Langsung ke konten utama

Skeptis tentang Keberadaan Tuhan

Di kota Serang, Banten hiduplah seorang pria bernama Bagas. Bagas adalah seorang skeptis, selalu mempertanyakan segala sesuatu, termasuk keberadaan Tuhan. Meskipun begitu, dia selalu berbuat baik kepada orang lain. Baginya, kebaikan adalah tanggung jawab manusia, bukan perintah dari entitas yang tidak terlihat.

Suatu sore yang mendung, Bagas berjalan di tepi sungai yang membelah kota. Pikiran-pikirannya seperti biasa, tenggelam dalam debat internal tentang eksistensi dan moralitas. Tiba-tiba, hujan turun dengan deras. Bagas segera berlindung di bawah jembatan yang sunyi, hanya terdengar suara air yang bergemuruh.

Di sana, ia bertemu seorang lelaki tua dengan jubah panjang, duduk tenang di sudut jembatan. Wajah lelaki itu memancarkan kedamaian yang kontras dengan kekacauan hujan di sekitarnya. Bagas, terdorong oleh rasa ingin tahu, mendekat dan menyapa, “Apa yang membuatmu begitu tenang di tengah badai ini?”

Lelaki tua itu tersenyum, tatapannya menembus jiwa Bagas. “Aku adalah pengembara, dan badai bukanlah sesuatu yang asing bagiku. Sama seperti keraguan bukanlah hal yang asing bagimu.”

Bagas terdiam, heran dengan pemahaman lelaki tua itu tentang dirinya. “Apakah engkau tahu siapa aku?”

Lelaki tua itu hanya tertawa kecil. “Aku tahu keraguanmu, Bagas. Engkau selalu mencari jawaban tentang keberadaan Tuhan, namun menolak untuk percaya kepada-Nya.”

Bagas merasa darahnya mendidih. “Mengapa aku harus percaya pada sesuatu yang tidak bisa aku lihat atau buktikan?”

Lelaki tua itu memandang jauh ke sungai yang bergelombang. “Terkadang, kita tidak perlu melihat untuk percaya. Seperti kita merasakan angin tanpa melihatnya, kita merasakan kehadiran Tuhan dalam kebaikan dan kasih yang kita alami dan bagikan.”

Bagas menggelengkan kepalanya. “Itu hanyalah perasaan. Tanpa bukti konkret, bagaimana kita bisa percaya?”

Lelaki tua itu mengangkat tangannya, mengisyaratkan Bagas untuk mendengarkan lebih dalam. “Di dunia ini, ada banyak hal yang tidak bisa kita lihat dengan mata, namun kita tahu keberadaannya dengan hati. Cinta, misalnya. Engkau mencintai, bukan karena kau melihat cinta, tapi karena kau merasakannya.”

Hujan semakin deras, namun Bagas merasa seolah-olah dunia di sekitarnya menghilang, hanya menyisakan dia dan lelaki tua itu. “Tapi bagaimana dengan Tuhan? Mengapa Dia tidak menampakkan diri dan menghilangkan semua keraguan ini?”

Lelaki tua itu menatap Bagas dengan mata penuh pengertian. “Bagas, Tuhan tidak selalu menunjukkan diri-Nya melalui hal yang spektakuler. Dia hadir dalam hal-hal sederhana: senyum seorang anak, kebaikan yang kita lakukan, bahkan dalam keajaiban kecil di setiap detik kehidupan kita. Percaya kepada Tuhan bukan soal melihat, tapi soal merasakan kehadiran-Nya dalam setiap napas dan langkah kita.”

Bagas merasakan sesuatu yang hangat mengalir dalam dirinya. Keraguannya, sejenak, terasa larut dalam kebijaksanaan lelaki tua itu. Namun, ia masih mencari kepastian. “Tapi mengapa aku? Mengapa aku selalu meragukan?”

Lelaki tua itu tersenyum lembut. “Keraguanmu adalah bagian dari perjalananmu, Bagas. Tuhan tidak marah pada keraguanmu. Dia ingin engkau mencari-Nya dengan sepenuh hati. Kadang, justru dalam keraguan, kita menemukan iman yang paling tulus.”

