatkan, ingin ada yang datang dan membereskan semuanya. Mereka berharap ada mesias, juru selamat yang akan mengurus semua persoalan hidup mereka. Tapi masalahnya, jika ada orang yang makan untukmu, apakah rasa laparmu akan hilang? Tentu saja tidak. Inilah yang sering kali kita lupakan. Tidak ada yang bisa menyelamatkan kita kecuali diri kita sendiri. Kita adalah kapten dari kapal kehidupan kita. Memang, jalan mencari itu berat dan penuh liku. Tapi itulah yang membuat kita benar-benar hidup dan berproses. Kita harus m...

Tidak Ada Rotan, Thoriq pun Sudah Haji

“Aku ini sudah naik haji sejak umur 2 bulan,” ujar Haji Thoriq dengan bangga di depan kamera podcast. Kami, tim Podcast Ngaco, nyaris terpingkal mendengar pernyataannya. Beberapa menit sebelumnya, Haji Thoriq datang dengan semangat luar biasa. “Hari ini, aku bakal bikin kalian takjub!” serunya. Saat siaran dimulai, dia langsung menyampaikan klaim nyelenehnya. “Serius, Haji? Gimana ceritanya bisa naik haji di umur 2 bulan?” tanya Reza, host kami, dengan senyum setengah tertahan. Haji Thoriq mengangguk. “Waktu itu bapak-ibuku pergi haji, dan aku ikut—meskipun masih di perut ibu. Jadi, secara teknis, aku ini sudah naik haji sejak di kandungan!” Gelak tawa memenuhi studio kecil kami. “Wah, hebat juga, Haji. Jadi pengalaman hajimu lebih dini daripada kita yang baru naik haji setelah dewasa?” tanyaku, mencoba terlihat serius. “Tentu saja,” jawab Haji Thoriq sambil tersenyum lebar. “Pengalaman spiritualku lebih awal daripada kalian.”

Syariah, Negara, dan Ketakutan

Dalam esainya "Syariah, Negara, dan Ketakutan" yang termuat dalam Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad mengajak kita merenungkan bagaimana syariah dan negara bisa jadi campuran yang menakutkan. Goenawan menggambarkan syariah sebagai pedang bermata dua: di satu sisi, ia adalah ekspresi dari keyakinan religius; di sisi lain, jika diterapkan secara paksa oleh negara, ia bisa menimbulkan ketakutan dan alienasi di kalangan masyarakat. Bayangkan kalau syariah, yang sebenarnya bersifat personal dan spiritual, tiba-tiba jadi hukum negara yang kaku. Di Aceh, misalnya, kita lihat bagaimana aturan-aturan syariah bisa mengontrol perilaku publik, mulai dari cara berpakaian hingga cara beribadah. Di sinilah ketakutan mulai muncul: ketakutan akan penindakan, ketakutan akan stigma, dan yang paling parah, ketakutan akan hilangnya kebebasan. Goenawan membandingkan kondisi ini dengan suasana di negara-negara yang memisahkan agama dari negara, seperti di Barat. Di sana, syariah tidak memegang kekua...

Agama Kuburan

“Agama kuburan” sering kali merujuk pada praktik keagamaan yang berkaitan dengan makam leluhur atau tokoh-tokoh suci. Meskipun terdengar kuno, praktik ini masih sangat hidup di banyak komunitas. Di sini, kuburan bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir, melainkan menjadi pusat spiritualitas dan tempat mencari berkah. Pernahkah kamu melihat orang berkumpul di makam seorang wali atau tokoh terhormat, membawa bunga, dan berdoa dengan khusyuk? Mereka berharap agar ruh orang yang dimakamkan itu bisa menjadi perantara doa mereka kepada Tuhan. Ini adalah cerminan dari keyakinan bahwa tempat tersebut memiliki kekuatan khusus, semacam aura sakral yang bisa membawa kedamaian dan perlindungan. Mengapa orang masih melakukan ini di era modern? Jawabannya sederhana: koneksi dengan masa lalu memberikan rasa ketenangan dan kontinuitas. Di tengah dunia yang terus berubah, ziarah ke makam menawarkan sesuatu yang tetap dan akrab. Praktik ini juga memberikan kesempatan untuk merefleksikan kehidupan, m...

