Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2025

Dika Bukan Lelaki Baik, Katanya

“Aku cuma khawatir, Nis. Mas Dika itu udah nggak pernah ikut pengajian, postingannya soal agama juga makin aneh. Dia ngajarin anak-anakmu pluralisme, feminisme, bahkan nulis status soal ‘Tuhan tak butuh dibela’. Apa kamu yakin rumah tangga kamu aman?” Kalimat itu meletup dari mulut Sinta, mantan ketua halaqoh kampus, saat mampir ke rumah Nisa, hari Sabtu siang yang awalnya tenang. Dari ruang kerja, Dika mendengarnya tanpa sengaja. Laptopnya terbuka, anak bungsunya tidur di pangkuan, dan kertas tagihan sekolah baru saja selesai ia lunasi. Sudah bukan pertama kali. Komentar seperti itu sudah akrab mampir lewat WA, DM, dan mulut-mulut teman lama yang katanya "sayang" padanya. Tapi kali ini agak keterlaluan. Sinta langsung menuding rumah tangga Nisa retak cuma karena ideologi suaminya tak lagi satu arah dengan komunitas lamanya. “Aku tahu kamu dulunya ketua BEM syar’i. Tapi sekarang, aku lihat suamimu... terlalu liar.” Nisa mengangkat alis. “Liar? Maksudmu, karena dia nggak lagi ...

Melepas Kelekatan Terhadap Hasil

Tawakal itu bukan soal pasrah tanpa usaha. Tapi lebih ke seni melepas, setelah kita berjuang sekuat tenaga. Dalam hidup, kita sering banget terlalu lekat sama hasil. Kita kerja keras, berharap hasil A. Kita bantu orang, berharap dibalas. Kita berdoa, berharap terkabul. Tapi ketika hasilnya nggak sesuai, hati rasanya remuk. Padahal inti dari tawakal adalah: kita lakukan bagian kita, dan sisanya bukan urusan kita lagi. Terlalu lekat pada hasil itu bikin hidup jadi penuh tekanan. Setiap langkah jadi berat karena kita merasa harus “sukses” dengan cara tertentu. Padahal, kadang semesta punya jalur lain yang lebih baik, tapi kita terlalu sibuk menuntut hasil versi kita sendiri. Tawakal mengajarkan kita untuk fokus pada proses, bukan semata hasil. Kata Kahlil Gibran, “Kerja adalah cinta yang menjadi nyata.” Tapi cinta sejati nggak memaksa untuk dibalas. Begitu juga kerja keras dan harapan. Kita lakukan karena cinta, bukan karena jaminan hasil. Tawakal bukan berarti nggak peduli, tapi justru p...

Doa Antara Keyakinan, Harapan, dan Realitas

Pernah nggak sih kamu ngerasa udah doa tiap malam, minta ini itu, tapi hasilnya nihil? Nggak ada perubahan signifikan, nggak ada jawaban “ajaib” yang datang tiba-tiba? Nah, dari situ muncul pertanyaan: seefektif apa sih doa terhadap terwujudnya keinginan? Secara psikologis, doa bisa dibilang bukan sekadar “permintaan” ke langit, tapi lebih ke bentuk refleksi diri. Doa membantu seseorang merasa lebih tenang, lebih terkoneksi dengan harapan, dan lebih siap menghadapi kenyataan. William James, filsuf sekaligus psikolog, pernah bilang bahwa doa itu bukan soal mengubah Tuhan, tapi mengubah si pendoa itu sendiri. Artinya, doa bikin kita lebih fokus, lebih sabar, dan kadang lebih kuat menghadapi kenyataan—meskipun kenyataannya nggak sesuai keinginan. Sementara itu, dari sisi sains, studi oleh Harvard Medical School menunjukkan bahwa doa atau spiritual practice bisa menurunkan stres dan meningkatkan sistem imun. Tapi kalau ngomongin doa bisa langsung mewujudkan keinginan? Hasilnya mixed. Beber...

Kalau Belum Bisa Let It Go, Cobain Let It Be dulu deh

Kita sering dikejar-kejar kata “let it go.” Disuruh cepat move on, disuruh melepaskan yang bikin sakit, diminta melupakan yang menyakitkan. Tapi kenyataannya, nggak semua hal bisa langsung kita lepas begitu aja. Ada luka yang masih hangat, ada rindu yang masih mengendap, dan ada kenangan yang menolak pergi. Di titik inilah kita bisa memilih satu sikap sederhana: let it be. Membiarkan bukan berarti menyerah. Let it be itu bentuk penerimaan bahwa belum semua hal harus selesai sekarang juga. Kadang kita butuh waktu untuk paham kenapa kita sedih, marah, atau kecewa. Haemin Sunim pernah bilang, “Tidak apa-apa jika kamu belum bisa melepaskan. Duduklah bersama rasa itu. Dengarkan ia.” Karena rasa yang belum selesai, tak bisa dipaksa selesai. Najwa Zebian juga menulis bahwa perasaan itu bukan untuk disapu bersih, tapi untuk dipeluk sampai reda. Jadi kalau belum sanggup let it go, biarkan dulu ia ada. Let it be. Biarkan ia hadir, kita amati, kita pahami. Sampai suatu hari, ketika hati sudah cuk...

