Langsung ke konten utama

Jangan Takut, Kamu Pasti Akan Mati

Suatu sore di sebuah kampung kecil, Pak Damar, seorang petani berusia lanjut, duduk di teras rumahnya yang sederhana. Matanya menatap ke kejauhan, menembus batas ladang jagung yang menguning, lalu menghilang di cakrawala. Ditemani segelas teh hangat, Pak Damar tampak termenung, memikirkan sesuatu yang mendalam.

Hari itu, Adi, cucu kesayangannya, datang berkunjung. Adi duduk di sebelah kakeknya, ikut menikmati ketenangan sore itu.

“Kek, apa yang sedang Kakek pikirkan?” tanya Adi, memecah kesunyian.

Pak Damar tersenyum tipis, menatap Adi dengan mata yang penuh kasih. “Adi, apakah kamu takut mati?” tanyanya lembut, sambil menggenggam tangan cucunya.

Adi tertegun, tidak menyangka akan pertanyaan itu. “Kenapa Kakek tanya begitu?”

“Jangan takut, kamu pasti akan mati,” jawab Pak Damar dengan nada yang tenang namun mengandung filosofi mendalam. “Kematian itu seperti malam yang datang setelah siang, tak perlu ditakuti, karena ia adalah bagian dari perjalanan.”

Adi terdiam, mencoba mencerna kata-kata kakeknya. “Tapi, Kek, bagaimana bisa kita tidak takut pada sesuatu yang tidak kita ketahui?”

Pak Damar tertawa kecil. “Itulah rahasia kehidupan, Adi. Ketidaktahuan adalah guru terbaik kita. Kematian bukanlah akhir, tetapi sebuah pintu ke pengalaman baru yang kita semua akan lalui.”

Sore itu, mereka berbicara tentang kehidupan, kematian, dan perjalanan waktu. Pak Damar menjelaskan bagaimana dirinya dulu juga takut mati, tetapi seiring berjalannya waktu, ia belajar menerima ketidakpastian itu sebagai bagian dari kehidupan.

“Mungkin,” lanjut Pak Damar, “takut mati itu wajar, tapi menghabiskan hidup dengan rasa takut hanya akan membuat kita lupa bagaimana cara hidup. Kematian adalah teman yang akan datang saat waktunya tiba, dan sampai saat itu, kita harus belajar menjadi sahabat baik bagi kehidupan.”

Adi mendengarkan dengan seksama, merasakan kebijaksanaan yang terukir di wajah kakeknya. Ia mulai memahami bahwa ketakutan terhadap kematian hanyalah refleksi dari ketakutan pada yang tidak dikenal.

Hari mulai gelap, dan langit berubah menjadi oranye kemerahan. Angin sore berhembus lembut, seolah menyapa mereka berdua.

Pak Damar menutup pembicaraan dengan kata-kata yang selalu diingat Adi, “Jangan takut pada kematian, Adi. Sebaliknya, hiduplah dengan baik, dan kematian akan datang sebagai teman lama yang menjemputmu untuk petualangan baru.”

Malam itu, Adi pulang dengan hati yang lebih tenang. Ia tahu, kakeknya telah memberinya hadiah berharga: cara melihat kematian dengan sudut pandang yang lebih tenang dan bijaksana. Pak Damar, dengan kesederhanaan dan kebijaksanaannya, telah mengajarkan bahwa hidup dan mati hanyalah dua sisi dari koin yang sama, dan keduanya harus diterima dengan hati terbuka.


Komentar

Tulisan Populer

Apa Beda Suka, Senang, dan Cinta?

Apa beda suka, senang, dan cinta? Selama anda masih belum bisa membedakan ketiga hal itu, maka anda akan salah dalam memaknai cinta. Saya ilustrasikan dalam cerita, Anda membeli hp Android karena melihat banyak teman-teman yang memilikinya dan terlihat keren, saat itu anda berada di wilayah SUKA. Dan suka merupakan wilayah NAFSU. Ketika anda mengetahui fitur, fasilitas dan manfaat Android yang lebih hebat dibandingkan HP jenis lain, maka saat itu anda berada diwilayah SENANG. Dan senang itu tidak menentu, dapat berubah-ubah tergantung kepada MOOD. Saat BOSAN, bersiaplah untuk mengganti HP jenis baru yang lebih canggih. Jadi jelaslah bahwa, Selama ini CINTA yang kita yakini sebagai cinta baru berada dalam wilayah SUKA dan SENANG. BOHONG! Jika anda berkata, gue JATUH CINTA pada pandangan pertama. Sesungguhnya saat itu anda sedang berkata, gue NAFSU dalam pandangan pertama. Mengapa demikian? Karena cinta yang anda maknai baru sebatas SUKA. Suka dengan wajahnya yang cantik, se...

Benturan antara Idealisme dan Realitas

Sendy, sosok aktivis pergerakan mahasiswa yang idealis dan bertanggung jawab dalam memegang amanah di organisasinya. Dalam aksi, dia sering menjadi koordinator lapangan, mempimpin aksi. Mulai dari kebijakan kampus hingga kebijakan pemerintah daerah dan pusat yang tidak memihak kepada rakyat maka Sendy pasti membelanya dengan mengadakan aksi jalanan. Kata-kata yang terlontar dari mulutnya saat orasi, seolah menghipnotis yang mendengarnya, karena di bawakan dengan semangat dan mampu menggerakan massa dengan baik. Selang 6 tahun, saat ia meninggalkan kehidupan kampus dan menjadi pengusaha. Sendy menjadi opportunis dan pragmatis. Mengapa? Karena uang lah yang menjadi segalanya, dan kepentingan lah yang menjadi prioritasnya. Bukan karena lupa nya idealisme yang ia pegang selama ia jadi mahasiswa, namun semuanya berubah ketika uang berbicara. Apalagi saat ini Sendy telah berkeluarga dengan Fenny, aktivis pergerakan mahasiswi yang satu organisasi dengannya. Sendy dan Fenny memiliki 3 ora...