Pikiran adalah Maut

Pernahkah kamu merasa terjebak dalam pikiranmu sendiri, seolah-olah pikiran-pikiran itu seperti rantai yang mengurungmu? Pikiran bisa menjadi maut—bukan dalam arti literal, tapi dalam cara mereka bisa menghancurkan kebebasan dan kedamaian batin kita.  Pikiran, dengan segala ingatan dan pengkondisiannya, sering kali menjadi penghalang bagi kita untuk benar-benar hidup. Mereka bisa menarik kita ke dalam masa lalu yang penuh penyesalan atau mendorong kita ke dalam kekhawatiran tentang masa depan. Pikiran adalah alat yang luar biasa jika dipakai dengan benar, tapi bisa berbahaya jika kita biarkan mengendalikan hidup kita.  Kita sering kali begitu terikat dengan pikiran kita, mempercayai bahwa apa yang kita pikirkan adalah realitas mutlak. Namun, pikiran sering terbentuk oleh ketakutan, keinginan, dan prasangka. Mereka bisa menciptakan ilusi yang memperkeruh pemahaman kita tentang diri sendiri dan dunia. Kebebasan sejati hanya bisa ditemukan dalam pemahaman total tentang pikiran da...

Tuhan Maha Asyik, Tapi Bukan Sok Asyik

Sujiwo Tejo, dengan cara pandangnya yang khas, menggambarkan Tuhan sebagai sosok yang asyik, jauh dari bayangan Tuhan yang formal dan kaku. Dalam pandangan Sujiwo, Tuhan bukan hanya Maha Pengatur, tetapi juga Maha Asyik, sosok yang bisa kita ajak "ngobrol" dalam keintiman sehari-hari. Bagi Sujiwo, melihat Tuhan sebagai sosok yang asyik memberikan kedekatan spiritual yang lebih personal. “Kenapa harus takut sama Tuhan? Kalau kita merasa Tuhan itu asyik, hidup jadi lebih ringan,” katanya. Dalam buku dan penampilannya, Sujiwo sering menceritakan bagaimana Tuhan bisa ditemui dalam hal-hal kecil, dalam tawa, kesedihan, atau bahkan dalam secangkir kopi yang kita nikmati di pagi hari. Bayangkan, Sujiwo mengajak kita berbincang dengan Tuhan seolah-olah sedang mengobrol dengan sahabat karib. Tuhan, dalam pemahamannya, bukanlah sosok yang jauh di awan tinggi yang hanya bisa ditemui melalui ritual yang rumit. Sebaliknya, Tuhan hadir dalam setiap napas kita, dalam setiap langkah, dan dal...

Nggak Apa-apa Jelek yang Penting Tobrut!?

"Tiket habis, Bro. Ternyata yang nonton konser hari ini bukan cuma aku sama kamu,” kataku sambil merogoh kantong celana. Di antrean panjang yang melingkar di sekitar stadion, aku dan Arap terjebak dalam suasana yang serba riuh. Kami terpaksa mengalihkan rencana, mencoba mencari hiburan lain di tengah kekecewaan. Arap merogoh saku dan mengeluarkan sebatang rokok. "Yah, mau gimana lagi. Kita nongkrong aja di tempat biasa. Siapa tahu ada cewek cakep lewat,” katanya setengah bercanda, sambil menyulut rokoknya. Kembali ke dua jam sebelumnya, suasana di kampus baru saja usai saat aku dan Arap memutuskan untuk berburu tiket konser mendadak. Sialnya, tiket itu habis sebelum kami sempat mengantre. “Ya sudah, ke warung Bu Wowiek aja. Di sana pasti ada cerita baru,” usul Arap, mencoba menghidupkan kembali semangat yang sempat luntur. Di warung Bu Wowiek, suasana lebih lengang. Hanya beberapa pelanggan tetap yang duduk sambil menikmati kopi. Kami segera memilih tempat duduk di pojokan, m...