Bagian Diri yang Tidak Bisa Dikendalikan

Pernah nggak, kamu tiba-tiba marah banget padahal sebelumnya baik-baik aja? Atau nangis sesenggukan hanya karena komentar kecil dari orang lain? Nah, itu bisa jadi karena salah satu bagian dirimu—yang disebut ego state—muncul ke permukaan dan mengambil alih. Dalam teori Transactional Analysis oleh Eric Berne, ego state adalah kondisi psikologis kita yang terbagi dalam tiga bagian utama: Parent (orangtua), Adult (dewasa), dan Child (anak-anak). Tapi makin ke sini, konsep ini berkembang. Banyak psikolog sepakat bahwa diri kita terdiri dari banyak sub-personality—ada “aku yang marah,” “aku yang benci,” “aku yang takut,” sampai “aku yang penurut.” Semua ini bisa muncul bergantian tergantung situasi dan kondisi. Misalnya, saat seseorang mengkritikmu, bisa jadi bagian “aku yang pernah disalahkan waktu kecil” langsung aktif dan bikin kamu defensif atau marah besar. Yang repot, bagian ini kadang muncul secara otomatis tanpa kamu sadari. Itulah kenapa disebut uncontrolled ego state—bagian diri ...

Belanja Karena Emosi, Bukan Kebutuhan

Kadang kita ke minimarket cuma niat beli sabun, eh pulangnya bawa keranjang isi snack, minuman kekinian, sampai lilin aromaterapi. Fenomena ini bukan kebetulan, tapi salah satu bentuk emotional spending — keputusan belanja yang lebih banyak dipicu perasaan daripada kebutuhan riil. Kita belanja bukan karena butuh, tapi karena “pengin” atau merasa “pantas dapet hadiah” setelah hari yang melelahkan. Ekonom sekaligus penulis buku “The Psychology of Money”, Morgan Housel, menyebut bahwa uang bukan hanya soal angka, tapi soal emosi dan perilaku. Banyak keputusan finansial buruk bukan karena kurangnya ilmu, tapi karena ketidakmampuan mengelola emosi. Ketika sedih, stres, atau bahkan terlalu bahagia, otak kita cenderung melemah dalam pengambilan keputusan rasional. Akibatnya, belanja jadi pelampiasan, bukan pemenuhan. Daniel Kahneman, peraih Nobel Ekonomi, dalam Thinking, Fast and Slow, menjelaskan bahwa otak punya dua sistem: cepat (emosional) dan lambat (rasional). Saat belanja impulsif, yan...

Santet itu Trik Lama yang Masih Laku

Santet sering kali dianggap sebagai ilmu hitam yang bisa mencelakai orang dari jarak jauh. Namun, Pesulap Merah, atau Marcel Radhival, menyatakan bahwa santet hanyalah trik yang digunakan oleh oknum untuk menakut-nakuti dan mengelabui orang. Dalam berbagai wawancara dan kontennya, Pesulap Merah menegaskan bahwa dirinya mengetahui seluruh rahasia santet dan membedakan antara santet dan sihir. Menurutnya, santet bukanlah sihir, dan sebaliknya.   Pesulap Merah juga menantang siapa pun yang mengklaim memiliki kemampuan santet untuk membuktikannya secara terbuka. Ia berpendapat bahwa praktik perdukunan yang mengatasnamakan santet sering kali menggunakan trik sulap dan hipnotis yang dibumbui dengan doa-doa agar terlihat meyakinkan.   Namun, tidak semua pesulap sependapat. Demian Aditya, misalnya, awalnya skeptis terhadap santet, tetapi kemudian mengaku pernah mengalami kejadian yang membuatnya percaya akan keberadaan santet. Ia menyatakan bahwa setelah mengalami send...

