Ada orang bilang, kenangan masa lalu itu sebaiknya dilupakan, apalagi kalau penuh luka dan trauma. Tapi bagiku, justru kenangan itu bukan untuk dihapus. Ia tetap ada, menempel, kadang muncul tanpa diundang, seperti bayangan di sore hari. Bedanya, aku belajar untuk tidak lagi takut kepadanya.
Aku ingat betul satu masa ketika luka begitu dalam—perasaan ditinggalkan, dikhianati, dan dihancurkan oleh orang yang pernah kupercaya. Awalnya, setiap kali kenangan itu muncul, rasanya seperti dada diremas. Tapi seiring waktu, aku sadar, kenangan ini bisa jadi guru. Trauma memang meninggalkan jejak, tapi jejak itu yang membuatku lebih hati-hati, lebih bijak ketika menghadapi situasi serupa.
Dalam catatan harian, aku sering menulis untuk menenangkan diriku sendiri: “hari ini aku belajar lagi dari masa lalu.” Itu jadi cara paling sederhana untuk berdamai dengan diri sendiri. Aku berhenti berusaha melupakan, karena semakin dilawan, semakin kuat ia menghantui.
Najwa Zebian pernah menulis, “Trauma isn’t something you just ‘get over’. It becomes a part of you, but you get to decide how it shapes you.” Dari situ aku paham, trauma bukan musuh. Ia adalah bagian dari perjalanan, dan kita punya kuasa apakah mau menjadikannya beban atau pelajaran.
Refleksiku hari ini sederhana: jangan buru-buru ingin lupa. Ingatlah, lalu pahami, lalu gunakan kenangan itu sebagai peta agar kita tak jatuh di lubang yang sama. Karena pada akhirnya, luka memang sakit, tapi justru dari situlah kita belajar bertahan.
Komentar
Posting Komentar