"Tiket habis, Bro. Ternyata yang nonton konser hari ini bukan cuma aku sama kamu,” kataku sambil merogoh kantong celana. Di antrean panjang yang melingkar di sekitar stadion, aku dan Arap terjebak dalam suasana yang serba riuh. Kami terpaksa mengalihkan rencana, mencoba mencari hiburan lain di tengah kekecewaan.
Arap merogoh saku dan mengeluarkan sebatang rokok. "Yah, mau gimana lagi. Kita nongkrong aja di tempat biasa. Siapa tahu ada cewek cakep lewat,” katanya setengah bercanda, sambil menyulut rokoknya.
Kembali ke dua jam sebelumnya, suasana di kampus baru saja usai saat aku dan Arap memutuskan untuk berburu tiket konser mendadak. Sialnya, tiket itu habis sebelum kami sempat mengantre. “Ya sudah, ke warung Bu Wowiek aja. Di sana pasti ada cerita baru,” usul Arap, mencoba menghidupkan kembali semangat yang sempat luntur.
Di warung Bu Wowiek, suasana lebih lengang. Hanya beberapa pelanggan tetap yang duduk sambil menikmati kopi. Kami segera memilih tempat duduk di pojokan, menikmati pemandangan orang-orang yang berlalu lalang di luar. Lalu, tiba-tiba, sosok itu muncul—cewek dengan penampilan yang mencolok, berjalan dengan percaya diri meski wajahnya tak seindah harapan. Tapi, toketnya—wah, brutal.
“Bro, lihat cewek itu. Gimana ya bilangnya... tobrut banget!” bisik Arap dengan antusiasme yang susah disembunyikan, sembari menepuk bahuku. Aku berusaha untuk tidak tertawa terlalu keras, tapi pandangan matanya membuat situasi menjadi terlalu lucu untuk diabaikan.
Malam itu, di warung Bu Wowiek, cerita tentang cewek “tobrut” menjadi topik utama. "Gue nggak ngerti, kenapa bisa ada yang pede banget kayak gitu?" tanyaku, mencoba menggali lebih dalam soal fenomena yang baru saja kami saksikan.
Arap tertawa. “Yah, mungkin dia tahu itu modal utamanya, Bro. Nggak apa-apa jelek, yang penting tobrut, kan?” jawabnya sambil tertawa terbahak-bahak, seolah itu adalah lelucon paling hebat yang pernah ia lontarkan.
Beberapa minggu berlalu, dan “Cewek Tobrut”—begitu kami menjulukinya—menjadi ghibah di warung Bu Wowiek. Namanya adalah Bila, mahasiswi fakultas ekonomi yang dikenal tidak hanya karena keberanian fisiknya tetapi juga kepercayaan diri yang membuatnya tampak tak peduli pada omongan orang. “Cuek aja, Mas. Toh yang penting kan orangnya enjoy,” katanya ketika kami akhirnya punya kesempatan untuk ngobrol dengannya suatu malam.
Bila menceritakan bahwa dia sering kali menjadi bahan omongan, tapi dia lebih memilih untuk menikmati hidup daripada memikirkan kritik. “Buat apa ganteng atau cantik kalau ujung-ujungnya nggak bahagia? Yang penting, jadi diri sendiri dan yakin dengan apa yang kita punya,” ujarnya dengan senyum yang tenang, membuat kami terdiam sejenak.
Kami jadi berpikir, mungkin kami yang terlalu cepat menilai. Di tengah kicauan omongan miring dan lelucon yang dangkal, Bila membawa sudut pandang yang segar tentang menerima diri sendiri dan hidup tanpa perlu peduli terlalu banyak tentang apa yang orang lain pikirkan.
Pada akhirnya, “Cewek Tobrut” bukan hanya soal penampilan yang mencolok tetapi juga tentang bagaimana kita menghadapi dunia dengan kepercayaan diri dan kebahagiaan yang tulus. Bila mengajarkan kami bahwa tobrut atau tidak, yang penting adalah bagaimana kita memandang diri sendiri dan menikmati hidup.
Komentar
Posting Komentar