Latihan Mengamati Pikiran untuk Lepas dari Gangguan Kecemasan

Kecemasan itu sering datang tiba-tiba, seolah nggak ada angin, nggak ada hujan, tapi jantung mendadak deg-degan, pikiran kemana-mana. Rasanya seperti dikejar sesuatu, padahal kita lagi duduk diam. Salah satu cara sederhana tapi sering diremehkan untuk meredakannya adalah: mengamati pikiran. Mengamati pikiran bukan berarti menolak atau mengusirnya. Tapi duduk tenang, lalu melihat pikiran itu seperti awan yang lewat. Kita jadi penonton, bukan pemain. Psikolog seperti Jon Kabat-Zinn menyebut ini sebagai mindfulness, yaitu hadir utuh di momen sekarang tanpa menghakimi. Dan ternyata, ini ampuh untuk gangguan kecemasan, karena kita diajak berhenti bereaksi dan mulai menyadari. Osho, lewat meditasi aktifnya, bilang: "Jangan perangi pikiranmu. Biarkan mereka lewat. Duduk saja dan saksikan. Dalam pengamatan itu, muncul kebebasan." Kita diajak untuk tidak melawan pikiran, tapi berdamai dengannya. Masalahnya, kebanyakan dari kita terlalu sibuk terlibat dalam isi pikiran. Kita percaya ba...

Inner Child, Luka di Masa Kecil yang Terbawa saat Dewasa

Nggak semua luka kelihatan bentuknya. Kadang, yang paling dalam justru nggak berdarah, tapi membekas di dalam hati sejak kecil. Luka batin di masa kecil — entah karena dimarahi tanpa alasan, dibanding-bandingkan, diabaikan, atau dituntut sempurna — seringnya nggak selesai di masa itu. Ia ikut tumbuh, diam-diam, dan tiba-tiba muncul lagi saat kita dewasa. Inner child adalah bagian dari diri kita yang membawa emosi, pengalaman, dan persepsi masa kecil. Psikolog dan praktisi parenting seperti Najelaa Shihab dan Seto Mulyadi (Kak Seto) pernah bilang, masa kanak-kanak adalah fondasi utama karakter dan mentalitas seseorang. Kalau masa itu penuh luka dan nggak pernah diakui atau disembuhkan, maka di masa dewasa kita mudah merasa overthinking, sulit percaya orang lain, atau gampang marah tanpa tahu kenapa. Contohnya, orang yang dulu sering dimarahi karena menangis bisa tumbuh jadi orang dewasa yang menahan-nahan perasaan dan merasa bersalah saat sedih. Atau yang dulu sering dibandingkan, sekar...

Politik Jatah Preman

Kasus Ketua Kadin Kota Cilegon, Muhammad Salim, yang meminta jatah proyek Rp 5 triliun tanpa tender kepada PT Chandra Asri Alkali (CAA), bukan sekadar insiden pemerasan biasa. Ini mencerminkan pola relasi kuasa lokal yang dibahas Ian Douglas Wilson dalam bukunya Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru.   Dalam buku tersebut, Wilson menjelaskan bahwa pasca Orde Baru, banyak kelompok lokal—termasuk ormas dan tokoh masyarakat—mengisi kekosongan kekuasaan dengan membentuk jaringan informal yang memadukan politik, ekonomi, dan kekerasan. Mereka seringkali menjadi perantara antara kepentingan lokal dan proyek-proyek besar, dengan cara yang tidak selalu transparan.  Kembali ke kasus Cilegon, permintaan jatah proyek oleh Kadin setempat kepada PT CAA menunjukkan bagaimana aktor lokal mencoba memanfaatkan posisi mereka untuk mendapatkan keuntungan dari investasi besar. Tindakan ini tidak hanya mencoreng nama baik organisasi, tetapi juga menggan...

Menyambut Kematian

Kematian itu pasti, tapi tetap saja jadi hal yang paling kita hindari. Dalam bukunya Psikologi Kematian, Komaruddin Hidayat mengajak kita untuk berhenti memandang kematian sebagai momok menakutkan, dan mulai menjadikannya cermin untuk merefleksikan hidup. Ia bilang, justru karena kita sadar akan mati, maka hidup menjadi bermakna. Kalau hidup ini abadi, mungkin kita akan menunda segalanya dan tak pernah serius menjalani hari. Komaruddin menyoroti bahwa banyak orang takut mati bukan karena kematiannya itu sendiri, tapi karena ketidaksiapan menghadapi ketidakpastian setelahnya. Kita takut belum cukup amal, takut ditinggal orang tercinta, atau malah takut dilupakan. Padahal, kematian bukanlah akhir, tapi transisi. Dalam perspektif ini, mati bukan musibah, melainkan momen peralihan menuju tahap berikutnya yang penuh misteri. Di balik kesadaran akan kematian, manusia justru menemukan kedewasaan spiritual. Hidup jadi lebih tertata, lebih bermakna. Kita jadi berpikir ulang sebelum menyakiti or...

