Bahagia, sering disebut sebagai sesuatu yang sederhana. Namun, sebenarnya, apakah benar sesederhana itu? Bahagia selalu digambarkan sebagai sebuah kondisi yang mudah diraih, sebuah perasaan yang datang tanpa syarat. Tetapi kenyataannya, kebahagiaan adalah teka-teki yang rumit. Kita mengejarnya seolah ia hanya selangkah di depan, namun semakin dikejar, semakin jauh ia menjauh.
Kita berusaha meraih bahagia dengan mengumpulkan segala hal yang kita anggap bisa memberikannya: materi, cinta, pencapaian. Namun, begitu semua itu terkumpul, kita menyadari ada ruang kosong yang tak bisa diisi. Bahagia, seperti bayangan di cermin, tampak nyata namun tak bisa disentuh. Dalam pencarian itu, kita mungkin sesekali menemukannya, dalam tawa atau momen singkat. Tetapi ia segera menghilang, digantikan oleh keresahan baru. Bahagia tidak permanen, ia berubah, mengalir bersama waktu, tak pernah menetap.
Mungkin itulah kenyataannya: bahagia tidak pernah dimaksudkan untuk kita genggam selamanya. Ia datang sebagai tamu, memberi kita jeda dari absurditas hidup, namun tidak pernah benar-benar tinggal. Kita ingin percaya bahwa bahagia itu sederhana, namun barangkali, dalam ketidaksederhanaannya itulah kebahagiaan mendapatkan maknanya—sesuatu yang hanya kita sentuh, tapi tidak pernah kita miliki sepenuhnya.
Komentar
Posting Komentar