Langsung ke konten utama

Indonesia Negara yang Bukan-Bukan

Indonesia sering kali disalahpahami dalam konteks apakah ia merupakan negara sekuler atau negara agama. Seperti yang pernah dikatakan oleh Gus Dur, "Indonesia adalah negara yang bukan-bukan karena bukan negara agama tapi juga bukan negara sekuler." Pernyataan ini mencerminkan realitas unik Indonesia yang tidak mudah dikategorikan dalam definisi konvensional.

Secara resmi, Indonesia bukan negara yang berdasarkan agama tertentu. Kita tidak memiliki agama negara yang diakui secara resmi seperti Iran dengan Islamnya atau Vatikan dengan Katoliknya. Namun, Indonesia juga bukan negara sekuler seperti Prancis, di mana agama benar-benar dipisahkan dari kehidupan bernegara. Di Indonesia, ada Kementerian Agama yang mengurusi keperluan agama rakyatnya, mulai dari mengatur hari libur nasional keagamaan hingga urusan haji.

Contoh nyata dari pendekatan ini dapat dilihat dalam kebijakan pemerintah yang mengakomodasi berbagai perayaan keagamaan. Hari-hari besar seperti Idul Fitri, Natal, Waisak, dan Nyepi diakui sebagai hari libur nasional. Ini menunjukkan bahwa negara menghormati dan mengakomodasi keberagaman agama yang ada di Indonesia.

Namun, kompleksitas ini kadang memunculkan masalah. Misalnya, dalam kasus Ahok yang dituduh menistakan agama, kita melihat bagaimana isu agama dapat mempengaruhi politik dan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun negara tidak mendasarkan diri pada agama tertentu, agama tetap memainkan peran penting dalam kehidupan publik.

Solusi dari dilema ini terletak pada pemahaman dan penerimaan bahwa Indonesia adalah negara yang berlandaskan Pancasila, yang sila pertamanya adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa." Ini bukan berarti negara memihak pada satu agama, melainkan mengakui keberadaan dan pentingnya nilai-nilai spiritual dalam kehidupan berbangsa.

Indonesia dengan cerdik menggabungkan elemen-elemen dari kedua jenis negara tersebut. Dengan tidak memisahkan agama dari negara secara ketat, kita memastikan bahwa kebebasan beragama dihormati. Di sisi lain, dengan tidak mendasarkan diri pada satu agama tertentu, kita menjaga keberagaman dan pluralitas yang menjadi kekayaan bangsa.

Seperti kata Gus Dur, kita memang negara yang bukan-bukan, tetapi justru dalam kebukan-bukanan ini kita menemukan identitas unik dan kuat sebagai bangsa yang menghargai keragaman tanpa kehilangan arah dalam bingkai kesatuan.

Komentar

Tulisan Populer

Apa Beda Suka, Senang, dan Cinta?

Apa beda suka, senang, dan cinta? Selama anda masih belum bisa membedakan ketiga hal itu, maka anda akan salah dalam memaknai cinta. Saya ilustrasikan dalam cerita, Anda membeli hp Android karena melihat banyak teman-teman yang memilikinya dan terlihat keren, saat itu anda berada di wilayah SUKA. Dan suka merupakan wilayah NAFSU. Ketika anda mengetahui fitur, fasilitas dan manfaat Android yang lebih hebat dibandingkan HP jenis lain, maka saat itu anda berada diwilayah SENANG. Dan senang itu tidak menentu, dapat berubah-ubah tergantung kepada MOOD. Saat BOSAN, bersiaplah untuk mengganti HP jenis baru yang lebih canggih. Jadi jelaslah bahwa, Selama ini CINTA yang kita yakini sebagai cinta baru berada dalam wilayah SUKA dan SENANG. BOHONG! Jika anda berkata, gue JATUH CINTA pada pandangan pertama. Sesungguhnya saat itu anda sedang berkata, gue NAFSU dalam pandangan pertama. Mengapa demikian? Karena cinta yang anda maknai baru sebatas SUKA. Suka dengan wajahnya yang cantik, se...

Benturan antara Idealisme dan Realitas

Sendy, sosok aktivis pergerakan mahasiswa yang idealis dan bertanggung jawab dalam memegang amanah di organisasinya. Dalam aksi, dia sering menjadi koordinator lapangan, mempimpin aksi. Mulai dari kebijakan kampus hingga kebijakan pemerintah daerah dan pusat yang tidak memihak kepada rakyat maka Sendy pasti membelanya dengan mengadakan aksi jalanan. Kata-kata yang terlontar dari mulutnya saat orasi, seolah menghipnotis yang mendengarnya, karena di bawakan dengan semangat dan mampu menggerakan massa dengan baik. Selang 6 tahun, saat ia meninggalkan kehidupan kampus dan menjadi pengusaha. Sendy menjadi opportunis dan pragmatis. Mengapa? Karena uang lah yang menjadi segalanya, dan kepentingan lah yang menjadi prioritasnya. Bukan karena lupa nya idealisme yang ia pegang selama ia jadi mahasiswa, namun semuanya berubah ketika uang berbicara. Apalagi saat ini Sendy telah berkeluarga dengan Fenny, aktivis pergerakan mahasiswi yang satu organisasi dengannya. Sendy dan Fenny memiliki 3 ora...