Hantu yang Tidak Tahu Arah Surga

Sudah tiga malam Uwi duduk di atas lemari, diam-diam, melihat anak dan suaminya tidur. Bukan karena tidak punya tempat lain, tapi karena sejak jadi hantu, ia tak tahu harus ke mana. Jangankan tahu arah surga, nembus plafon saja masih takut nyangkut. Dulu, sebelum mati, Uwi sering bilang dalam hati, “Kalau aku mati, bagaimana suamiku? Bagaimana anak-anak makan? Apa mereka masih pakai baju yang aku lipat?” Tapi ternyata, waktu mati beneran, yang bikin sesak bukan soal cucian kotor atau dapur kosong. Tapi melihat kenyataan bahwa hidup tetap berjalan… tanpa dirinya. Suaminya sempat sedih. Dua minggu. Setelah itu, mulai rajin pakai minyak rambut. Uwi tahu arah ceritanya. Benar saja. Tiga bulan kemudian, datang perempuan baru. Bawa rendang, senyum sok sopan. Anak Uwi dipanggil "sayang" dengan suara yang terlalu manis, seperti teh yang kelamaan direndam. Uwi hanya bisa mengambang di langit-langit ruang tamu, sambil sesekali ngusir nyamuk, padahal dia tak bisa digigit lagi. Namun yan...

Kalau Aku Mati, Siapa yang Bayar Galon?

Tebe lagi nyetrika baju anak-anaknya sambil nyalahin hidup. Bukan karena setrikaan panasnya bocor, tapi karena pikirannya udah mendidih duluan. “Kalau aku mati, siapa yang bayar galon?!” Kalimat itu nggak penting buat orang normal. Tapi buat Tebe, itu kayak pertanyaan filsafat hidup. Berat, ngilu, dan bikin lambungnya kumat. Pikiran soal mati itu kayak tamu tak diundang yang nongol tiap malam. Kadang pas lagi ngaduk susu buat si bungsu, kadang pas lagi ngupil di kamar mandi. Tebe cemas. Cemas banget. Bukan takut neraka, tapi takut tagihan listrik lupa dibayar kalau dia mati mendadak. “Teb, kamu kenapa sih sekarang jadi pendiam? Dulu mah kamu kayak keran bocor, ngomong terus,” tanya istrinya sambil ngelipet celana. Tebe cuma senyum kecut. Nggak tega jawab, kalau dalam pikirannya, tiap detik tuh kayak film pendek berjudul: “Pemakaman Ayah dan Anak-anaknya yang Kebingungan Bawa Kartu Keluarga.” Saking cemasnya, Tebe sampai nyari artikel: “Cara Menyiapkan Anak-anak Jika Ayah Mati Mendadak....

Aku Mimpi Mati

Pukul dua dini hari. Hujan masih menggantung di luar jendela, seperti sisa doa yang ditinggalkan tergesa. "Aku mimpi mati," gumam Damar, tangannya masih memegang bungkus rokok yang belum sempat dibuka. Ia duduk sendirian di kursi ruang tamu, menatap televisi yang sejak tadi mati. Bukan karena listrik padam. Tapi karena hidup kadang memang memilih diam sebagai bentuk bicara yang paling keras. “Ada apa, Mar?” suara ibunya dari balik pintu kamar. “Enggak. Cuma... tiba-tiba kepikiran, kalau aku mati malam ini, siapa yang bakal nyari jasadku?” katanya pelan. Ibunya terdiam. Tidak menjawab. Karena orang tua tahu, kematian bukan sesuatu yang bisa dibantah dengan kata-kata. Damar bangkit. Menyalakan televisi. Yang muncul hanya bayangan dirinya sendiri. Sekejap, ia merasa seperti sedang menonton tayangan ulang tentang hidupnya yang tak terlalu penting. Tak ada pencapaian. Tak ada gelar. Tak ada cinta. Hanya kenangan-kenangan yang berlari-lari kecil di lorong waktu, menyodok pikirannya...

