Langsung ke konten utama

Kader Partai Politik yang Kalah Pamor dengan Popularitas dan Modal Besar

Di balik gegap gempita Pemilihan Kepala Daerah, ada cerita getir tentang seorang kader partai yang gagal meraih posisi kepala daerah. Sejak awal, dia mengikuti jenjang kaderisasi dengan semangat membara. Berangkat dari sekolah partai, merambah ke dunia kampus, dan akhirnya mendalami politik secara serius. Namun, kenyataan politik seringkali tak seindah teori di buku-buku pelajaran.

Kader ini, meski berpengalaman dan berdedikasi, kalah pamor dari para calon yang lebih populer dan punya modal amunisi politik yang lebih besar. Ironisnya, lawan-lawan politiknya lebih dikenal sebagai selebritas dan figur publik yang sering muncul di layar kaca. Popularitas mereka mengalahkan segala bentuk pengalaman dan kompetensi yang telah dibangun dengan susah payah oleh sang kader.

Selain itu, politik adalah soal kedekatan dengan para elite partai. Tanpa dukungan kuat dari atas, kader ini seolah berjalan di jalan terjal tanpa sandaran. Para elite lebih memilih mendukung figur yang bisa menaikkan citra partai secara instan, bukan mereka yang telah setia mengabdikan diri dalam waktu yang lama.

Begitulah politik di Pemilihan Kepala Daerah yang maju bukanlah kader partai yang telah ditempa dalam proses panjang, tetapi mereka yang punya nama besar dan modal kuat. Ini adalah realitas pahit yang harus dihadapi oleh mereka yang benar-benar ingin membangun daerah dengan dasar kompetensi dan integritas.

Sebenarnya, partai politik seharusnya lebih memperhatikan kaderisasi yang matang. Kader yang telah melalui proses panjang dan teruji harusnya mendapat kesempatan lebih besar untuk maju dalam Pilkada. Namun, kenyataannya sering berbeda. Dalam arena politik, uang dan popularitas masih menjadi raja.

Kader itu mungkin kalah kali ini, tapi cerita ini adalah pengingat bahwa sistem politik kita butuh perubahan. Mungkin saatnya bagi partai untuk benar-benar memberikan ruang bagi mereka yang telah berjuang dari bawah, bukan sekadar mendukung mereka yang bisa tampil sebagai badut politik di panggung pemilihan.

Komentar

Tulisan Populer

Apa Beda Suka, Senang, dan Cinta?

Apa beda suka, senang, dan cinta? Selama anda masih belum bisa membedakan ketiga hal itu, maka anda akan salah dalam memaknai cinta. Saya ilustrasikan dalam cerita, Anda membeli hp Android karena melihat banyak teman-teman yang memilikinya dan terlihat keren, saat itu anda berada di wilayah SUKA. Dan suka merupakan wilayah NAFSU. Ketika anda mengetahui fitur, fasilitas dan manfaat Android yang lebih hebat dibandingkan HP jenis lain, maka saat itu anda berada diwilayah SENANG. Dan senang itu tidak menentu, dapat berubah-ubah tergantung kepada MOOD. Saat BOSAN, bersiaplah untuk mengganti HP jenis baru yang lebih canggih. Jadi jelaslah bahwa, Selama ini CINTA yang kita yakini sebagai cinta baru berada dalam wilayah SUKA dan SENANG. BOHONG! Jika anda berkata, gue JATUH CINTA pada pandangan pertama. Sesungguhnya saat itu anda sedang berkata, gue NAFSU dalam pandangan pertama. Mengapa demikian? Karena cinta yang anda maknai baru sebatas SUKA. Suka dengan wajahnya yang cantik, se...

Benturan antara Idealisme dan Realitas

Sendy, sosok aktivis pergerakan mahasiswa yang idealis dan bertanggung jawab dalam memegang amanah di organisasinya. Dalam aksi, dia sering menjadi koordinator lapangan, mempimpin aksi. Mulai dari kebijakan kampus hingga kebijakan pemerintah daerah dan pusat yang tidak memihak kepada rakyat maka Sendy pasti membelanya dengan mengadakan aksi jalanan. Kata-kata yang terlontar dari mulutnya saat orasi, seolah menghipnotis yang mendengarnya, karena di bawakan dengan semangat dan mampu menggerakan massa dengan baik. Selang 6 tahun, saat ia meninggalkan kehidupan kampus dan menjadi pengusaha. Sendy menjadi opportunis dan pragmatis. Mengapa? Karena uang lah yang menjadi segalanya, dan kepentingan lah yang menjadi prioritasnya. Bukan karena lupa nya idealisme yang ia pegang selama ia jadi mahasiswa, namun semuanya berubah ketika uang berbicara. Apalagi saat ini Sendy telah berkeluarga dengan Fenny, aktivis pergerakan mahasiswi yang satu organisasi dengannya. Sendy dan Fenny memiliki 3 ora...