Tiba-tiba, suara hujan mereda, dan matahari mulai menembus awan, menciptakan pelangi yang indah di atas sungai. Bagas memandang ke atas, terpesona oleh keindahan alam yang tiba-tiba hadir di hadapannya.

Ketika dia berbalik untuk bertanya lebih banyak kepada lelaki tua itu, ia menyadari bahwa lelaki itu sudah tidak ada. Hanya ada keheningan dan kedamaian yang menyelimuti dirinya.

Bagas berdiri di sana, sendirian tapi tidak sendiri. Dia menyadari bahwa pencarian akan Tuhan tidak harus berakhir dengan bukti fisik. Terkadang, cukup dengan membuka hati dan melihat dunia melalui lensa cinta dan kebaikan.

Bagas melanjutkan perjalanannya, tidak dengan jawaban pasti, tetapi dengan hati yang lebih terbuka. Dia belajar bahwa kehadiran Tuhan bisa dirasakan dalam setiap langkah kecil dan setiap napas yang ia ambil. 

Di kota kecil itu, Bagas menjadi seorang yang lebih bijak, dengan kesadaran baru bahwa mungkin, hanya mungkin, Tuhan tidak hanya ada di atas sana, tetapi juga hadir dalam setiap momen yang dia alami, setiap kebaikan yang dia lakukan, dan setiap cinta yang dia rasakan.

Komentar

Tulisan Populer

Apa Beda Suka, Senang, dan Cinta?

Apa beda suka, senang, dan cinta? Selama anda masih belum bisa membedakan ketiga hal itu, maka anda akan salah dalam memaknai cinta. Saya ilustrasikan dalam cerita, Anda membeli hp Android karena melihat banyak teman-teman yang memilikinya dan terlihat keren, saat itu anda berada di wilayah SUKA. Dan suka merupakan wilayah NAFSU. Ketika anda mengetahui fitur, fasilitas dan manfaat Android yang lebih hebat dibandingkan HP jenis lain, maka saat itu anda berada diwilayah SENANG. Dan senang itu tidak menentu, dapat berubah-ubah tergantung kepada MOOD. Saat BOSAN, bersiaplah untuk mengganti HP jenis baru yang lebih canggih. Jadi jelaslah bahwa, Selama ini CINTA yang kita yakini sebagai cinta baru berada dalam wilayah SUKA dan SENANG. BOHONG! Jika anda berkata, gue JATUH CINTA pada pandangan pertama. Sesungguhnya saat itu anda sedang berkata, gue NAFSU dalam pandangan pertama. Mengapa demikian? Karena cinta yang anda maknai baru sebatas SUKA. Suka dengan wajahnya yang cantik, se...

Benturan antara Idealisme dan Realitas

Sendy, sosok aktivis pergerakan mahasiswa yang idealis dan bertanggung jawab dalam memegang amanah di organisasinya. Dalam aksi, dia sering menjadi koordinator lapangan, mempimpin aksi. Mulai dari kebijakan kampus hingga kebijakan pemerintah daerah dan pusat yang tidak memihak kepada rakyat maka Sendy pasti membelanya dengan mengadakan aksi jalanan. Kata-kata yang terlontar dari mulutnya saat orasi, seolah menghipnotis yang mendengarnya, karena di bawakan dengan semangat dan mampu menggerakan massa dengan baik. Selang 6 tahun, saat ia meninggalkan kehidupan kampus dan menjadi pengusaha. Sendy menjadi opportunis dan pragmatis. Mengapa? Karena uang lah yang menjadi segalanya, dan kepentingan lah yang menjadi prioritasnya. Bukan karena lupa nya idealisme yang ia pegang selama ia jadi mahasiswa, namun semuanya berubah ketika uang berbicara. Apalagi saat ini Sendy telah berkeluarga dengan Fenny, aktivis pergerakan mahasiswi yang satu organisasi dengannya. Sendy dan Fenny memiliki 3 ora...