Ruh atau Jiwa dalam Tinjauan Sains dan Filsafat

Dalam sains modern, terutama dalam neurosains dan biologi evolusioner, istilah ruh atau jiwa nggak punya tempat yang pasti. Kalau kita tanya, “Di mana letak jiwa manusia?” para ilmuwan akan mengernyit, lalu menunjuk ke otak. Daniel Dennett, dalam bukunya Consciousness Explained, menyebut kesadaran dan apa yang kita kira sebagai “jiwa” itu sebenarnya hasil dari proses kompleks dalam otak—bukan entitas tak terlihat yang keluar-masuk tubuh. Begitu juga Stephen Hawking dalam The Grand Design, ia menolak ide bahwa manusia punya “jiwa abadi”. Baginya, manusia adalah sistem biologis yang tunduk pada hukum alam. Ketika tubuh mati, kesadaran berhenti. Ruh? Bagi sains, itu cuma mitos dari ketidaktahuan zaman dulu. Dalam filsafat, debatnya lebih panjang dan licin. David Hume, filsuf skeptis dari Skotlandia, bilang bahwa konsep “self” atau jiwa hanyalah kumpulan persepsi yang berubah-ubah. Tidak ada “aku” yang utuh dan tetap. Begitu juga Nietzsche, dalam Thus Spoke Zarathustra, menertawakan ide te...

Psikologi Uang

Uang itu nggak cuma soal berapa banyak yang kamu punya, tapi gimana cara kamu memandang dan mengelolanya. Itulah intinya dari buku The Psychology of Money karya Morgan Housel. Lewat kumpulan esai pendek, Housel menjelaskan bahwa keputusan kita soal uang lebih banyak dipengaruhi oleh emosi, pengalaman pribadi, dan cara kita melihat dunia—bukan rumus ekonomi atau teori investasi yang rumit. Misalnya, dua orang dengan pendapatan sama bisa punya kondisi keuangan yang sangat berbeda. Kenapa? Karena cara mereka memperlakukan uang berbeda. Ada yang boros demi gengsi, ada yang hemat karena trauma masa kecil. Housel bilang, kita semua punya "latar belakang finansial" yang membentuk perilaku kita hari ini. Maka nggak adil membandingkan diri kita dengan orang lain yang punya cerita hidup berbeda. Kebiasaan finansial yang sehat bukan soal jadi kaya raya, tapi soal bisa bertahan. “Survival > success,” tulis Housel. Itu kenapa dia menekankan pentingnya safety margin dalam keuangan: puny...

Psikologi Hantu

Hantu itu menarik. Bukan karena bentuknya—yang kadang absurd kayak pocong nyangkut pagar atau kuntilanak di kamar mandi—tapi karena eksistensinya lebih sering muncul di pikiran daripada di kenyataan. Dalam psikologi, hantu bisa dibilang bukan makhluk, tapi proyeksi. Proyeksi dari ketakutan, trauma, dan keyakinan kolektif yang diwariskan turun-temurun. Carl Jung pernah menyebut tentang collective unconscious—pikiran bawah sadar bersama yang dimiliki semua manusia. Dari situlah simbol-simbol muncul, termasuk gambaran tentang makhluk halus. Kita diajari sejak kecil bahwa hantu itu ada. Kita dengar cerita dari orang tua, nonton film horor, atau lihat berita mistis. Lama-lama, otak kita membuat pola: tempat gelap = serem = ada hantu. Padahal belum tentu. Psikolog Richard Wiseman dalam penelitiannya menyebut bahwa pengalaman melihat hantu seringkali muncul dari sugesti kuat, tekanan emosional, atau bahkan faktor lingkungan seperti suara frekuensi rendah (infrasound) yang bikin otak kita mera...

Psikologi Hari Libur Kerja

Hari libur kerja itu kayak oase di tengah gurun kesibukan. Setelah lima atau enam hari berkutat dengan target, rapat, tekanan deadline, dan segala keruwetan dunia kerja, satu-dua hari libur bisa jadi penyelamat kewarasan. Libur itu bukan cuma soal nggak masuk kerja, tapi momen buat ngereset ulang kepala dan badan yang udah mulai aus. Bagi banyak pekerja, libur adalah kesempatan buat "jadi manusia lagi". Bukan robot yang harus standby dari pagi sampai sore, tapi seseorang yang bisa bangun tanpa alarm, duduk lama tanpa merasa bersalah, dan tertawa bersama teman atau keluarga tanpa dihantui notifikasi kerja. Libur juga jadi waktu paling ideal buat me time. Entah itu nonton film favorit, baca buku, ngopi sambil melamun, atau sekadar tidur sepuasnya. Psikolog organisasi, Sabine Sonnentag, pernah bilang bahwa hari libur penting untuk memulihkan energi dan mencegah burnout. Tanpa jeda yang cukup, performa kerja justru bisa turun dan stres jadi menumpuk. Dalam narasi hidup modern yan...

Emang Gue Pikirin Pendapat Orang Lain?!

