Langsung ke konten utama

Bersahabat dengan Emosi

Dalam hidup, kita sering kali dihadapkan dengan emosi negatif seperti trauma, kebencian, dan kemarahan. Emosi-emosi ini bisa begitu kuat dan sulit dikendalikan. Ketika kita berusaha menekan atau melawannya, emosi tersebut justru menjadi semakin gelisah dan muncul kembali dengan lebih intens. Dalam pandangan Haemin Sunim, alih-alih melawan emosi negatif, kita perlu bersahabat dengan emosi tersebut, menyadarinya, dan membiarkannya mengalir dengan sendirinya.

Emosi negatif adalah bagian dari kehidupan kita yang tak terelakkan. Ketika kita mengalami trauma atau kemarahan, kita sering merasa terjebak dalam lingkaran perasaan yang menyakitkan. Kita mencoba untuk melawan atau menekan perasaan tersebut, namun seringkali upaya ini justru membuat kita semakin tenggelam dalam emosi tersebut. "Semakin kita mencoba mengendalikannya, semakin ia menjadi gelisah dan muncul kembali," kata Haemin Sunim. Maka dari itu, penting bagi kita untuk belajar bersahabat dengan emosi kita.

Salah satu cara untuk bersahabat dengan emosi negatif adalah dengan menyadarinya. Saat kita merasa marah atau benci, cobalah untuk berhenti sejenak dan perhatikan perasaan tersebut. Tanyakan pada diri sendiri, "Apa yang sebenarnya aku rasakan? Apa yang menyebabkan emosi ini muncul?" Dengan menyadari dan menerima keberadaan emosi tersebut, kita tidak lagi terjebak dalam upaya melawannya. Sebaliknya, kita mengizinkan emosi tersebut mengalir dan bergulir dengan sendirinya.

Latihan praktis yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah meditasi mindfulness. Duduklah dengan nyaman, tutup mata, dan fokus pada napas. Saat pikiran kita mulai dipenuhi dengan emosi negatif, biarkan mereka datang dan pergi tanpa berusaha untuk mengubahnya. Perhatikan perasaan itu, tapi jangan biarkan diri kita terseret oleh arusnya. Dengan latihan ini, kita belajar untuk tidak bereaksi secara berlebihan terhadap emosi, tetapi menerima mereka dengan lapang dada.

Dalam proses ini, kita akan menemukan bahwa emosi negatif tidaklah selamanya. Mereka datang dan pergi seperti awan di langit. "Tidak perlu dilawan dan dihilangkan, cukup disadari dan biarkan ia mengalir kemudian bergulir dengan sendirinya," ujar Haemin Sunim. Dengan bersahabat dengan emosi kita, kita membuka jalan menuju penyembuhan dan kedamaian batin yang sejati. 

Mari kita terima emosi kita dengan kasih sayang dan kebijaksanaan, sehingga kita dapat hidup dengan lebih tenang dan harmonis.

Komentar

Tulisan Populer

Apa Beda Suka, Senang, dan Cinta?

Apa beda suka, senang, dan cinta? Selama anda masih belum bisa membedakan ketiga hal itu, maka anda akan salah dalam memaknai cinta. Saya ilustrasikan dalam cerita, Anda membeli hp Android karena melihat banyak teman-teman yang memilikinya dan terlihat keren, saat itu anda berada di wilayah SUKA. Dan suka merupakan wilayah NAFSU. Ketika anda mengetahui fitur, fasilitas dan manfaat Android yang lebih hebat dibandingkan HP jenis lain, maka saat itu anda berada diwilayah SENANG. Dan senang itu tidak menentu, dapat berubah-ubah tergantung kepada MOOD. Saat BOSAN, bersiaplah untuk mengganti HP jenis baru yang lebih canggih. Jadi jelaslah bahwa, Selama ini CINTA yang kita yakini sebagai cinta baru berada dalam wilayah SUKA dan SENANG. BOHONG! Jika anda berkata, gue JATUH CINTA pada pandangan pertama. Sesungguhnya saat itu anda sedang berkata, gue NAFSU dalam pandangan pertama. Mengapa demikian? Karena cinta yang anda maknai baru sebatas SUKA. Suka dengan wajahnya yang cantik, se...

Benturan antara Idealisme dan Realitas

Sendy, sosok aktivis pergerakan mahasiswa yang idealis dan bertanggung jawab dalam memegang amanah di organisasinya. Dalam aksi, dia sering menjadi koordinator lapangan, mempimpin aksi. Mulai dari kebijakan kampus hingga kebijakan pemerintah daerah dan pusat yang tidak memihak kepada rakyat maka Sendy pasti membelanya dengan mengadakan aksi jalanan. Kata-kata yang terlontar dari mulutnya saat orasi, seolah menghipnotis yang mendengarnya, karena di bawakan dengan semangat dan mampu menggerakan massa dengan baik. Selang 6 tahun, saat ia meninggalkan kehidupan kampus dan menjadi pengusaha. Sendy menjadi opportunis dan pragmatis. Mengapa? Karena uang lah yang menjadi segalanya, dan kepentingan lah yang menjadi prioritasnya. Bukan karena lupa nya idealisme yang ia pegang selama ia jadi mahasiswa, namun semuanya berubah ketika uang berbicara. Apalagi saat ini Sendy telah berkeluarga dengan Fenny, aktivis pergerakan mahasiswi yang satu organisasi dengannya. Sendy dan Fenny memiliki 3 ora...