Langsung ke konten utama

Homo Sacer dan Politik Indonesia

Dalam konteks politik Indonesia saat ini, konsep homo sacer, yang diperkenalkan oleh filsuf Giorgio Agamben, dapat menjadi refleksi yang tajam terhadap kondisi para individu yang terpinggirkan oleh kekuasaan. Homo sacer adalah sosok yang, meskipun dianggap sebagai manusia, tidak memiliki hak-hak yang dijamin oleh hukum; ia bisa dikesampingkan, dilupakan, dan diperlakukan sewenang-wenang tanpa adanya konsekuensi.

Politik dinasti di Indonesia adalah contoh nyata bagaimana kekuasaan sering kali diwariskan dalam lingkaran elite, meninggalkan mereka yang tidak berada dalam lingkaran tersebut sebagai homo sacer—terpinggirkan, tak diperhitungkan, dan tidak memiliki akses ke kekuasaan yang seharusnya menjadi milik semua warga negara. Pilkada yang seharusnya menjadi ajang demokrasi, sering kali hanya menjadi panggung bagi keluarga atau kelompok tertentu untuk memperkuat dominasi mereka. 

Lihat saja bagaimana para kandidat kepala daerah yang hampir selalu berasal dari keluarga elite politik atau mereka yang memiliki hubungan dekat dengan pusat kekuasaan. Mereka yang berani maju tanpa dukungan dinasti politik sering kali diabaikan, atau lebih parahnya, dijadikan kambing hitam untuk berbagai kegagalan. Mereka adalah homo sacer dalam politik Indonesia—terlihat, tetapi tidak benar-benar dianggap.

Di Pilkada, tidak jarang kita menyaksikan kandidat yang sebenarnya potensial namun terpaksa harus berhadapan dengan kekuatan besar dari dinasti politik yang sulit ditandingi. Mereka, meskipun mungkin memiliki visi dan kemampuan yang mumpuni, akhirnya harus menerima kenyataan pahit bahwa mereka hanyalah figuran dalam permainan besar yang dikendalikan oleh keluarga atau kelompok yang sudah mapan.

Namun, inilah ironi besar dalam politik Indonesia. Di satu sisi, kita mengklaim diri sebagai demokrasi terbesar ketiga di dunia, namun di sisi lain, kekuasaan sering kali hanya berputar-putar di tangan segelintir orang yang memiliki akses dan hubungan dengan pusat kekuatan. Sementara itu, rakyat—yang seharusnya menjadi penentu utama dalam demokrasi—justru menjadi homo sacer, hanya menjadi penonton yang terpinggirkan dari proses politik yang seharusnya inklusif.

Maka, jika kita berbicara tentang masa depan politik Indonesia, penting untuk bertanya: Akankah kita terus membiarkan sistem ini berjalan seperti ini, atau sudah saatnya kita merombak tatanan yang ada untuk memastikan bahwa semua orang, tanpa terkecuali, memiliki kesempatan yang sama dalam menentukan arah bangsa ini? Jika tidak, kita hanya akan terus melahirkan lebih banyak homo sacer dalam politik kita—mereka yang dianggap ada, tetapi tidak pernah benar-benar diperhitungkan.

Komentar

Tulisan Populer

Apa Beda Suka, Senang, dan Cinta?

Apa beda suka, senang, dan cinta? Selama anda masih belum bisa membedakan ketiga hal itu, maka anda akan salah dalam memaknai cinta. Saya ilustrasikan dalam cerita, Anda membeli hp Android karena melihat banyak teman-teman yang memilikinya dan terlihat keren, saat itu anda berada di wilayah SUKA. Dan suka merupakan wilayah NAFSU. Ketika anda mengetahui fitur, fasilitas dan manfaat Android yang lebih hebat dibandingkan HP jenis lain, maka saat itu anda berada diwilayah SENANG. Dan senang itu tidak menentu, dapat berubah-ubah tergantung kepada MOOD. Saat BOSAN, bersiaplah untuk mengganti HP jenis baru yang lebih canggih. Jadi jelaslah bahwa, Selama ini CINTA yang kita yakini sebagai cinta baru berada dalam wilayah SUKA dan SENANG. BOHONG! Jika anda berkata, gue JATUH CINTA pada pandangan pertama. Sesungguhnya saat itu anda sedang berkata, gue NAFSU dalam pandangan pertama. Mengapa demikian? Karena cinta yang anda maknai baru sebatas SUKA. Suka dengan wajahnya yang cantik, se...

Benturan antara Idealisme dan Realitas

Sendy, sosok aktivis pergerakan mahasiswa yang idealis dan bertanggung jawab dalam memegang amanah di organisasinya. Dalam aksi, dia sering menjadi koordinator lapangan, mempimpin aksi. Mulai dari kebijakan kampus hingga kebijakan pemerintah daerah dan pusat yang tidak memihak kepada rakyat maka Sendy pasti membelanya dengan mengadakan aksi jalanan. Kata-kata yang terlontar dari mulutnya saat orasi, seolah menghipnotis yang mendengarnya, karena di bawakan dengan semangat dan mampu menggerakan massa dengan baik. Selang 6 tahun, saat ia meninggalkan kehidupan kampus dan menjadi pengusaha. Sendy menjadi opportunis dan pragmatis. Mengapa? Karena uang lah yang menjadi segalanya, dan kepentingan lah yang menjadi prioritasnya. Bukan karena lupa nya idealisme yang ia pegang selama ia jadi mahasiswa, namun semuanya berubah ketika uang berbicara. Apalagi saat ini Sendy telah berkeluarga dengan Fenny, aktivis pergerakan mahasiswi yang satu organisasi dengannya. Sendy dan Fenny memiliki 3 ora...