Pernah nggak sih kita terlalu sibuk memikirkan apa kata orang? Kita hidup di tengah jutaan kepala yang masing-masing punya isi sendiri—dan semuanya merasa perlu bicara. Ada yang nyuruh ke kiri, yang lain bilang ke kanan. Hasilnya? Kita malah mandek di tengah jalan, bingung harus kemana. Saya sendiri pernah ada di titik itu: terlalu banyak suara, terlalu banyak nasihat, terlalu banyak arahan. Katanya demi kebaikan, tapi ujung-ujungnya malah bikin kita menjauh dari apa yang sebenarnya kita inginkan. Kita makin jauh dari pusat diri kita sendiri—bahkan lupa, dulu kita maunya apa sih? Ibu punya harapan sendiri. Ayah mungkin mau yang berbeda. Temanmu punya pandangan lain. Pasanganmu pun begitu. Kalau semuanya kita turuti, kita cuma jadi persimpangan jalan. Diam di tempat. Nggak ke mana-mana. Lalu apa? Ya, mulai diam. Dengarkan suara dari dalam. Bukan yang di luar, bukan yang di medsos, bukan yang katanya paling tahu arah hidupmu. Tapi yang benar-benar datang dari ruang sunyi di dalam dirimu ...

Puasa Bisu Media Sosial

Beberapa waktu belakangan, saya mulai jarang update status di media sosial. Bukan karena nggak punya cerita atau hidup saya tiba-tiba datar-datar saja, tapi karena saya merasa butuh diam. Puasa, bukan dari makanan, tapi dari hasrat ingin dilihat, ingin dikomentari, ingin eksis. Ternyata, dampaknya nggak main-main. Saya jadi lebih bisa mengendalikan diri atas apa yang benar-benar perlu dibagikan ke publik, dan mana yang cukup jadi milik pribadi. Dulu, rasanya gatal banget kalau habis makan enak nggak di-story-in, kalau habis jalan-jalan nggak upload foto. Tapi sekarang, saya mulai ngerasa: nggak semua hal harus diumumkan. Ada kenikmatan tersendiri dalam menyimpan sesuatu hanya untuk diri sendiri. Seperti menyimpan surat cinta dalam laci, bukan buat dibaca orang lain, tapi biar hati ini punya ruang yang nggak bisa disentuh siapa-siapa. Puasa media sosial ini juga ngajarin saya soal privasi. Bukan sekadar menutup diri, tapi memilih dengan sadar: mana yang pantas jadi konsumsi publik, dan ...

Menyembah Tuhan yang Tak Bisa Diserupakan oleh Apapun

Katanya, Tuhan itu tidak bisa diserupakan oleh apapun. Tidak ada gambar, bentuk, suara, rasa, bahkan konsep yang bisa mewakilinya. Tapi kalau benar begitu, bukankah artinya Tuhan justru tidak ada? Karena dalam pengalaman manusia, hanya yang tidak ada lah yang tidak bisa diserupakan sama sekali. Kita bisa membayangkan segalanya—bahkan yang belum pernah kita lihat—tapi ketika diminta membayangkan Tuhan yang benar-benar "tak menyerupai apapun", pikiran kita kosong. Dalam logika filsafat, segala yang eksis bisa dikenali, dibedakan, dan diberi ciri, walau sekadar abstraksi. Tapi kalau Tuhan tak bisa dipegang oleh rasio, tak bisa diindra, tak bisa digambarkan, lalu bagaimana kita tahu Ia ada? Bukankah dalam relasi manusia, pengenalan adalah fondasi keberadaan? Oke, mungkin akan ada yang bilang, “Tuhan itu bukan objek yang bisa dikenali, Ia itu misteri.” Tapi bukankah terlalu mudah melemparkan segala yang tak bisa dijelaskan ke dalam kotak "misteri"? Osho pernah bilang, “T...

Konflik Para Sahabat Setelah Wafatnya Nabi

Ketika Nabi Muhammad wafat pada tahun 632 Masehi, bukan hanya rasa duka yang menyelimuti para sahabat dan umat Muslim, tapi juga ketidakpastian. Nabi tidak meninggalkan wasiat politik formal tentang siapa yang akan melanjutkan kepemimpinan umat. Dari sinilah konflik dimulai. Bukan karena para sahabat tidak mencintai Nabi atau tidak taat kepada agama, tapi karena mereka adalah manusia dengan pemikiran, pengalaman, dan kepentingan yang berbeda. Di Saqifah Bani Sa'idah, hanya beberapa jam setelah Nabi dimakamkan, para sahabat dari kaum Muhajirin dan Anshar berdebat tentang siapa yang pantas menjadi pemimpin. Abu Bakar akhirnya terpilih sebagai khalifah pertama. Tapi proses itu tidak berjalan tanpa protes. Beberapa sahabat, termasuk Ali bin Abi Thalib, merasa keputusan itu terlalu tergesa dan tidak melibatkan semua pihak. Perbedaan itu makin dalam setelah Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar bin Khattab, lalu Utsman bin Affan, dan kemudian Ali bin Abi Thalib. Di masa Ali, pecahla...

