Langsung ke konten utama

Syariah, Negara, dan Ketakutan

Dalam esainya "Syariah, Negara, dan Ketakutan" yang termuat dalam Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad mengajak kita merenungkan bagaimana syariah dan negara bisa jadi campuran yang menakutkan. Goenawan menggambarkan syariah sebagai pedang bermata dua: di satu sisi, ia adalah ekspresi dari keyakinan religius; di sisi lain, jika diterapkan secara paksa oleh negara, ia bisa menimbulkan ketakutan dan alienasi di kalangan masyarakat.

Bayangkan kalau syariah, yang sebenarnya bersifat personal dan spiritual, tiba-tiba jadi hukum negara yang kaku. Di Aceh, misalnya, kita lihat bagaimana aturan-aturan syariah bisa mengontrol perilaku publik, mulai dari cara berpakaian hingga cara beribadah. Di sinilah ketakutan mulai muncul: ketakutan akan penindakan, ketakutan akan stigma, dan yang paling parah, ketakutan akan hilangnya kebebasan.

Goenawan membandingkan kondisi ini dengan suasana di negara-negara yang memisahkan agama dari negara, seperti di Barat. Di sana, syariah tidak memegang kekuasaan atas hukum negara, sehingga tidak ada rasa takut bahwa kehidupan pribadi akan diatur oleh norma agama tertentu. Masyarakat bisa menjalankan keyakinan mereka tanpa paksaan atau ketakutan akan sanksi hukum.

Menurut Goenawan, ini semua bukan tentang menolak syariah atau agama, tapi lebih tentang bagaimana kita bisa menjaga ruang pribadi dan kebebasan dalam berkeyakinan tanpa campur tangan negara. Goenawan mengajak kita untuk berpikir ulang: bagaimana seharusnya peran syariah dalam masyarakat modern? Haruskah ia menjadi alat negara atau tetap sebagai jalan spiritual yang personal?

Esai ini mengingatkan kita akan pentingnya keseimbangan antara keyakinan pribadi dan kebebasan sipil, serta bahaya ketika negara mencampuri terlalu dalam urusan iman. Goenawan memberikan gambaran bahwa pemaksaan syariah oleh negara tidak hanya menimbulkan ketakutan tetapi juga merusak esensi kebebasan beragama itu sendiri.

Komentar

Tulisan Populer

Apa Beda Suka, Senang, dan Cinta?

Apa beda suka, senang, dan cinta? Selama anda masih belum bisa membedakan ketiga hal itu, maka anda akan salah dalam memaknai cinta. Saya ilustrasikan dalam cerita, Anda membeli hp Android karena melihat banyak teman-teman yang memilikinya dan terlihat keren, saat itu anda berada di wilayah SUKA. Dan suka merupakan wilayah NAFSU. Ketika anda mengetahui fitur, fasilitas dan manfaat Android yang lebih hebat dibandingkan HP jenis lain, maka saat itu anda berada diwilayah SENANG. Dan senang itu tidak menentu, dapat berubah-ubah tergantung kepada MOOD. Saat BOSAN, bersiaplah untuk mengganti HP jenis baru yang lebih canggih. Jadi jelaslah bahwa, Selama ini CINTA yang kita yakini sebagai cinta baru berada dalam wilayah SUKA dan SENANG. BOHONG! Jika anda berkata, gue JATUH CINTA pada pandangan pertama. Sesungguhnya saat itu anda sedang berkata, gue NAFSU dalam pandangan pertama. Mengapa demikian? Karena cinta yang anda maknai baru sebatas SUKA. Suka dengan wajahnya yang cantik, se...

Benturan antara Idealisme dan Realitas

Sendy, sosok aktivis pergerakan mahasiswa yang idealis dan bertanggung jawab dalam memegang amanah di organisasinya. Dalam aksi, dia sering menjadi koordinator lapangan, mempimpin aksi. Mulai dari kebijakan kampus hingga kebijakan pemerintah daerah dan pusat yang tidak memihak kepada rakyat maka Sendy pasti membelanya dengan mengadakan aksi jalanan. Kata-kata yang terlontar dari mulutnya saat orasi, seolah menghipnotis yang mendengarnya, karena di bawakan dengan semangat dan mampu menggerakan massa dengan baik. Selang 6 tahun, saat ia meninggalkan kehidupan kampus dan menjadi pengusaha. Sendy menjadi opportunis dan pragmatis. Mengapa? Karena uang lah yang menjadi segalanya, dan kepentingan lah yang menjadi prioritasnya. Bukan karena lupa nya idealisme yang ia pegang selama ia jadi mahasiswa, namun semuanya berubah ketika uang berbicara. Apalagi saat ini Sendy telah berkeluarga dengan Fenny, aktivis pergerakan mahasiswi yang satu organisasi dengannya. Sendy dan Fenny memiliki 3 ora...