Cek Khodam

“Ada getaran listrik kecil di jari-jari saya,” ujarku dengan mata terpejam, mencoba terdengar mistis sambil memegang cincin batu akik milik Pak Kumis. Suara bisik-bisik di warung kopi langsung berhenti, dan semua mata tertuju pada kami. “Benar, benar! Khodamnya sakti!” seru Pak Kumis dengan wajah cerah, seakan-akan aku baru saja memverifikasi kebenaran universal. Di sudut warung, Bu Sumiyati tampak gelisah, menunggu gilirannya. Kembali ke pagi itu, Pak Kumis datang ke rumah dengan langkah terburu-buru. "Coba kamu cek, ada khodam nggak di batu akik ini?" tanyanya, menyerahkan cincin berukuran jumbo seperti bola bekel. Matanya bersinar penuh harapan, seolah-olah aku seorang dukun terkenal. Aku sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang khodam. Tetapi melihat antusiasme Pak Kumis, aku memutuskan untuk sedikit berimprovisasi. “Setahu saya, khodam itu tidak bisa dilihat begitu saja, Pak. Tapi saya coba rasakan,” jawabku, menerima cincinnya dengan penuh kesungguhan yang nyaris membuatku...

Tanpa Doktrin dan Ikut Siapapun

Osho punya cara unik dalam menyampaikan pemikirannya. Dia bilang, “Saya tidak memiliki ajaran apa pun, doktrin apa pun, disiplin apa pun untuk diberikan kepada Anda.” Maksudnya apa, sih? Osho gak mau jadi guru yang ngajarin kita harus begini atau begitu. Sebaliknya, dia pengen kita bangun dan sadar—bukan dengan ikutin ajarannya, tapi dengan nemuin diri kita sendiri. Bagi Osho, ini bukan tentang mengajarkan sesuatu; ini kayak nyiram air dingin ke mata kita biar kita bangun dan lihat dunia dengan jelas.  Nah, kalau kita terbangun, apa yang terjadi? Osho bilang kita gak akan jadi duplikat dirinya, bukan kayak fotokopian yang serupa. Kita bakal jadi diri kita yang asli, bukan sekadar ngikutin cap Kristen, Hindu, atau Islam. Menurut Osho, setiap orang itu kayak bunga yang unik—punya bentuk, warna, dan aroma sendiri. Intinya, gak ada dua orang yang sama, dan setiap orang harus menemukan keunikannya sendiri tanpa terikat oleh label atau doktrin tertentu. Kenapa Osho ngomong gini? Dia perc...

Melihat Keinginan dari Jauh

Pernah merasa keinginan terus mengejar kamu? Ki Ageng Suryamentaram punya trik jitu buat ngatasin itu: nyawang karep. Apa sih nyawang karep? Sederhananya, ini tentang memberi jarak pada keinginan kita. Bayangin keinginanmu seperti bola yang berlari ke arahmu. Alih-alih mengejarnya, coba berdiri dan amati dari jauh. Menurut Ki Ageng, keinginan itu sering bikin kita gak bisa mikir jernih. Dengan nyawang karep, kita diajak buat jadi penonton dari keinginan kita sendiri. Misalnya, pas lagi pengen banget beli gadget baru, coba tarik napas, tenangkan diri, dan lihat keinginan itu seperti kamu lihat orang lain pengen sesuatu. Apakah bener-bener penting? Atau cuma karena iklan keren? Ini bikin kita gak langsung hanyut sama nafsu. Jadi gimana caranya? Pas lagi ngerasa keinginan itu muncul, bayangin kamu lagi di atas gunung, ngelihat lembah di bawah. Lembah itu keinginanmu. Dari situ, kamu bisa lihat dengan lebih jelas tanpa terlibat langsung. Menurut Ki Ageng, “Ketika kita nyawang, kita berdiri...

Osho dan Hidup Tanpa Tujuan

Osho punya pandangan yang agak beda soal hidup. Baginya, hidup tanpa tujuan itu bukan berarti hidup tanpa arah, tapi lebih ke hidup yang bebas dan dinikmati setiap momennya. “Tujuan itu hanya bikin hidup kita terbatas dan sering kali bikin kita gelisah,” kata Osho di bukunya, "Courage: The Joy of Living Dangerously". Dia percaya, kalau kita terlalu fokus sama tujuan, kita justru bakal kehilangan keindahan momen-momen kecil dalam hidup. Coba bayangin, kata Osho, kita ini kayak penjelajah yang lagi jalan-jalan di hutan. Kalau kita terlalu sibuk mikirin tujuan akhir, kita bisa aja melewatkan bunga liar yang indah atau burung-burung yang berkicau. Hidup itu, menurut Osho, adalah tentang menikmati setiap langkah perjalanan, bukan cuma ngebet sampai di garis finish.  “Gak usah terlalu khawatir sama tujuan,” katanya. Hidup ini lebih kaya dan bermakna kalau kita bisa terbuka sama segala kemungkinan dan kejutan yang datang. Jadi, Osho ngajarin kita buat hidup lebih santai, lebih mindf...