Uang Nggak Bisa Beli Segalanya, Tapi Tanpa Uang Segalanya Bisa Bikin Pusing

Jujur aja, kita sering ngerasa gaji itu kayak numpang lewat. Masuk tanggal 25, hilang tanggal 27. Belum sempat pegang utuh, udah habis buat bayar cicilan, tagihan listrik, kuota internet, sama jajan kopi yang katanya "self-reward". Masalahnya bukan cuma gaji kecil, tapi lebih ke nggak punya rencana keuangan yang jelas. Perencanaan keuangan itu penting, bukan cuma buat orang kaya. Justru makin terbatas penghasilan, makin penting punya strategi. Dengan nyusun bujet bulanan, kita bisa tahu uang ke mana aja, mana yang prioritas, mana yang bisa ditunda. Mulai dari nabung darurat, bayar utang, sampai nyisihin buat investasi kecil-kecilan. Kenapa harus investasi? Karena nabung doang itu nggak cukup. Uang yang cuma ditaruh di tabungan lama-lama bisa “dimakan” inflasi. Nilainya turun, padahal angka tetap. Lewat investasi, entah itu reksadana, saham, emas, atau properti, kita ngasih kesempatan uang buat bertumbuh. Bukan buat cepet kaya, tapi buat masa depan yang lebih aman. Jadi, ka...

Mengapa Ada Banyak Agama dan Beragam Nama untuk Tuhan

Kalau Tuhan itu satu, kenapa nama-Nya bisa beda-beda di tiap agama? Kenapa ada yang memanggil-Nya Allah, Yahweh, Brahman, Tao, sampai Zat Yang Maha Tinggi? Pertanyaan ini nggak cuma muncul di kelas filsafat, tapi juga di hati banyak orang yang sedang mencari makna spiritualitas. Salah satu sebabnya adalah manusia hidup dalam budaya dan konteks sejarah yang berbeda-beda. Tuhan yang dikenal di Timur Tengah tentu akan punya narasi, simbol, dan bahasa yang beda dengan Tuhan yang dikenal di India atau Tiongkok. Setiap peradaban mencoba menjelaskan yang tak bisa dijelaskan, memberi bentuk pada yang tak berbentuk. Jadilah Tuhan dalam rupa yang bisa mereka pahami—dalam mitos, kitab, puja-puji, dan ritual. Agama muncul bukan hanya sebagai sistem kepercayaan, tapi juga sebagai cara hidup dan tatanan sosial. Setiap agama menjawab kebutuhan zamannya: memberikan harapan, menegaskan moral, dan menciptakan keteraturan. Maka tak heran jika banyak agama lahir dari pengalaman spiritual yang berbeda n...

Ternyata Tidak Semuanya Harus Dirayakan

Di dunia yang gemar pesta dan gemerlap, kita sering diajari bahwa semua hal butuh dirayakan. Ulang tahun, kenaikan jabatan, kelulusan, bahkan putus cinta pun ada yang bikin pesta. Tapi, seiring waktu dan pengalaman, saya makin yakin: tidak semuanya harus dirayakan. Ada hal-hal yang cukup disimpan dalam hati, disyukuri dalam diam, tanpa kembang api dan undangan. Kadang, pencapaian paling besar datang tanpa sorak-sorai. Seperti bisa bangun pagi setelah semalam bergulat dengan pikiran gelap. Atau keberanian untuk memutuskan sesuatu yang berat. Atau sekadar berhasil bertahan di hari yang rasanya ingin menyerah. Itu semua layak disyukuri, meski tidak harus dirayakan dengan pesta. Ada juga peristiwa yang, justru dengan dirayakan, kehilangan maknanya. Seperti orang yang pamer keberhasilan tapi dalamnya kosong, atau merayakan cinta yang dipaksakan. Kita perlu belajar membedakan: mana yang benar-benar perlu dirayakan, dan mana yang cukup dinikmati dalam tenang. Karena tidak semua kebahagiaan ...

