Langsung ke konten utama

Kelucuan Marshel Widianto, Popularitas Mengalahkan Kualitas?

Majunya pelawak Marshel Widianto sebagai calon wakil wali kota Tangerang Selatan menimbulkan banyak perdebatan. Sebagai seorang komedian, Marshel mungkin dikenal luas oleh masyarakat dan memiliki daya tarik tersendiri. Namun, dalam konteks politik, pertanyaan utama adalah apakah popularitas semata cukup untuk memimpin sebuah kota dengan segala kompleksitasnya.

Marshel tidak memiliki kapasitas politik yang mumpuni. Rekam jejaknya di dunia politik nyaris tidak ada, dan pengalamannya lebih banyak berkisar pada dunia hiburan. Selain itu, ia pernah tersandung kasus pembelian konten porno, yang menunjukkan ketidakmatangan dalam mengambil keputusan. Sering datang telat saat mengisi acara hiburan televisi juga mencerminkan kurangnya disiplin, yang menjadi salah satu kualitas penting dalam kepemimpinan.

Pemilihan kepala daerah seharusnya menyuguhkan kualitas pemimpin terbaik yang mampu membawa perubahan positif. Namun, yang sering kita saksikan adalah lebih mengutamakan popularitas. Pemimpin dipilih bukan karena kapasitas dan integritasnya, tetapi karena mereka bisa tampil sebagai "badut politik" yang meningkatkan rating dan popularitas partai atau koalisi yang mengusungnya.

Fenomena ini mencerminkan degradasi nilai dalam politik kita. Pemimpin dengan visi dan misi jelas sering kali terpinggirkan oleh mereka yang hanya mengandalkan daya tarik personal dan popularitas media. Masyarakat seolah diajak menonton pertunjukan hiburan daripada menyaksikan proses seleksi pemimpin yang berkualitas. Jika terus dibiarkan, ini bisa membawa dampak negatif jangka panjang bagi perkembangan daerah dan kesejahteraan masyarakat.

Pemilih perlu lebih kritis dan tidak mudah terbuai oleh popularitas semata. Memilih pemimpin bukan sekadar memilih figur yang terkenal, tetapi memilih seseorang yang mampu membawa perubahan nyata dan positif.

Komentar

Tulisan Populer

Apa Beda Suka, Senang, dan Cinta?

Apa beda suka, senang, dan cinta? Selama anda masih belum bisa membedakan ketiga hal itu, maka anda akan salah dalam memaknai cinta. Saya ilustrasikan dalam cerita, Anda membeli hp Android karena melihat banyak teman-teman yang memilikinya dan terlihat keren, saat itu anda berada di wilayah SUKA. Dan suka merupakan wilayah NAFSU. Ketika anda mengetahui fitur, fasilitas dan manfaat Android yang lebih hebat dibandingkan HP jenis lain, maka saat itu anda berada diwilayah SENANG. Dan senang itu tidak menentu, dapat berubah-ubah tergantung kepada MOOD. Saat BOSAN, bersiaplah untuk mengganti HP jenis baru yang lebih canggih. Jadi jelaslah bahwa, Selama ini CINTA yang kita yakini sebagai cinta baru berada dalam wilayah SUKA dan SENANG. BOHONG! Jika anda berkata, gue JATUH CINTA pada pandangan pertama. Sesungguhnya saat itu anda sedang berkata, gue NAFSU dalam pandangan pertama. Mengapa demikian? Karena cinta yang anda maknai baru sebatas SUKA. Suka dengan wajahnya yang cantik, se...

Benturan antara Idealisme dan Realitas

Sendy, sosok aktivis pergerakan mahasiswa yang idealis dan bertanggung jawab dalam memegang amanah di organisasinya. Dalam aksi, dia sering menjadi koordinator lapangan, mempimpin aksi. Mulai dari kebijakan kampus hingga kebijakan pemerintah daerah dan pusat yang tidak memihak kepada rakyat maka Sendy pasti membelanya dengan mengadakan aksi jalanan. Kata-kata yang terlontar dari mulutnya saat orasi, seolah menghipnotis yang mendengarnya, karena di bawakan dengan semangat dan mampu menggerakan massa dengan baik. Selang 6 tahun, saat ia meninggalkan kehidupan kampus dan menjadi pengusaha. Sendy menjadi opportunis dan pragmatis. Mengapa? Karena uang lah yang menjadi segalanya, dan kepentingan lah yang menjadi prioritasnya. Bukan karena lupa nya idealisme yang ia pegang selama ia jadi mahasiswa, namun semuanya berubah ketika uang berbicara. Apalagi saat ini Sendy telah berkeluarga dengan Fenny, aktivis pergerakan mahasiswi yang satu organisasi dengannya. Sendy dan Fenny memiliki 3 ora...