“Jadi, kamu nggak percaya Tuhan?” tanya Raka sambil menyeruput kopinya. Pertanyaan itu datang tiba-tiba, tanpa aba-aba, seperti petir di siang bolong.
Aku hanya tersenyum kecil, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Di dalam café kecil di pinggir Jakarta, obrolan semacam ini terasa terlalu besar.
“Bukan nggak percaya, Rak,” jawabku akhirnya. “Aku cuma nggak tahu agama mana yang benar-benar sesuai untukku.”
Raka mengangguk, tapi aku tahu dia tidak benar-benar paham. Aku menatap layar laptopku yang penuh dengan artikel-artikel spiritual, filsafat, dan kisah-kisah pencarian makna.
“Kamu agnostik?” desaknya lagi.
“Bukan,” jawabku tegas. “Aku nggak sibuk mikir ada Tuhan atau nggak. Aku lebih fokus ke apa yang membuat hidup ini bermakna.”
Dia tertawa kecil, mungkin mengejek atau mungkin hanya karena dia tidak tahu harus berkata apa. “Kayaknya kamu bagian dari The Nones, ya? Orang-orang yang nggak ikut agama, dengan tetap nyari makna dan harmoni hidup.”
Aku terdiam, merenung sejenak. Mungkin benar. Mungkin aku adalah bagian dari mereka yang tidak diberi label agama, tapi tetap berjalan, mencari harmoni di tengah hiruk pikuk dunia yang penuh pertanyaan.
“Apa itu salah?” tanyaku, menatapnya lurus.
“Salah? Nggak lah,” katanya sambil tersenyum. “Cuma agak ribet. Hidup ini kan udah berat, kenapa nggak milih yang gampang aja?”
Aku tertawa kecil, lalu menutup laptopku. “Karena kalau hidup cuma tentang ikut-ikutan, aku nggak tahu siapa diriku sebenarnya.”
Dan di saat itu, aku sadar, perjalanan ini bukan tentang menemukan jawaban. Tapi tentang belajar menerima bahwa tidak semua pertanyaan perlu dijawab.
Komentar
Posting Komentar