Refleksi Tentang Keyakinan

J. Krishnamurti dalam "Buku Kehidupan" mengajak kita bertanya, apakah semangat kita tergantung pada keyakinan? Kita sering merasa antusias terhadap konser, olahraga, atau jalan-jalan. Tapi Krishnamurti menanyakan, apakah antusiasme ini cuma sementara? Kalau semangat kita bergantung pada hal-hal yang terus berubah, adakah energi yang bisa berdiri sendiri tanpa itu semua? Menurut Krishnamurti, kita sering memakai keyakinan untuk merasa bersemangat. “Kita butuh keyakinan untuk menghindari kenyataan yang tidak kita sukai,” katanya. Jadi, keyakinan itu jadi semacam pelarian dari fakta-fakta hidup yang nggak nyaman atau menyakitkan. Tapi, apakah kita benar-benar perlu keyakinan itu? Katanya, kita nggak perlu keyakinan untuk menerima kenyataan seperti matahari, gunung, atau sungai. Itu semua fakta nyata yang nggak bisa dibantah. Krishnamurti menantang kita untuk berpikir ulang, kenapa kita sering butuh keyakinan yang sebenarnya cuma untuk menghindari kenyataan. Menurutnya, kita seri...

Membangun Pemikiran Rasional bersama Tan Malaka

Tan Malaka, seorang tokoh penting dalam sejarah perjuangan Indonesia, memperkenalkan Madilog—sebuah metode berpikir yang menggabungkan Materialisme, Dialektika, dan Logika. Madilog adalah upaya Tan untuk mendorong bangsa Indonesia berpikir lebih kritis dan rasional di tengah tantangan penjajahan dan ketertinggalan. Dalam bukunya "Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika", Tan Malaka mengajarkan bahwa pemikiran harus didasarkan pada kenyataan material yang nyata, bukan pada mitos atau dogma. Ia menulis, “Kita harus mendasarkan cara berpikir pada kenyataan objektif, bukan pada hal-hal gaib atau takhayul” (Madilog, 1943). Tan menekankan pentingnya observasi dan pengalaman sebagai dasar pengetahuan, menolak segala bentuk pemikiran yang tidak memiliki dasar empiris. Metode dialektika dalam Madilog bertujuan untuk memahami perubahan sosial sebagai proses yang dinamis dan kontradiktif. Tan Malaka percaya bahwa sejarah bergerak melalui konflik antara kekuatan-kekuatan yang saling be...

Bid'ah adalah Inovasi

Bid'ah, dalam pandangan tradisional, sering dianggap sebagai inovasi dalam agama yang tidak sesuai dengan praktik Nabi Muhammad. Namun, Emha Ainun Nadjib, atau Cak Nun, menawarkan perspektif yang lebih fleksibel dan inklusif. Menurut Cak Nun, tidak semua bid'ah otomatis berarti negatif. Ia berpendapat bahwa konteks, niat, dan manfaat dari inovasi tersebut harus dipertimbangkan sebelum memberikan label bid'ah yang menyimpang. Cak Nun menekankan pentingnya niat di balik suatu amalan baru. Jika tujuan dari inovasi tersebut adalah untuk membawa kebaikan, meningkatkan pemahaman agama, dan memperkuat iman umat, maka hal itu bisa dianggap positif. “Bid’ah yang baik adalah yang mendatangkan maslahat, membawa pada kebaikan dan kedekatan kepada Allah,” ujar Cak Nun dalam salah satu ceramahnya .  Dalam konteks modern yang penuh dengan perubahan dan tantangan baru, Cak Nun mengajak umat Islam untuk tidak kaku dalam menilai amalan-amalan yang dianggap sebagai bid'ah. Ia melihat fle...