Menamai Emosi, Menenangkan Diri

Terkadang kita marah, tapi bilang ke orang lain: “Enggak apa-apa kok.” Padahal hati panas, kepala penuh omelan dalam hati. Di situlah sering masalah dimulai: kita nggak kenal benar apa yang sedang kita rasakan. Nah, ternyata dalam dunia psikologi, ada satu teknik sederhana tapi berdampak besar: melabelkan emosi. Cukup dengan menyebut perasaan yang muncul dengan jujur — “aku sedang marah,” “aku merasa kesepian,” atau “aku takut gagal.” Teknik ini dipakai di banyak terapi modern, seperti Mindfulness-Based Therapy, ACT, dan DBT. Tujuannya bukan buat menghakimi atau menolak emosi, tapi menyadari dan menerima bahwa emosi itu hadir. Begitu kita menyebut nama emosi dengan sadar, otak bagian amigdala yang biasanya bikin kita reaktif, perlahan jadi tenang. Otak rasional jadi lebih aktif. Kita jadi bisa memilih merespons dengan kepala dingin, bukan meledak atau memendam. Misalnya, saat rasa cemas datang menjelang presentasi, daripada mengabaikannya, coba katakan dalam hati: “Aku sedang cemas sek...

Imajinasi Manusia tentang Tuhan

Tuhan, dalam banyak hal, mungkin adalah makhluk paling misterius sekaligus paling akrab dalam pikiran manusia. Kita membicarakan-Nya, menyembah-Nya, bahkan bertengkar soal-Nya. Tapi siapa Dia, sungguh? Atau lebih tepatnya: apakah Dia benar-benar ada, atau kita hanya menciptakan-Nya karena kita butuh alasan untuk menjelaskan yang tak bisa kita pahami? Osho bilang, “Tuhan bukanlah orang, tapi pengalaman.” Sementara Jiddu Krishnamurti lebih tajam lagi—baginya, Tuhan adalah proyeksi dari pikiran yang ketakutan. Kita takut sendirian, takut mati, takut tak berarti. Maka kita ciptakan Tuhan: sosok maha tahu, maha sayang, sekaligus maha mengawasi. Kita bentuk Dia dalam rupa yang kita pahami—berjanggut, duduk di atas takhta, atau hadir sebagai cahaya. Padahal, seperti kata Ludwig Feuerbach, “Tuhan adalah cermin tempat manusia memproyeksikan kualitas terbaik dirinya.” Jika kita jujur, imajinasi tentang Tuhan lebih banyak dibentuk oleh budaya dan doktrin daripada pengalaman langsung. Seorang anak...

Dia yang Dipanggil sebagai Sang Nabi

Sang nabi. Dia yang katanya ditunjuk langsung oleh langit. Tapi apakah ia benar-benar dipilih? Atau dia hanya manusia biasa yang punya keberanian menyuarakan yang tak mampu diucap orang kebanyakan? Jean-Paul Sartre pernah berkata, “Manusia adalah makhluk bebas yang dikutuk untuk memilih.” Mungkin, nabi adalah mereka yang memilih jalan yang tak nyaman: merobek kenyamanan, menggugat kekuasaan, menertawakan kemapanan. Nabi bukan hanya jubah dan mukjizat. Kadang ia justru datang sebagai pengganggu. Seperti Socrates, yang disebut “lalat pengganggu Athena.” Ia tak membawa wahyu, tapi membawa pertanyaan. Dan itu sudah cukup menggelisahkan. Hannah Arendt menulis bahwa orang-orang yang membawa ide baru akan selalu dianggap mengancam. Maka, para nabi, baik yang religius maupun filosofis, sering kali dibunuh—bukan karena mereka salah, tapi karena mereka terlalu jujur. Dan ketika sebuah sistem telah berhasil menundukkan sang nabi, ia dikultuskan. Dari pengganggu jadi patung. Dari pengacau jadi pan...

Dia yang Bernama Tuhan

Kita menyebutnya Tuhan. Kadang dengan huruf kapital, kadang dengan penuh rasa takut, kadang dengan cinta yang membingungkan. Tapi apakah kita benar-benar tahu siapa Dia? Atau jangan-jangan, seperti kata Feuerbach, “Tuhan adalah proyeksi ideal manusia.” Apa yang kita bayangkan sebagai sempurna, kita letakkan pada sosok tak terlihat dan menyebutnya sebagai Tuhan. Tuhan dalam kepala kita, seringkali hanya versi besar dari ayah yang bijak atau raja yang adil—konsep yang sangat manusiawi. Nietzsche lebih keras lagi: “Tuhan telah mati,” katanya. Bukan berarti ia benar-benar tewas, tapi karena manusia telah membunuhnya lewat dogma, lewat ritual kosong yang menjauh dari pencarian makna sejati. Simone Weil pernah berkata, “Jarak paling jauh antara manusia dan Tuhan adalah ketika manusia merasa paling dekat.” Aneh, ya? Kita sering merasa mengenal Tuhan hanya karena rajin beribadah, tapi menolak mempertanyakan-Nya. Seolah rasa ingin tahu adalah dosa. Dekonstruksi konsep Tuhan bukan berarti menggu...