Menafsir Ulang Khilafah

Farag Foda, dalam bukunya "Kebenaran dan Kepalsuan Khilafah", menyoroti ketidakselarasan antara idealisasi khilafah dan realitas historisnya. Buku ini mengajak kita untuk menafsirkan ulang konsep khilafah yang sering diglorifikasi oleh beberapa kelompok sebagai puncak kejayaan Islam yang harus dihidupkan kembali. Foda menguraikan sejarah khilafah dari masa awal Islam hingga kejatuhannya, menyoroti berbagai konflik internal, penyalahgunaan kekuasaan, dan kesenjangan antara prinsip-prinsip Islam dengan praktik politik masa itu. Foda menentang pandangan romantis yang menganggap khilafah sebagai model pemerintahan yang ideal dan mengajukan argumen bahwa kebangkitan kembali khilafah dalam konteks modern bukanlah solusi untuk tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Muslim saat ini. Ia menekankan bahwa sejarah khilafah penuh dengan pergulatan kekuasaan dan penyelewengan, yang tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan dan moralitas yang sebenarnya diajarkan dalam Islam. Menurut Foda, u...

Pluralisme menurut Perspektif Gusdur

Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, mengemukakan pluralisme sebagai prinsip penting dalam kehidupan beragama dan berbangsa di Indonesia. Dalam karyanya “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”, ia menekankan bahwa pluralisme bukan hanya tentang toleransi, tetapi juga tentang penerimaan dan penghargaan terhadap keberagaman. “Pluralisme adalah pengakuan akan kenyataan bahwa ada banyak jalan menuju Tuhan,” tulisnya, menggambarkan visinya tentang kebersamaan yang mengakui perbedaan sebagai bagian integral dari kehidupan. Gus Dur memandang masalah utama dalam masyarakat adalah kecenderungan untuk memaksakan pandangan tunggal yang homogen, yang dapat memicu konflik dan ketegangan antar kelompok. Dia mengkritik pemahaman sempit yang berusaha mengingkari keberagaman yang ada. Menurutnya, solusi dari masalah ini adalah penerimaan aktif terhadap pluralisme, yang berarti tidak hanya mengizinkan perbedaan, tetapi juga merayakan keunikan setiap kelompok. Dalam perjalanannya sebagai pemimpin, Gus Dur mendoron...

Liberalisme dalam Islam

Ulil Abshar Abdalla, tokoh terkemuka dalam wacana liberalisme Islam di Indonesia, memperkenalkan pendekatan segar terhadap ajaran Islam yang menekankan kebebasan berpikir dan reinterpretasi teks-teks suci. Dalam pandangannya, liberalisme dalam Islam adalah upaya untuk membaca Al-Qur'an dan Hadis dengan mempertimbangkan konteks zaman dan kondisi sosial yang terus berubah. “Islam harus selalu ditafsirkan ulang agar tetap relevan dengan perkembangan zaman,” ujarnya dalam sebuah wawancara. Ulil melihat masalah utama dalam pendekatan tradisional terhadap Islam adalah kecenderungan untuk berpegang teguh pada tafsir yang kaku dan tekstualis. Menurutnya, hal ini dapat menghambat kemajuan dan mengisolasi umat Islam dari dinamika sosial dan intelektual global. “Kita tidak bisa memaksakan pemahaman abad ke-7 pada abad ke-21 tanpa mempertimbangkan perubahan konteks,” tegasnya. Sebagai solusinya, Ulil mengadvokasi metode penafsiran yang lebih dinamis dan kontekstual. Ia mengajak umat Islam untu...

Sekulerisme dalam Islam

Nurcholish Madjid, yang lebih dikenal sebagai Cak Nur, menonjol sebagai salah satu pemikir Muslim yang mempopulerkan gagasan sekularisme dalam konteks Islam Indonesia. Dalam pandangannya, sekularisme bukanlah penolakan terhadap agama, melainkan upaya untuk memisahkan kekuasaan agama dari politik guna menciptakan masyarakat yang adil dan rasional. “Sekularisme dalam Islam bukan berarti mengabaikan agama, tetapi menjadikan agama sebagai nilai-nilai moral yang memandu kehidupan, bukan sebagai alat kekuasaan,” tulisnya dalam *Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan*. Bagi Cak Nur, pentingnya sekularisme terletak pada upayanya untuk menjaga kesucian agama dari kontaminasi politik. Dengan memisahkan urusan agama dari pemerintahan, masyarakat dapat memastikan bahwa kebijakan publik didasarkan pada alasan yang rasional dan adil bagi semua, bukan hanya bagi satu kelompok agama tertentu. Sekularisme, menurutnya, adalah tentang melindungi agama dari korupsi politik dan menjaga pluralisme dalam masya...